"Ini. Bacalah."
Ayah menyerahkan amplop berukuran sedang kepadaku. Dengan ragu aku menerimanya.
"Ayah menemukan amplop ini sejak kamu masih kecil, Aksa."
Air muka ayah terlihat sendu. Memang saat ibu berpulang beberapa waktu lalu, ayah begitu terpukul.Â
"Bacalah, Aksa."
***
Air mataku tak bisa kubendung. Dari amplop yang diserahkan ayah, aku tahu kenapa rumah yang kami tinggali begitu sepi. Tak ada kebahagiaan di dalamnya.
Dalam amplop itu terdapat beberapa lembar kertas tulisan ibu. Juga sebuah surat diagnosa dokter. Diagnosa bagi kesehatan ibu. Pembengkakan jantung.Â
Dari pembengkakan jantung itu membuat ibu sering batuk-batuk. Bahkan pernah opname selama beberapa hari di rumah sakit. Itu seringkali dialami ibu.
Setelah kubaca diagnosa dari dokter, kubaca surat-surat yang ditulis ibu. Surat itu ditujukan untuk ayah. Surat yang berisi keikhlasan ibu kalau ayah mau menikah lagi. Dan menitipkanku kepada ayah dan isterinya jika menikah lagi.Â
"Aku tak tahu kapan akan kembali, Ayah. Titip Aksa. Didik dia meski nanti Ayah menikah lagi," beberapa kalimat dalam surat ibu yang membuatku shock.