Itulah satu-satunya pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan sempurna.Â
"Baik, mbak Firna. Untuk perbaikan skripsi dari saya, silakan pada footnote ditambahi tingkatan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu yang sama dengan waktu di Thailand saat dipimpin Raja Chulalongkorn," begitu PR dari pengujiku.
Aku mengangguk saja. Pasrah dengan perolehan nilai skripsiku.Â
Untuk mencairkan suasana ujian, saat dosen penguji, pak Danar dan Bu Sri beserta Bu Indah dan Bu Dina berembug akan perolehan nilai skripsiku, tiba-tiba pak Mudi, dosen pengujiku, bertanya, "Mbak Firna, saya lihat di halaman persembahan kok tak ada nama lelaki spesial di sana. Teman-teman mbak Firna kemarin nulis semua lho. Apa memang benar mbak Firna belum punya pacar? " pertanyaan yang aneh, mengada-ada. Iseng sekali!
"Belum, pak". Aku jujur menjawab pertanyaan pak Mudi.
"Mahasiswa tingkat akhir kok sampai nggak punya pacar," guraunya. Sementara pak Danar, Bu Sri, Bu Dina dan Bu Indah tersenyum.
"Apa nggak tertarik untuk menikah nantinya?"
Aku hanya tersenyum. Kukira tak perlu kujawab secara gamblang pertanyaan itu.
"Tuh, sama pak Danar saja, mbak Firna," canda Bu Indah.
Pak Danar tertawa. Dia memang satu-satunya dosen muda dan belum menikah. Entah apa alasannya. Aku juga tak tertarik untuk mengetahuinya.
"Gimana, pak Danar?" Tanya Bu Dina, mempertegas arti tawa pak Danar.Â