Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surau

20 Agustus 2019   09:49 Diperbarui: 20 Agustus 2019   11:09 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict: griyasanghipnotis.com

Entah berapa lama aku tak ke surau kampung halamanku. Sejak aku SD dan harus mengikuti orang tuaku yang merantau demi memperbaiki nasib perekonomian keluarga.

Berada di surau kampung kembali, mengingatkanku lagi akan kenangan masa kecilku dulu. Aku bersama teman- teman kecilku bermain dan mengaji di surau menjelang Maghrib dan bakda Maghrib.

Sungguh kenangan itu membuatku rindu suasana dan kehangatan orang- orang kampung. Namun kini ternyata kehangatan khas orang kampung sudah sulit kulihat.

Ketika di jalan menuju kampung halamanku ini, tak seorangpun yang tersenyum ramah, menyapa orang yang baru datang, dan suasana lengang.

Begitu juga surau kampung. Sekalipun menjelang Maghrib, surau terasa sepi. Entah di mana anak- anak kampung. Atau mungkin sudah tak ada anak- anak lagi karena alasan ikut orang tua merantau sepertiku dulu.

Ketika waktu masuk Maghrib, barulah seorang lelaki sepuh datang ke surau. Wajahnya tak begitu asing bagiku. Namun bagi beliau mungkin wajahkulah yang asing. Maklumlah, ketika aku di kampung hanya sampai berusia enam tahun. Dulu aku masih imut- imut. Ketika ke surau hanya menenteng sarung. Sandalpun tak punya. Bertelanjang kaki tak menghalangiku untuk rajin le surau.

Pak Wardani. Lelaki sepuh itu menuju ke tempat wudlu. Sudah berkran ala masjid kota. Tak lagi ada padasan ---tempat penampungan air wudhu yang biasanya berbahan dasar tanah liat dan dilubangi untuk memancarkan air wudhu---.

Dari padasan itu terkadang aku dan teman- teman kecilku minum air. Air padasan terasa dingin seperti air es kalau zaman sekarang. Cless di tenggorokan. Apalagi kalau meminumnya ketika siang hari. Segar sekali.

Akibatnya aku dan teman- teman menghabiskan air padasan. Oleh Pak Wardani kami sering dihukum. Saking hafalnya dengan kelakuan kami. Jika kami mengelak, pasti akan dilaporkan ke bapak kami. Mau tak mau kami menerima hukuman itu.

Menimba air dari sumur dengan kedalaman yang lumayan, 15 meteran, secara manual. Pertama kali menimba pastinya tangan- tangan kecil kami melecet. Tapi demi tak ingin dilaporkan ke bapak, kami lakukan saja. 

Lama kelamaan kami terbiasa menimba. Bahkan tanpa diminta Pak Wardani pun kami membantu menimba air. Dengan riang gembira.

Setelah itu kami duduk mengelilingi pak Wardani. Beliau sangat disukai anak- anak. Beliau senang mendongeng. Abu Nawas adalah dongeng yang sering membuat kami terpingkal- pingkal karena dibawakan dengan apik oleh pak Wardani.

**

Pak Wardani selesai wudhu. Beliau melihat ke arahku. Aku tersenyum. Beliau juga tersenyum. Mungkin beliau memang pangling melihatku.

Kubiarkan pak Wardani menuju dalam surau. Pasti beliau akan beradzan. Akun kangen dengan suara beliau. Beliau mulai mengumandangkan adzan.

Aku menikmati dan meresapi suara yang lama tak kudengar. Kurindukan teman- teman kecilku. Masih di kampungkah mereka?

**

Selesai shalat Maghrib berjamaah, aku menunggu Pak Wardani di serambi surau. Aku ingin sekali berbincang dengan beliau.

Pak Wardani ini menjadi muadzin setelah muadzin sebelumnya meninggal dunia. Tepatnya mengakhiri hidupnya. Kuingat nama muadzin surau sebelum Pak Wardani adalah Pak Ramdan.

Yang jelas aku tak begitu paham mengapa Pak Ramdan nekat bunuh diri. Waktu itu aku masih berusia enam tahun kurang. Yang kuingat, dulu Mbokdhe Darmi berteriak di ladangnya. 

"Ramdan... Ramdan kae kena ngapa?" (Ramdan... Ramdan kenapa dia?")

Ternyata Mbokdhe Darmi melihat Pak Ramdan sudah terbujur kaku. Mata Pak Ramdan melotot dan mulutnya penuh busa. Begitu yang kudengar secara sekilas.

Dari ceritanya juga, tanah di ladang terlihat seperti berbekas gesekan dengan tubuh almarhum Pak Ramdan. Mungkin ketika meregang nyawa Pak Ramdan merasakan sakaratul maut yang luar biasa.

**

Pak Wardani tampak di pintu surau. Langkahnya pelan. Sesekali beliau terbatuk- batuk.

Kuhampiri beliau. Kupapah beliau menuju kursi di depan surau. 

Pak Wardani belum juga menyadari siapa aku sebenarnya. Anak laki- laki yang dulu sering dihukum menimba air sumur. Gara- gara menghabiskan air padasan.

"Pak War, pripun kabare?"

(Pak War, bagaimana kabarnya?)

Pak Wardani menatapku. Beliau memandangiku dengan seksama. Ada guratan penasaran dari wajahnya.

"Ihsan, pak War..."

Kusebutkan namaku. Berharap beliau mengingatku, laki- laki kecil nakal yang sudah dewasa.

"Ihsan...?"

Beliau mengingat- ingat namaku. Beliau masih bingung juga.

"Pak Imam, pak..."

Kusebut nama almarhum bapakku. Setelah itu barulah beliau mengingat aku.

"Walah, le. Wis gedhe kowe. Wis sukses ya. Alhamdulillaah..."

Aku tersenyum. Kemudian Pak Wardani bercerita tentang banyak hal. Dari cerita masa berpuluh tahun yang lalu sampai masa sekarang yang terjadi di kampung.

Dari cerita beliau, ternyata teman- teman kecilku banyak yang merantau. Alasan klisenya untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Seolah tak ada yang mau membangun kampung.

Ah...tunggu dulu. Bukankah itu sama dengan almarhum bapakku? Aku tak boleh menghakimi teman- temanku juga.

"Sing isih betah neng kampung gur Nabila, le..."

(Yang masih bertahan di kampung hanya Nabiha, le...)

Aku mencoba mengingat nama itu. Kalau tak keliru dia anak Pak Ramdan satu- satunya.

"Oh mekaten? Kok mboten tumut teng kota..."

(Oh begitu? Kok tidak ikut- ikutan ke kota...)

Pak Wardani menceritakan tentang keluarga almarhum Pak Ramdan. Sepeninggal Pak Ramdan, lima tahun kemudian Bu Ramdan menderita stroke. Nabila, yang juga teman kecilku, harus merawatnya. Meski dengan keterbatasannya sebagai anak tunggal.

Untungnya saudara Bu Ramdan cukup banyak. Ketika Nabila bersekolah, budhe atau buliknya yang menemani Bu Ramdan. Baru setelah pulang sekolah, Nabila merawat ibunya.

"Saiki Bila mulang neng sekolah kono..."

(Sekarang Bila mengajar di sekolah itu..."

Pak Wardani menunjuk sebuah sekolah kecil. Aku sendiri tak bersekolah di sana karena sudah berada di kota. 

Ah Bila. Hanya dia satu- satunya temanku yang bertahan di kampung. 

"Biasane Bila mrene bakda Maghrib. Nyepaki jaburan nggo ngaji..."

(Biasanya Bila ke sini setelah Maghrib. Menyiapkan jaburan untuk pengajian...)

Ternyata kebiasaan zaman dulu masih dilakukan, mengaji bersama setelah shalat Isya. Meski aku masih kecil aku masih ingat betul kebiasaan orang- orang kampung.

Dari kejauhan aku lihat seorang perempuan seusiaku menuju surau. Aku menduga perempuan itu adalah Nabila.

"Kae sing dirasani wis ketok, le..."

(Dia yang baru saja diomongkan sudah terlihat, le...)

Perempuan itu tersenyum ke arah kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun