Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putus Sekolah

25 November 2024   18:36 Diperbarui: 25 November 2024   20:09 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: istock, credit: pcess609

"Aku disuruh belajar nulis rapi sama Bu Ayu, Bu," keluh anakku, Dian. Dia kelas III. Tidak terlalu pintar, dan tidak terlalu bodoh.

"Ya belajar nulis yang rapi, le," sahut istriku yang baru meracik aneka sayuran.

"Tapi kan capek, Bu."

Mendengar keluhan Dian, aku yang belum lama sampai rumah menjadi naik darah. 

"Dian, sudah sejak lama Bapak suruh kamu belajar nulis 'kan? Tulisan kayak ceker ayam seperti itu, memusingkan!" gertakku.

Semasa aku sekolah dulu, memang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan Dian. Tapi, urusan tulisan, pasti guru akan mudah membacanya. 

"Jangan gitu-lah, Pak. Nasihati anak ya jangan kasar begitu," ucap istriku, sambil mengelus kepala Dian yang sedari tadi menundukkan kepala.

"Bune, kamu itu terlalu memanjakan anak. Jadi malas kan dia?"

Istriku diam. Dian akhirnya menangis di pelukan ibunya. Kuhela napas panjang dan meninggalkan mereka. 

"Bukannya bikin tenang, malah bikin pusing," gerutuku, dengan menahan marah.

Punya anak yang tak pernah belajar dengan benar, membuatku pusing. Sementara urusan kerja juga membuat kepala nyut-nyutan. Seharian aku tak mendapatkan pekerjaan. Artinya uang untuk sekadar beli tempe atau tahu juga tak kudapat.

Aku melangkah ke halaman belakang rumah. Mendinginkan pikiran yang penuh dengan pekerjaan dan keluhan anak yang sekian kali diperingatkan gurunya karena tulisannya tak terbaca.

Aku melihat ikan nila yang mulai gemuk. Terlihat menyenangkan. Bisa menjadi sarana hiburan untukku, meski tak banyak.

"Begini kalau dari kecil suka ngeyel. Nggak denger nasihat ibu sama guru. Hidup susah. Mana apa-apa mahal," batinku. 

Belum lama ini, aku membaca kabar, teman-teman masa SD sampai SMP, ada yang diangkat jadi Kepala Sekolah, petinggi BUMN, dan sederet jabatan mentereng lainnya. 

Mereka juga sama sebenarnya, tidak terlalu pintar. Bedanya, mereka lebih tekun dan manut kalau dinasihati. 

"Karena manut sama orang tua dan guru, aku bisa jadi kepala sekolah. Coba kalau nggak, entah jadi apa aku." Begitu isi pada kolom komentar yang ditulis Handoko, teman sebangku saat SMP.

Ah, aku jadi ingat. Waktu SMP, kelas VII, aku yang senang jalan-jalan saat pelajaran, terutama pelajaran IPS, senang sekali ngerjain Bu Intan. Beliau guru yang masih muda.

Melihat Bu Intan yang terlalu banyak cerita di depan kelas, aku sangat jenuh. Apa pula, harus menyimak manusia purba, zaman pra sejarah. Belum lagi, tentang lapisan bumi dan gunung. Kepalaku pusing mendengarnya. 

"Gunung sama angin kok dipelajari. Apa manfaatnya?" gerutuku, sambil berjalan ke arah Siti, teman di samping mejaku, yang terkenal cengeng. Aku rebut pulpen yang dipegangnya. Alhasil dia menjerit. Bu Intan yang baru menjelaskan tentang terbentuknya gunung berapi sangat terkejut.

"Astaghfirullah, Niko!" teriak Bu Intan sambil menatapku tajam.

Seisi kelas fokus memandang ke arah Bu Intan. Sementara aku masih tetap berdiri sambil membalas tatapan Bu Intan.

"Duduk, Niko!" perintah beliau.

Aku tak beranjak dari tempatku berdiri.

"Duduk!" perintahnya lagi, dengan suara lebih pelan. Aku tak menuruti perintah itu. Bu Intan pun mendekatiku. 

Melihat Bu Intan melangkah ke arahku, aku segera ambil langkah seribu, menuju pintu kelas yang sedari tadi tertutup. Kudengar Bu Intan panik memanggil namaku sambil mengejar. Karena sebal sekali, aku menuju pagar sekolah yang berbatasan dengan gang masuk sekolah. Kuputuskan untuk naik pagar dan bolos. Bolos selamanya, karena setelah itu aku tidak melanjutkan sekolah, dengan alasan guru yang kebangetan. Simbah hanya mengelus dada. Sementara Bapak dan simbok? Mereka sudah tiada!

***

Kugelengkan kepala. Berat sekali hidup yang kujalani. Tak seperti teman-teman yang sering menceritakan kisah kesuksesan mereka di status Facebook. Aku hanya menyimak dan memaki dalam hati karena mereka senang pamer. Ya, sebenarnya mungkin tujuannya bukan untuk pamer. Tapi bagiku, mereka sedang pamer kesuksesan padaku.

Mereka benar-benar tak bisa menjaga hati teman yang pas-pasan seperti aku ini. Kerja serabutan, tidak setiap hari bisa memberi uang belanja untuk keluargaku.

Suara adzan Maghrib mulai berkumandang. Aku kembali masuk rumah untuk shalat, makan malam dan beristirahat. 

***

Saat membaca lowongan pekerjaan di salah satu status Jovan, teman bolos saat SD, kudengar isakan tangis Dian. Di sampingnya ada istriku yang menemaninya belajar.

"Aku capek, Bu."

"Sabar ya, le. Tinggal sedikit lagi nulisnya."

"Tapi..."

"Wis. Kamu itu manut sama bu guru dan ibumu. Jangan manja. Belajar yang bener, biar besok kamu bisa sukses seperti teman-teman bapak!" ucapku, sembari menyelonjorkan kaki.

"Perintah bu guru, kamu patuhi. Jangan ngeyel," lanjutku.

Dengan tangisnya yang tanpa henti, akhirnya Dian menyelesaikan tugas dari gurunya.

"Bu Ayu itu jahat! Ngancam-ngancam kalau tulisan nggak rapi, nggak bakal dinilai," ucap anakku itu sambil tangannya menabok lengan ibunya.

"Jahat piye? Itu biar kamu disiplin! Demi kebaikan kamu!" ucapku dengan intonasi lebih tinggi.

Melihatku yang mulai emosi, istriku langsung menyuruh Dian masuk kamar untuk tidur.

"Oalah, Bune. Piye anakmu itu," ujarku, sambil memukul kepalaku pelan.

***

Hari terus berlalu. Tibalah waktu penyerahan rapor. Orang tua siswa yang harus mengambil rapor itu.

Aku sendiri harus mengambil rapor Dian. Ibunya harus ke rumah sakit karena simbahnya Dian opname beberapa hari di sana.

Para orang tua sudah duduk pada kursi di kelas yang setiap hari digunakan untuk belajar Dian dan teman-temannya. Sementara di depan kelas, Bu Ayu sudah duduk dan meletakkan setumpuk rapor yang tebal dan berukuran besar, dibandingkan dengan raporku zaman dulu yang kecil dan tipis.

Kuperhatikan sejenak guru Dian itu. Begitu familiar di mataku. Senyum dan suaranya pernah kulihat dan kudengar sebelumnya. Tapi aku tak begitu percaya kalau aku memang mengenalnya.

Bu Ayu menyampaikan informasi libur, dan proses belajar mengajar di kelas Dian. Permintaan maaf kalau ada kesalahan saat mengajar juga kudengar. 

"Kalau Tian nakal, jewer saja, Bu Ayu. Saya ikhlas," celetuk ibunya Tian. Tak tahu, siapa namanya.

"Mohon kerjasama dari Ibu dan Bapak untuk memantau belajar putra-putrinya saat di rumah nggih," ucapnya halus.

Setelah informasi dan segala hal disampaikan, rapor dibagikan. Orang tua siswa dipanggil satu persatu dan diberi penjelasan apapun tentang kemajuan anaknya. 

"Lama sekali. Cuma ambil rapor saja, begini repotnya," ucapku dengan suara yang agak keras. Orang tua wali yang lain menimpali,"ya begitu kalau ambil rapor, Pak."

Aku mengangguk sambil menunggu panggilan untuk orang tua Dian. Salahku sendiri, memberi nama bukan diawali huruf A. Handoyo Dian Samudra. Sudah pasti akan lama menunggu antrian mengambil rapor.

Aku galau setengah mati. Kalau orang tua siswa yang pintar saja bisa lama bicaranya, bagaimana dengan Dian? Kuhela napas panjang. Kuperhatikan sekelilingku. Tinggal tiga orang yang menunggu panggilan.

Dadaku semakin sesak. Ternyata dua orang tua lain yang dipanggil dulu untuk mengambil rapor anak-anaknya. 

Dengan lesu aku menuju meja Bu Ayu yang menyiapkan amplop besar bening warna biru. Beliau mempersilakanku duduk.

"Bagaimana Dian, Bu Ayu?" tanyaku, dengan pikiran ruwet.

"Baik, Pak. Cuma dia perlu banyak berlatih menulis rapi, ya!"

Aku mengangguk. Tak konsentrasi saat mendengar ucapan demi ucapan wanita di depanku itu. Terbayang kesalahan-kesalahan yang kuperbuat kepadanya. Tapi aku masih ragu, apa benar dugaanku, kalau wanita di depanku itu yang membuatku sering bermimpi buruk.

"Ada yang ingin Bapak sampaikan atau tanyakan?"

Kugelengkan kepala. Hatiku bimbang dan ragu untuk bertanya kepada Bu Ayu.

"Maaf, saya tanya di luar Dian, boleh?"

Guru Dian itu mengernyitkan keningnya.

"Maksud saya...eh... Apa Bu Ayu juga mengajar di SMP Mentari?"

Kulihat guru Dian itu tersenyum sambil menutup daftar penyerahan rapor.

"Nggih, Pak. Dulu. Sudah lama. Sekarang nggak lagi."

Aku tak berani menatap wajah Bu Ayu. Dadaku berdebar kencang.

"Kenapa Bapak tanyakan itu?"

"Oh...saya cuma memastikan kalau Bu Ayu itu gurunya teman saya. Soalnya saya pernah lihat di statusnya, Bu."

Bu Ayu mengangguk.

"Tapi kok seperti beda nama ya?"

Bu Guru Dian itu tertawa kecil.

"Nama saya Intan Ayu Diandra, Pak. Di sini disapa Bu Ayu sama anak-anak. Kalau pas ngajar di SMP, dulu disapa Bu Intan."

Jleb.

Keringatku bercucuran. Mimpi kalau Bu Intan mau menuntutku, kini seakan menjadi nyata. Beliau kini berada di depan mataku. Bodohnya, aku tak mengenal nama lengkap Bu Intan yang kufitnah sebagai dalang sampai aku putus sekolah. 

___

Branjang, 25 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun