Di ruang istimewa bagi para mahasiswa itu, aku merasa grogi. Ya, setengah jam berikutnya aku sudah mulai presentasi skripsi yang sudah diACC untuk diujikan.
"Mbak Firna mau terbuka apa tertutup untuk ujian skripsi ini?" Tanya dosen pengujiku.
"Tertutup saja, pak".Â
Ya, kupilih ujian skripsi secara tertutup. Aku tak percaya diri kalau saat ditanya materi skripsi terus aku tak bisa menjawabnya. Aku pasti malu dengan teman-temanku yang sudah ujian di beberapa hari sebelumnya.
Jadi, keputusanku sudah bulat. Aku akan tampil sendiri. Tanpa teman menyaksikan perjuanganku dalam ujian pendadaran. Biarlah teman-teman menungguku di luar ruangan. Kukira itu akan membuatku merasa lebih ringan.
***
Dalam beberapa waktu kupaparkan latar belakang, isi dan penutup skripsiku. Kemudian baru diberi pertanyaan mulai dari penguji utama.
Dosen penguji memberikan pertanyaan yang sampai saat ini belum juga kutemukan jawabannya. Padahal aku sudah selesai kuliah.
Beliau menanyakan tentang tingkatan pemerintahan di Thailand yang merujuk kebijakan dari Belanda. Karena di Indonesia sendiri pola pemerintahan juga mengambil dari kebijakan Belanda.
Saat itu kujawab sebisaku. Kucoba mengingat tingkat pemerintahan dari yang terbawah hingga pusat di Indonesia pada masa Belanda berkuasa. Nihil! Usahaku untuk mengingatnya ternyata gagal.
Itulah satu-satunya pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan sempurna.Â
"Baik, mbak Firna. Untuk perbaikan skripsi dari saya, silakan pada footnote ditambahi tingkatan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu yang sama dengan waktu di Thailand saat dipimpin Raja Chulalongkorn," begitu PR dari pengujiku.
Aku mengangguk saja. Pasrah dengan perolehan nilai skripsiku.Â
Untuk mencairkan suasana ujian, saat dosen penguji, pak Danar dan Bu Sri beserta Bu Indah dan Bu Dina berembug akan perolehan nilai skripsiku, tiba-tiba pak Mudi, dosen pengujiku, bertanya, "Mbak Firna, saya lihat di halaman persembahan kok tak ada nama lelaki spesial di sana. Teman-teman mbak Firna kemarin nulis semua lho. Apa memang benar mbak Firna belum punya pacar? " pertanyaan yang aneh, mengada-ada. Iseng sekali!
"Belum, pak". Aku jujur menjawab pertanyaan pak Mudi.
"Mahasiswa tingkat akhir kok sampai nggak punya pacar," guraunya. Sementara pak Danar, Bu Sri, Bu Dina dan Bu Indah tersenyum.
"Apa nggak tertarik untuk menikah nantinya?"
Aku hanya tersenyum. Kukira tak perlu kujawab secara gamblang pertanyaan itu.
"Tuh, sama pak Danar saja, mbak Firna," canda Bu Indah.
Pak Danar tertawa. Dia memang satu-satunya dosen muda dan belum menikah. Entah apa alasannya. Aku juga tak tertarik untuk mengetahuinya.
"Gimana, pak Danar?" Tanya Bu Dina, mempertegas arti tawa pak Danar.Â
Pak Danar kali ini tersenyum dan geleng-geleng kepala.
"Waduh, ini ujian skripsi mbak Firna. Malah saya yang dapat pertanyaan seperti ini," komentarnya.
"Makanya kemarin pas ngasih bimbingan, yang teliti. Minta mbak Firna melengkapi pada halaman persembahannya," kelakar pak Mudi.
"Itu urusan pribadi. Tak bisa saya tanyakan, pak," tanggapan pak Danar.
"Kalau saya jadi pak Danar, saya tanya. Bahkan kalau bisa ditembung saja sekalian".
Muka pak Danar memerah. Aku sendiri jadi tak nyaman. Aku ingin segera mengetahui nilai dan keluar dari ruangan sidang skripsi.
"Sepakat, pak. Lagi pula, sebenarnya nunggu apa pak Danar ini. Yang lain sudah menikah, kok pak Danar belum nikah juga".
Apaan ini. Aku yang gugup karena memikirkan ujian skripsi yang tak sempurna kujawab, malah ditambah ucapan aroma perjodohan.Â
***
Hasil ujian skripsi sudah kukantongi. Alhamdulillah. Meski nilai tak sempurna seperti nilai teman-teman yang ujian duluan, setidaknya tak begitu mengecewakan.Â
Aku tinggal melakukan penyempurnaan skripsi. Tetapi aku tak menambahkan footnote, sesuai arahan pak Mudi. Sebenarnya aku bisa saja tanya kepada pak Danar atau Bu Sri. Tetapi itu tak kulakukan. Pekewuh.
Agak deg-degan juga ketika mau minta tanda tangan untuk pengesahan skripsi kepada pak Mudi. Alhamdulillah, beliau tak tanya ini-itu. Mungkin saja aku dianggap salah satu mahasiswi yang getol bimbingan dengan Bu Sri dan pak Danar.Â
Selepas kukantongi tanda tangan pak Mudi, aku minta tanda tangan pak Danar dan Bu Sri. Dengan Bu Sri, aku santai. Kami berbincang ringan tentang kelanjutan masa depanku selepas lulus dan wisuda.
Namun, untuk meminta tanda tangan pak Danar pun harus janjian dengan teman-teman yang juga dibimbing beliau. Aku jadi takut sendiri untuk menemuinya. Gara-gara candaan para penguji saat ujian skripsi.
"Sudah disempurnakan naskahnya kan, mbak?" Tanya pak Danar, mengingatkanku akan PR dari pak Mudi.
Aku mengangguk saja. Padahal aku tak menyentuh footnote sama sekali. Yang penting, tandatangan pengesahan skripsi sudah kudapatkan. Tinggal fotokopi rangkap lima, menjilid dan menyerahkan ke perpustakaan Fakultas, perpustakaan kampus, pak Danar dan Bu Sri selaku pembimbing skripsiku.
***
Empat tahun berlalu.Â
Aku mengikuti PLPG. Alhamdulillah aku dimudahkan untuk ikut PLPG meski aku belum menjadi seorang PNS.
Saat PLPG itu aku dipertemukan lagi dengan pak Danar. Kaget dan rasa sungkanku masih tersisa di hati.
Padahal bisa saja pak Danar sudah lupa denganku. Kalaupun ingat, pasti beliau heran dan bertanya-tanya, kenapa aku ikut PLPG untuk guru tingkatan SD. Bukan SMP atau SMA.
Selama beberapa hari di Hotel Eden, aku hanya melihat pak Danar saat istirahat tiba. Untuk menyapanya, hilang keberanianku. Aku berharap beliau tak mengisi kelasku. Sebuah harapan yang aneh.Â
Tapi, kurasa malah aku sendiri yang aneh. Hahaha... Bisa jadi pak Danar sudah menikah kan? Dan saat ujian skripsi dulu pertanyaan dari pak Mudi cuma bercanda kan? Ah, kukira aku harus berpikir seperti itu. Demi ketenangan hatiku.
***
Hawa dingin dan gerimis di Kaliurang membuatku menggigil. Tetapi tugas dari pak Danar untuk membuat Bahan Ajar ---atau Modul Ajar, sebutan saat ini--- harus selesai malam ini.Â
Sementara teman lain sudah selesai. Tak peduli seperti apa hasilnya nanti.Â
Aku sebenarnya juga ingin seperti itu. Tapi tadi sore, saat pak Danar memeriksa Bahan Ajar buatanku, beliau masih minta revisi. "Sumber bahan ajar masih kurang," begitu arahan beliau, sebelum aku dan teman sekelas ishoma sore.
Aku jadi ingat saat bimbingan skripsi dulu. Bedanya, dulu aku tanpa beban dalam bertanya ini-itu. Dan kini, aku terbebani oleh candaan empat tahun lalu.
"Yuk, mbak Firna. Kita makan dulu. Keburu habis nasinya," ajak Bu Rinta, teman sekamarku, membuyarkan kegalauanku.
Aku mengiyakan ajakannya.
***
Tiba di ruang makan, kulihat meja penuh.Â
"Meja penuh, Bu. Kita mau duduk di mana nanti?" Tanyaku saat mengambil nasi dan lauk serta buah.
"Yang penting kita ambil nasi dulu, mbak". Bu Rinta mengajakku untuk tenang. Ah, Bu Rinta tak tahu kalau malam ini aku masih perlu menyempurnakan Bahan Ajarku.Â
Tak kuucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya kami menyapukan pandangan ke meja-meja di ruang makan ini.
"Di meja sana saja, ibu-ibu. Nanti gabung dengan saya," suara lelaki yang tak asing di telingaku itu mengejutkanku. Suara pak Danar. Beliau menunjukkan meja khusus untuk para instruktur.
"Oh ya. Terimakasih, pak". Ucap Bu Rinta.
"Masa kita gabung dengan Instruktur, Bu". Kubisikkan di telinga Bu Rinta.
"Alah. Nggak apa-apa. Mereka juga manusia, mbak." Suara Bu Rinta terdengar keras.
Pak Danar tersenyum.
Terpaksa aku mengikuti langkah pak Danar dan Bu Rinta. Saat di meja, Bu Rinta-lah yang lebih banyak bertanya kepada pak Danar. Pertanyaan tentang materi tadi sampai masalah pribadi.
"Wah, masa pak Danar belum punya pendamping. Nunggu apa coba, pak. Sudah ganteng dan sukses begini lho," ucap Bu Rinta.
"Iya, Bu. Belum. Belum ada yang cocok. Lagian, nikah itu nggak ada telatnya. Masih muda kok saya," timpal pak Danar. Bu Rinta tertawa ringan.
"Bagaimana kalau sama mbak Firna ini, pak. Kayaknya cocok," tanpa basa-basi Bu Rinta membuatku terkejut.Â
Aku mulai tak nyaman. Aku pamit.
***
Di lobi hotel malam ini. Aku memandangi air yang jatuh dari atap hotel. Sedianya aku mau beli ronde untuk menemaniku saat menyelesaikan Bahan Ajarku. Kutunggu sampai air langit berhenti menumpahkan tangis bahagianya, demi menemui tanah yang merindukannya. Tetapi tak jua berhenti.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar. Kurasa aku bisa menyelesaikan tugasku tanpa wedang ronde. Yang penting ada jaket yang menolongku dalam melawan hawa dingin.
Tiba-tiba.
"Mbak Firna, mau ke mana?"
Kuhentikan langkahku dan kubalikkan badanku. Kulihat pak Danar di sana.
"Mmm... nggak kok, pak. Ini mau ke kamar. Mau istirahat," jawabku.
"Oh. Ya. Oke."
"Permisi, pak."
"Eh, mbak. Tunggu!"
Kuurungkan langkahku.
"Ini buat mbak Firna," pak Danar mendekatiku dan menyerahkan plastik.Â
"Wedang ronde, mbak. Biar nggak masuk angin".
"Nggak perlu, pak". Aku menolak tawaran pak Danar.
"Tenang saja, mbak. Itu baru saja kubeli dari penjual di depan sana. Nggak ada jampi-jampinya kok. Jadi aman".
"Nggak, pak. Terimakasih".
"Ayolah, mbak Firna. Kenapa sungkan seperti itu?"
"Saya permisi, pak. Tugas dari bapak belum selesai."
"Ah. Iya. Makanya biarlah wedang ronde ini menemani mbak Firna. Atau saya yang menemani mbak Firna?" Ucapan pak Danar memaksaku menerima wedang ronde darinya.
Branjang, 5 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H