Beliau mengingat- ingat namaku. Beliau masih bingung juga.
"Pak Imam, pak..."
Kusebut nama almarhum bapakku. Setelah itu barulah beliau mengingat aku.
"Walah, le. Wis gedhe kowe. Wis sukses ya. Alhamdulillaah..."
Aku tersenyum. Kemudian Pak Wardani bercerita tentang banyak hal. Dari cerita masa berpuluh tahun yang lalu sampai masa sekarang yang terjadi di kampung.
Dari cerita beliau, ternyata teman- teman kecilku banyak yang merantau. Alasan klisenya untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Seolah tak ada yang mau membangun kampung.
Ah...tunggu dulu. Bukankah itu sama dengan almarhum bapakku? Aku tak boleh menghakimi teman- temanku juga.
"Sing isih betah neng kampung gur Nabila, le..."
(Yang masih bertahan di kampung hanya Nabiha, le...)
Aku mencoba mengingat nama itu. Kalau tak keliru dia anak Pak Ramdan satu- satunya.
"Oh mekaten? Kok mboten tumut teng kota..."