***
"Nirmala, kamu bawakan nasi ke sawah sana!"Â
Baru saja aku pulang, sambutan ibu sudah kudengar. Sambutan ibu itu lebih ke arah memerintah agar aku mengirim nasi ke sawah. Bapak sedang menanam padi.Â
Hitungannya, bapak termasuk terlambat dalam menanam padi. Bibit padi yang disiapkan ternyata kualitasnya jelek.
Alhasil, bapak harus berkeliling kampung dan menemui petani lainnya untuk mendapatkan bibit padi. Itu beruntung, bibit padi milik petani lain banyak yang tersisa.
Dengan menggerutu aku mengambil bakul bambu berisi nasi, rantang berisi lauk pauk dan termos. Mau tak mau bakul nasi bambu kugendong dengan selendang. Rantang kutenteng di tangan kanan. Termos di tangan kiri. Macak dadi petani alias berpenampilan layaknya petani.
Kulintasi jalan cor blok menuju persawahan kampung. Kemudian aku ke arah pematang sawah yang agak licin. Maklum baru saja hujan berhenti.
Bapak melihatku dari jauh. Lambaian tangannya menyapaku. Lalu bapak mentas dari sawah dan membersihkan tangan dan kakinya.Â
Sementara aku mendekati gubuk di dekat pohon kelapa yang tinggi dan sudah enggan berbuah. Kuturunkan rantang, termos dan bakul bambu. Bapak yang sudah duduk di galar, membantu meletakkannya di galar.
Segera saja diambil piring gembreng yang tadinya diletakkan di atas bakul. Rantang dibuka. Diambilnya nasi pulen, dengan lauk jangan lombok ijo, kerupuk dan ikan asin.
"Ayo, Ndhuk. Makan bareng Bapak," ajak Bapak.