Saat bersekolah di SD dulu, guru selalu menjelaskan kalau rumah itu berfungsi untuk melindungi penghuninya dari hujan dan panas.Â
Penjelasan itu nyaris tak ada yang memprotes. Anak usia SD memang mengetahui konsep rumah sebagai tempat berlindung dari hujan dan panas.
Setelah menginjak remaja hingga dewasa, aku mulai mencari-cari tahu tentang manfaat rumah yang sebenarnya. Kulakukan itu karena aku hanya sekadar berteduh saat hujan juga saat panas.Â
Kedamaian hati tak kutemukan di rumah ayah dan ibu. Sekalipun segala hal bisa kuperoleh tanpa harus berusaha payah atau ditunda seperti teman-teman seusiaku.Â
Kulihat ayah pulang untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi. Tanpa sepatah kata. Senyum pun tak tergambar di wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya. Entah apa yang terus dikejarnya.
Ibu yang sehari-hari hanya berada di rumah seolah tak peduli dengan suaminya itu. Rasanya aku ingin membantunya protes atas kelakuan lelaki yang kusebut ayah.Â
Melihat ibu begitu, aku benar-benar tak terima. Sejak aku kecil hingga hampir lulus SMA, ayah tak romantis kepada ibu. Kejutan di hari ulang tahun atau hari perkawinan mereka dilalui bisu.Â
"Bu..."
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Aku menjadi nyaman kembali. Setidaknya di rumah ini ada ibu sebagai sumber kekuatanku. Kelembutannya selalu kurindu kalau aku berjauhan dengannya.
"Bagaimana rencanamu setelah lulus, Aksa?"
Ibu mengalihkan pembicaraan yang baru saja mau kumulai.
"Kamu harus sekolah tinggi, Aksa. Jangan seperti ibu. Cuma di rumah. Apalagi kamu laki-laki, harus lebih mandiri."
Ibu kembali menasehatiku. Entah untuk ke berapa kalinya.
"Jadilah lelaki yang membanggakan ayahmu."
Aku mengalihkan pandanganku. Aku tak mau kalau ibu melihat raut muka benciku kepada ayah.
"Aku lebih senang jadi kebanggaanmu, Bu."
Kembali senyum ibu mengembang. Kurasa senyum indah ibu tak pantas mendapatkan mimik masam ayah setiap kali pulang dalam waktu sebentar.
"Kalau begitu, jadilah orang yang membanggakan bagi ayah. Itu akan membanggakan untuk ibu, Aksa."
Aku belum tahu apa maksud ucapan ibu. Hingga akhirnya saat aku lulus SMA dan sibuk untuk registrasi di perguruan tinggi impianku, wanita kuat itu tiba-tiba ditemukan budheku dalam kondisi lemah.Â
Ibu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kulihat ayah duduk di samping ranjang tempat ibu dirawat. Tangannya memegang kuat tangan ibu. Sesekali mengelus pipi dan membelai kepala ibu.
Pemandangan yang sangat kontras dari hari-hari biasa. Ayah nyaris tak pernah meninggalkan ibu. Namun bagiku itu semua hanya salah satu pencitraan ayah sebagai orang tenar di dunia politik. Kukira untuk mengambil hati orang-orang di sekitar.Â
Ingin kuusir dia. Tak ada yang boleh menyentuh ibu selain aku dan saudara-saudara dari pihak ibu. Ya, saudara dari pihak ayah turut kubenci akibat kebencianku pada ayah.
Keinginanku dipatahkan oleh saudara-saudara. Mereka bilang kalau aku tak boleh berbuat buruk kepada ayah.
"Kalau ayah tak menyayangi ibu dengan tulus, kenapa aku harus berbuat baik?"Â
***
"Aksa, sudah waktunya kita bicara."
Ayah mengajakku berbicara setelah berbagai cara dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu. Ibu pergi tanpa pamit padaku.
"Apa yang mau dibicarakan? Nggak ada gunanya!" ucapku ketus.
Mendengar ucapanku itu ayah terdiam beberapa saat.
"Ayah tahu, kamu begitu benci pada Ayah. Semua diceritakan bundamu."
Mendengar ayah mengucapkan itu, aku terkejut. Baru sekali ini kudengar ayah mengucapkan sapaan bunda untuk ibu. Atau mungkin saja aku tak pernah mendengarnya.
Aneh lagi saat ayah bercerita kalau ibu menceritakan betapa bencinya aku pada ayah. Padahal tak pernah ada pembicaraan antara mereka yang kulihat. Atau mungkin saja komunikasi lewat telepon atau pesan.
"Ini. Bacalah."
Ayah menyerahkan amplop berukuran sedang kepadaku. Dengan ragu aku menerimanya.
"Ayah menemukan amplop ini sejak kamu masih kecil, Aksa."
Air muka ayah terlihat sendu. Memang saat ibu berpulang beberapa waktu lalu, ayah begitu terpukul.Â
"Bacalah, Aksa."
***
Air mataku tak bisa kubendung. Dari amplop yang diserahkan ayah, aku tahu kenapa rumah yang kami tinggali begitu sepi. Tak ada kebahagiaan di dalamnya.
Dalam amplop itu terdapat beberapa lembar kertas tulisan ibu. Juga sebuah surat diagnosa dokter. Diagnosa bagi kesehatan ibu. Pembengkakan jantung.Â
Dari pembengkakan jantung itu membuat ibu sering batuk-batuk. Bahkan pernah opname selama beberapa hari di rumah sakit. Itu seringkali dialami ibu.
Setelah kubaca diagnosa dari dokter, kubaca surat-surat yang ditulis ibu. Surat itu ditujukan untuk ayah. Surat yang berisi keikhlasan ibu kalau ayah mau menikah lagi. Dan menitipkanku kepada ayah dan isterinya jika menikah lagi.Â
"Aku tak tahu kapan akan kembali, Ayah. Titip Aksa. Didik dia meski nanti Ayah menikah lagi," beberapa kalimat dalam surat ibu yang membuatku shock.
Ternyata sejak lama ibu sakit dan memikirkan kebahagiaan ayah. Masih memikirkanku juga saat tak lagi membersamaiku nantinya.
***
Di kamar ibu.Â
Aku tak pernah masuk ke dalam kamar ibu selama ini. Ibu tak pernah mengizinkanku masuk.Â
Kusentuh semua barang yang tersimpan di lemari kaca. Barang-barang branded. Terlihat aneh bagiku karena ibu tak pernah membelanjakan uang untuk berfoya-foya.Â
Di samping deretan barang-barang branded itu terlihat foto-foto sejak ibu kecil sampai masa-masa akhir kulihat. Yang mengejutkan, ada foto perayaan ulang tahun ibu, ayah atau hari pernikahan mereka.
Aku tak habis pikir dengan semua yang kulihat di kamar ibu.
"Itu semua ayah yang berikan kepada bundamu, Aksa."Â
Suara ayah tiba-tiba kudengar. Aku memandangnya sejenak. Kulanjutkan lagi melihat foto-foto cantik ibu.
"Selama ini Ayah belajar mengikhlaskan bunda dengan sering pergi dari rumah. Harapan Ayah bisa melupakannya. Tapi Ayah tak bisa, Aksa. Setiap pergi, Ayah ingat perjuangan bunda saat sakit. Ayah pulang sebentar untuk melepas rindu lalu pergi lagi untuk belajar melepasnya."
Tangis Ayah terdengar.
"Sampai sekarang, bunda masih terbayang di mata, hati dan pikiran Ayah. Ayah bisa seperti ini karena dukungan bunda yang tak putus."
"Jadi selama ini..."
Ayah mengangguk.
"Ayah dan bunda baik-baik saja. Tapi Ayah belum bisa menerima kalau suatu saat bunda meninggalkan Ayah."
Tiba-tiba aku teringat ucapan ibu, "Jadilah orang yang membanggakan ayah."
Ternyata ayah memang layak untuk membuatku harus berusaha agar dia bangga akan usahaku. Ayah adalah sosok lelaki yang menyayangi ibu meski rasa sayangnya membuat rumah sepi dan aku salah paham.
___
Branjang, 28 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H