Saat memegang dan melihat kiriman Dagni rasanya dadaku sesak. Padahal tadi hatiku sudah merasa lega saat hujan-hujanan di jalan. Kuletakkan paket dari Dagni. Aku menuju dapur. Perutku seharian tak bertemu nasi.
***
Bakda Maghrib.
"Mas Dagni nggak perlu ke sini. Toh undangan sudah sampai. Cuma belum aku buka," ucapku kepada Dagni. Aku tak menyangka kalau dia ke perumahan. Sebuah surprise yang tak kuharapkan sama sekali.Â
"Oh sudah sampai ya? Alhamdulillah..."
"Iya. Tadi diterima Maya."
Sunyi. Aku menatap air yang masih saja turun dari langit. Sedang Dagni terlihat canggung.
"Selamat ya, mas. Semoga lancar persiapan pernikahannya. Sampai hari H. Sakinah mawaddah warahmah." Ucapku tersendat, memecah kesunyian.
"Selamat apaan sih, mbak? Mbak Ririk pasti belum buka kirimanku." Dagni tertawa ringan.
Aku terus terang tak tahu maksud Dagni. Dia mau menikah kok malah ke sini. Dikasih ucapan, malah pertanyaan aneh diajukannya. Tertawa pula.
"Coba mbak Ririk buka dulu," ucap Dagni kikuk.