Ibu mengalihkan pembicaraan yang baru saja mau kumulai.
"Kamu harus sekolah tinggi, Aksa. Jangan seperti ibu. Cuma di rumah. Apalagi kamu laki-laki, harus lebih mandiri."
Ibu kembali menasehatiku. Entah untuk ke berapa kalinya.
"Jadilah lelaki yang membanggakan ayahmu."
Aku mengalihkan pandanganku. Aku tak mau kalau ibu melihat raut muka benciku kepada ayah.
"Aku lebih senang jadi kebanggaanmu, Bu."
Kembali senyum ibu mengembang. Kurasa senyum indah ibu tak pantas mendapatkan mimik masam ayah setiap kali pulang dalam waktu sebentar.
"Kalau begitu, jadilah orang yang membanggakan bagi ayah. Itu akan membanggakan untuk ibu, Aksa."
Aku belum tahu apa maksud ucapan ibu. Hingga akhirnya saat aku lulus SMA dan sibuk untuk registrasi di perguruan tinggi impianku, wanita kuat itu tiba-tiba ditemukan budheku dalam kondisi lemah.Â
Ibu langsung dilarikan ke rumah sakit. Kulihat ayah duduk di samping ranjang tempat ibu dirawat. Tangannya memegang kuat tangan ibu. Sesekali mengelus pipi dan membelai kepala ibu.
Pemandangan yang sangat kontras dari hari-hari biasa. Ayah nyaris tak pernah meninggalkan ibu. Namun bagiku itu semua hanya salah satu pencitraan ayah sebagai orang tenar di dunia politik. Kukira untuk mengambil hati orang-orang di sekitar.Â