Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Dia Lakukan Dulu

15 Januari 2024   15:13 Diperbarui: 15 Januari 2024   16:21 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: image creator from Microsoft Designer

Di antara anak-anak ibu dan bapak, kukira hanya aku yang bernasib buruk. Apa saja yang kujalani berjalan tak sesuai harapanku. Bendera putih seakan mau kukibarkan saja. Berhenti berharap atas cita-cita yang kandas.

"Kamu jangan putus asa. Semangat dong, Nirmala."

Lelaki yang berada di sampingku, Dion, kembali menyemangati. Tak cuma sekali dua kali. Mungkin kalau dihitung sudah ratusan kali dia melakukannya.

Dia adalah sahabat sejak masa SMP hingga SMA. Orang yang ramah dan perhatian di saat teman lain mengabaikanku. 

Di waktu-waktu berikutnya, banyak yang mengira kalau di antara kami memiliki hubungan khusus.

"Hidup itu terkadang harus merasakan drop. Aku masih manusia. Bukan malaikat."

"Iya. Tapi bukan berarti kamu merasa kalau kamu itu satu-satunya yang merasakan kegagalan dan putus asa."

Kalau dia sudah berkata-kata seperti itu, sudah pasti diikuti dalil-dalil agama. Ya, dia memang Ketua Rohis di sekolah. Entah apa yang dikatakannya. Terkadang aku tak memahaminya. Untuk memahami hidupku saja rasanya sudah pusing.

"Sudahlah, Dion. Kamu nggak usah khutbah di sini!" seruku.

Aku berdiri dan melangkah untuk menjauhinya. Biar saja kalau dia mau ceramah atau khutbah dengan orang lain. Bukan aku.

***

"Nirmala, kamu bawakan nasi ke sawah sana!" 

Baru saja aku pulang, sambutan ibu sudah kudengar. Sambutan ibu itu lebih ke arah memerintah agar aku mengirim nasi ke sawah. Bapak sedang menanam padi. 

Hitungannya, bapak termasuk terlambat dalam menanam padi. Bibit padi yang disiapkan ternyata kualitasnya jelek.

Alhasil, bapak harus berkeliling kampung dan menemui petani lainnya untuk mendapatkan bibit padi. Itu beruntung, bibit padi milik petani lain banyak yang tersisa.

Dengan menggerutu aku mengambil bakul bambu berisi nasi, rantang berisi lauk pauk dan termos. Mau tak mau bakul nasi bambu kugendong dengan selendang. Rantang kutenteng di tangan kanan. Termos di tangan kiri. Macak dadi petani alias berpenampilan layaknya petani.

Kulintasi jalan cor blok menuju persawahan kampung. Kemudian aku ke arah pematang sawah yang agak licin. Maklum baru saja hujan berhenti.

Bapak melihatku dari jauh. Lambaian tangannya menyapaku. Lalu bapak mentas dari sawah dan membersihkan tangan dan kakinya. 

Sementara aku mendekati gubuk di dekat pohon kelapa yang tinggi dan sudah enggan berbuah. Kuturunkan rantang, termos dan bakul bambu. Bapak yang sudah duduk di galar, membantu meletakkannya di galar.

Segera saja diambil piring gembreng yang tadinya diletakkan di atas bakul. Rantang dibuka. Diambilnya nasi pulen, dengan lauk jangan lombok ijo, kerupuk dan ikan asin.

"Ayo, Ndhuk. Makan bareng Bapak," ajak Bapak.

"Sampun, Pak. Tadi Mala sudah makan," jawabku singkat.

"Kamu tuh jangan kebiasaan jajan. Makannya dibiasakan di rumah. Makanan ibumu itu enak. Ngalahin makanan dari restoran," kelakar Bapak.

"Iya, Pak. Mala tahu. Tapi tadi Mala sudah kelaparan. Kalau Mala nggak segera jajan, lambung bisa kambuh."

Kutemani Bapak yang menikmati makan sambil merasakan angin semilir di persawahan kampung. Aku tak tahu, apakah aku akan seperti ini terus. Berhadapan dengan sawah, sawah dan sawah. Kutatap langit biru. Kubertanya dalam hati, kelak aku akan jadi apa.

***

Seperti itulah kegiatanku kalau di rumah. Tak seperti Mas sama Mbakku yang sejak kecil diperlakukan seperti raja dan ratu. 

"Mereka itu sudah capek dengan pekerjaan di kantor. Nggak seperti kamu," ujar Ibu kalau aku protes dengan perlakuan ibu dan bapak terhadapku.

"Halah. Dulu pas mereka belum bekerja, mereka juga nggak disuruh-suruh ke sawah."

Aku benar-benar merasa dianaktirikan oleh kedua orang tuaku. Sungguh tega sekali mereka memperlakukan bungsunya ini.

"Bungsu itu bukan berarti manja kan, Non?" tanya Dion ketika aku curhat tentang perlakuan orangtuaku.

"Kamu justru harus bersyukur, kamu dididik mandiri begitu," lanjutnya.

"Tapi kamu lihat, nih!" Kutunjukkan wajah dan tanganku ke Dion.

"Kenapa wajah dan tanganmu? Sepertinya nggak ada yang aneh."

Kupukulkan buku yang kupegang ke lengan Dion.

"Wajahku jelek. Kusam! Tanganku juga hitam! Nih..."

Dion tertawa terbahak. 

"Nirmala...Nirmala. Kamu lucu!"

"Lucu gimana?" 

"Kamu pingin seperti apa sih?"

"Ya pingin wajah terawat, cantik, glowing. Nggak eksotis seperti ini."

"Kurasa kamu berlebihan. Kamu kelihatan cantik gitu, kok."

***

"Kamu ingat-ingat, Nirmala! Banyak bersyukur, ya!" 

Dion menasehatiku. Maklum dia mendapatkan pekerjaan di kota lain.

"Ngapain kamu bilang gitu?"

"Ya. Mumpung kita ketemu, ya kubilangi kamu, semangatlah. Jangan putus asa. Oke?"

"Iya...iya..."

Dion tertawa kalau kata-kata yang keluar dari mulutku seperti itu.

"Nanti, kalau kamu kangen dinasehati, hubungi aku ya! Aku usaha dengerin kamu dari jauh."

Pada akhirnya aku tak pernah menghubungi Dion lagi. Aku lebih fokus untuk belajar. Setelah menjadi dokter umum, aku ambil spesialis kejiwaan. Belajar menaklukkan masalah sendiri. Siapa tahu nanti juga lebih bermanfaat untuk orang banyak. 

Aku tak menghubunginya karena tak mau merepotkan Dion dengan cerita-cerita kekanakanku. Apalagi kalau misalnya dia sudah menemukan calon pendamping. Aku tak boleh mengganggunya 'kan?

Lagipula, kukira kalau bercerita langsung saat bertemu akan lebih seru. Bisa bertengkar tanpa salah paham. Akan berbeda kalau bertengkar di dunia maya, akan sulit untuk ditebak. Beneran marah apa tidak.

***

Sekian tahun tak bertemu dengannya. Spesialis kejiwaan sudah kupegang. Alhamdulillah ilmuku bermanfaat untuk sesama. 

Namun, tiba-tiba kudengar kabar tentang Dion. Bukan kabar membahagiakan. Kuputuskan untuk menemuinya. Aku bisa seperti sekarang juga karena motivasi darinya.

Kuberjalan pelan ke pintu rumah Dion yang baru. Dua tahun ini mereka tinggal di sana. Seorang wanita paruh baya menyambutku. Dia ibunya Dion.

"Ibu sangat sedih, Nak Nirmala. Dion sangat beda sekarang," ucap Ibu Dion.

"Beda bagaimana, Bu?"

Ibu Dion mengantarkanku untuk menemui Dion di taman belakang. Dari arah belakang kulihat lelaki berambut ikal, panjang. Kalau saja tak ada Ibu Dion, pasti aku tak mengenali Dion lagi.

Dion duduk di batu besar di bawah pohon rambutan yang berbuah lebat.

"Assalamu'alaikum, Dion."

Kusapa Dion dengan suara pelan. Beberapa kali kupanggil namanya, barulah dia menengok. Aku tersenyum.

"Nirmala?" tanyanya.

Aku mengangguk. Dia menanyakan kabarku. Tak lama kemudian dia memanjat pohon rambutan. Dipetiknya buah rambutan ranum lalu turun dan menyerahkannya untukku.

"Aku ingat, ini buah kesukaanmu," ucapnya.

Kuterima rambutan itu. Sementara mata Ibu Dion terlihat berkaca-kaca.

Dion, lelaki yang biasa menyemangatiku dulu, kini harus mengalami masalah kejiwaan. Dia harus bolak-balik ke psikiater untuk pemulihan. 

Psikisnya tidak kuat ketika dia ditipu rekannya dalam jumlah yang nilainya fantastis. Rupanya dia lupa, bagaimana dia menyemangatiku biar tidak putus asa. Malah dia putus asa sendiri. Sampai kejiwaannya terganggu beberapa bulan ini.

"Insyaallah saya bantu Dion, Bu. Yang penting dia terus disemangati dan diberi perhatian."

Waktu untuk memulihkan keadaan Dion cukup lama. Kini aku yang akan gantian memotivasi sahabatku itu setelah dulu dia lakukan padaku.

___

Melikan, 15 Januari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun