"Pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 di Papua Barat Daya (PBD), akan berpotensi melanggengkan politik dinasti. Di sisi lain, terlihat bahwa masyarakat di PBD agak permisif dengan politik dinasti, padahal praktik politik dinasti dimanapun itu, selalu gagal dalam mensejahterakan masyarakat, gagal dalam menumbuhkan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance).Â
Oleh sebab itu, tulisan ini akan menyoroti tiga keluarga, yang potensi melanggengnya politik dinasti di PBD. Tujuan tulisan ini tidak bersifat politis, melainkan mengedukasi pemilih dalam menentukan pilihan politik.
Arena Perebutan Kekuasan
Tahun ini menjadi momentum pilkada pertama di PBD, secara khusus pemilihan gubernur (Pilgub). Di balik pro kontra saat pemekaran daerah, sebagian masyarakat, terutama elit politik lokal merayakan keberhasilan pemekaran daerah baru ini (Provinsi Papua Barat Daya).Â
Pemekaran DOB dalam kacama elit lokal, bukan sekedar demi kesejahteraan masyarakat, tetapi ada arena baru dan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan yang tersedia dalam arena baru tersebut, seperti menjadi gubernur pertama di provinsi baru ini.
Namun, PBD juga menyimpan banyak masalah dan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemimpinnya. Secara khusus problem-problem dasar yang menimpa Orang Asli Papua (OAP).Â
Masalah kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan dan beragam masalah sosial lainnya, seperti pengangguran dan kriminalitas yang cukup signifikan di pusat ibukota provinsi (sebagian besar pelakunya adalah OAP).Â
Begitu juga daerah-daerah pedalaman di provinsi PBD, seperti kabupaten Maybrat, Tambrauw, dan Sorong Selatan, memiliki beragam masalah dan tantangan. Intinya, Provinsi baru ini, harus dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gagasan jelas, untuk menjawab masalah dan tantangan kedepannya.
Dinamika Politik di PBD : Sisi Positif dan Negatifnya
Provinsi baru ini, memulai politik dengan dinamika yang cukup menarik dibanding provinsi lain di tanah Papua, terkait perbedaan pendapat dan keputusan antara KPU Provinsi PBD, dengan MRP PBD, dalam hal memutuskan syarat pencalonan gubernur PBD.Â
Di sisi MRP memutuskan bahwa salah satu pasangan tidak memenuhi syarat sebagai OAP, dan tidak boleh mencalonkan diri sebagai gubernur PBD, sedangkan KPU PBD tetap memutuskan bahwa pasangan tersebut sah sebagai calon gubernur PBD.Â
Polemik ini cukup menyita perhatian sebagian besar masyarakat di tanah Papua, khususnya Provinsi PBD. Sampai pada aksi masa melakukan demo, dan juga pembakaran bab di beberapa titik di kota Sorong, bahkan polemik ini telah menjalani proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Apapun itu, Calon Gubernur yang menyebabkan polemik, telah berhasil ditetapkan oleh KPU sebagai calon Gubernur dan berhak mengikuti pemilihan gubernur Papua Barat Daya 2024, namun pencalonannya menciptakan potensi terjadinya dinasti politik.
Dinamika politik lain yang cukup menarik adalah pasangan mantan walikota Sorong (Lambertus Jitmau) dua periode bersama mantan bupati Sorong Selatan ( Samsudin Anggiluli) dua periode, yang gagal mendapatkan rekomendasi dari partai Golkar pada hari-hari terakhir pencalonan. Apalagi mantan walikota sorong dua periode adalah ketua DPD Partai Golkar Provinsi PBD.Â
Peristiwa ini membuat banyak masyakarat yang kaget akan dinamika politik yang berubah begitu cepat. Sisi positif dari kegagalan mantan walikota Sorong mencalonkan diri sebagai Gubernur PBD adalah mencegah terjadinya politik dinasti, karena di waktu yang bersamaan, istrinya mencalonkan diri sebagai walikota Sorong.
Konsep Politik DinastiÂ
Menurut KBBI politik dinasti merupakan suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa. Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, politik dinasti merujuk pada sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.Â
Dalam buku Politik Lokal & Otonomi Daerah (2014), Leo Agustino menjabarkan politik dinasti sebagai "kerajaan politik" yang elite politiknya menempatkan keluarga, saudara, dan kerabatnya di beberapa posisi penting pemerintahan baik lokal ataupun nasional, atau membentuk strategi semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis (Kompaspedia).Â
Penjelasannya bahwa penempatan keluarga dalam posis penting pemerintahan, baik pada Lembaga eksekutif maupun legislatif.
Politik Dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga. Misalnya ayahnya mewarisi kekuasaannya kepada anaknya.Â
Sistem ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki (UMJ.com). Artinya politik dinasti adalah kultur politik dalam sistem monarki, bukan demokrasi. Namun, jika mencermati kondisi poltik saat ini, bahwa politik dinasti kini  telah bertransformasi ke dalam sistem demokrasi (melalu pemilihan).
Potensi Melanggengnya Politik Dinasti di Papua Barat Daya
Pilkada 2024 di Papua Barat Daya, baik level provinsi untuk gubernur dan Kabupaten/Kota, cukup menarik. Beragam dinamika tercipta, namun satu hal yang menurut pengamatan saya bahwa masyarakat di PBD cukup permisif dengan ; Potensi melanggengnya politik dinasti. Tidak banyak Masyarakat (termasuk akademisi, media dan masa) di PBD yang melihat dan mempersoalkan hal ini, padahal secara teori dan praktek dimana pun itu, politik dinasti selalu menghambat demokrasi, pembangunan dan agenda kesejahteraan Masyarakat.
Sejauh bacaan literatur saya, bahwa tidak ada kajian yang menunjukan bahwa ada korelasi positif antara praktik politik dinasti dengan demokrasi, tata Kelola pemerintahan yang baik, dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat
. Justru literatur-literatur yang ada, menunjukan bahwa politik dinasti selalu berpotensi menyebabkan kegagalan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, gagalnya tata Kelola pemerintahan yang baik (good governance), melemahkan demokrasi, dan juga cenderung korupsi serta otoriter. Untuk itu, menurut saya, politik dinasti adalah sesuatu yang harus ditolak dan dilawan dalam kultur demokrasi, serta jangan permisif (menormalisasi) praktik politik dinasti.
Dalam tulisan berikut ini, saya menunjukan tiga keluarga yang berpotensi melanggengkan politik dinasti di Papua Barat Daya. Dua keluarga, saya kategorikan sebagai politik dinasti, sedangkan satu keluarga, saya menganggap ada relasi, namun saya tidak mengkategorikan sebagai politik dinasti dalam definisi yang ketat.
1. Â Dinasti Umlati
Abdul Faris Umlati (AFU) dalam beberapa bulan lalu, menjadi sosok yang ramai dibicarakan di Papua Barat Daya, baik di media masa, media sosial dan real life (bahkan sampai beberapa kali aksi demi di kantor KPU PBD, dan juga pembakaran ban di beberapa titik kota sorong).Â
Sosok tersebut jugalah yang memicu konflik kelembagaan antara KPU PBD versus MRP PBD terkait status sebagai Orang Asli Papua (OAP), sebagai syarat pencalonan gubernur. Namun, pada akhirnya, AFU telah ditetapkan oleh KPU PBD sebagai salah satu calon gubernur di Provinsi PBD.
Selain status keaslian sebagai OAP dalam syarat pencalonan gubernur PBD yang memicu konflik kelembagaan, kemarahan sebagian besar masyarakat, karena dianggap merampas hak kesulungan OAP. Namun, apapun itu, secara konstitusi, AFU telah resmi menjadi calon gubernur PBD.
Namun, masalah yang tak kalah penting menghantui sosok ini, yakni potensi melanggengnya politik dinasti di PBD. Dinasti politik yang dibangun, dimulai ketika keberhasilannya menjadi bupati kabupaten Raja Ampat selama dua periode (2016-2021 dan 2021-2025), kesempatan ini juga mengkokohkan dirinya sebagai salah satu figure penting di partai Demokrat ( Papua Barat dan berlanjut ke PBD).Â
Dengan posisinya sebagai bupati dua periode, dan posisi pentingnya di partai Demokrat, AFU berhasil membangun dinasti. Hal ini terlihat dari keberhasilan istrinya (Faujia H. Br. Tampubolon) menjadi anggota DPR RI dari Provinsi PBD (2024-2029, begitu juga keberhasilan mendorong adiknya (Ria S.N. Umlati) mencalonkan diri sebagai bupati Raja Ampat periode 2024-2029 (untuk melangsungkan kekuasaan keluarga Umlati), serta anaknya (Ahmad fadaln Umlati) menjadi anggota DPRD/K Provinsi PBD (2024-2029). Politik dinasti keluarga Umlati, telah mengakar dan terbangun dari Partai Demokrat (terlihat dari semua anggota keluarga yang terjun ke dunia politik, semuanya merupakan kader partai yang sama).
2. Dinasti Jitmau
Kegagalan Lambertus Jitmau (LJ) sebagai calon Gubernur Provinsi PBD, bukan berarti kegagalan dalam membangun dinasti. Sebab, istrinya berhasil menjadi calon walikota Sorong (2024-2029), daerah yang LJ pimpin selama 10 tahun, atau dua periode kepemimpin (2012-2017 dan 2017-2022)Â
Jika melihat konsep politik dinasti, setelah dua periode memimpin dan selanjutnya istrinya menjadi calon, maka dapat dikatakan sebagai upaya menjaga dan mewariskan kekuasaan pada keluarganya (istri). Bahkan jauh sebelum itu, Ketika LJ dua periode menjadi walikota Sorong, istrinya menjadi ketua DPRD/K selama dua periode (2014-2019-2019-2024).
Menariknya, mereka berdua berasal dari partai yang sama ; Partai Golkar. Artinya, dinasti Jitmau bukan saja ada pada arena pemerintahan (dalam artian eksekutif dan legislatif), melainkan dinasti ini terbangun dalam institusi Partai Politik (Partai Golkar). hal ini, serupa dengan praktik poltik dinasti yang dilakukan oleh keluarga Umlati.
3. Â Dinasti SagrimÂ
Di waktu-waktu akhir pendaftaran, Bernad Sagrim (BS) berhasil mengantongi rekomendasi Partai Golkar, dan secara langsung mencampakkan ketua DPD partai Golkar Prov. PBD ( Lambertus Jitmau atau LJ). Peristiwa yang sebagian masyarakat menganggap BS tidak memiliki etika atau perasaan, namun menurut saya dalam politik kejadian seperti itu, biasa saja dan mungkin terjadi.Â
BS adalah mantan bupati Kabupaten Maybrat dua periode (2011-2017 dan 2017-2022), yang sempat mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI (2024-2029), namun gagal (tetapi mengantongi suara yang cukup tinggi; 43. 487 suara).Â
Di sisi lain, (adiknya BS) Auguste C.R. Sagrim , atau sapaan akrab Gusti berhasil menjadi calon walikota Sorong (2024-2029). Hal ini membuat, kita bisa beranggapan bahwa ada potensi terciptanya politik dinasti keluarga Sagrim di Papua Barat Daya. Tentu dalam konsep politik dinasti yang longgar (melihat relasi keluarga), maka keluarga Sagrim bisa dianggap  membentuk politik dinasti.
Namun, dalam pandangan saya, dengan konsepsi yang agak ketat, saya menilai bahwa keluarga Sagrim tidak bisa dianggap sebagai praktik politik dinasti, dengan beberapa alasan : Pertama, BS dan adiknya (Gusti) tidak ada dalam satu partai yang sama, ini membedakan dengan keluarga Umlati dan Jitmau. Kedua, mereka tidak ada dalam arena kontestasi yang sama. Maksudnya, arena politik BS ada di kabupaten maybrat, sedangkan adiknya Gusti ada di Kota Sorong, dua arena politik yang berbeda.Â
Ketiga, Keberlanjutan kekuasaan. Menurut saya keluarga AFU ( Raja Ampat) dan Jitmau (Kota Sorong) memiliki motif keberlanjutan kekuasaan, sedangkan keluarga Sagrim, tidak memiliki agenda ini. Kecuali Gusti mencalonkan diri di Kabupaten Maybrat.Â
Keempat, sepanjang pengamatan saya, Gusti (adik BS) selalu melakukan diferensiasi politik dengan kakaknya (BS). Walau relasi adik-kaka selalu berpotensi terjadi pertukaran modal, akses, dan jejaring. Dengan melihat keempat alasan yang saya sampaikan, maka dalam pendefinisian politik dinasti yang ketat, maka keluarga Sagrim, tidak dianggap mempraktikkan politik dinasti, seperti keluarga Umlati dan Jitmau. Namun, dalam definisi yang longgar, maka ada relasi keluarga (kaka-adik) yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam area Provinsi yang sama.
Apa Bahayanya Politik Dinasti ?
Merujuk pada berbagai bacaan literatur (Agus Dedi, 2022 ; Heriyanto, 2022; Wimmy Haliim, Andy Ilman Hakim, 2020; Fitriyah,2022; Djoni Gunanto, 2022, dan lainnya) Â , maka politik dinasti tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi, karena kultur politik yang dibangun yakni menganggap kekuasaan (pemerintah) milik keluarga tertentu, bahkan memastikan kelangsungan kekuasaan ada dalam keluarga tersebut.Â
Sehingga, sulit bagi orang di luar kelurga tersebut untuk masuk (menjadi pemimpin), karena selama berkuasa, watak dinastik selalu memperkuat, memperluas dan mewariskan kekuasaan dalam keluarga tertentu.Â
Praktik politik seperti ini, berpotensi memberi panggung kepada orang-orang yang tidak berkompeten (karena jalur orang dalam) untuk menduduki jabatan yang mengatur hajat hidup orang banyak (membuat kebijakan), sedangkan praktik seperti ini, sering mengeliminasi orang-orang yang berkompeten untuk memimpin (karena bukan bagian dari keluarga yang berkuasa).Â
Sehingga, sirkulasi kekuasaan yang baik dalam alam demokrasi sulit terjadi, karena disumbat dan diperhambat oleh keluarga tertentu.
Praktik politik dinasti bahkan jauh-jauh terbangun dalam institusi partai politik (Contoh: Dinasti Umlati dan Jitmau), yang sudah mengakar kuat dalam partai Demokrat dan Golkar.Â
Kekuasaan dalam partai inilah yang memungkinkan mereka mudah mengakses kesempatan menjadi calon kepala daerah, menjadi calon anggota legislatif. Artinya praktik ini tidak sekedar menguasai Lembaga eksekutif dan legislatif , tetapi juga partai politik.
Praktik politik dinasti, juga berdampak terhadap jalannya tata Kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan upaya mewujudkan reformasi birokrasi di daerah. Karena praktik politik dinasti cenderung memastikan posisi-posisi penting dalam struktur pemerintahan diisi oleh keluarga atau para loyalis, yang belum tentu memiliki kompetensi di bidang terkait.
 Praktik politik ini, juga sulit menjalankan prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas dalam penyelenggaran pemerintahan (karena banyak praktek pemerintahan yang mengamankan kepentingan keluarga dan para loyalis)
Tentu, dengan begitu, upaya pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya OAP, yang mengalami beragam persoalan dasar di bidang Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi, akan sulit tercapai. Karena logika kekuasaan seperti ini (politik keluarga/politik dinasti) hanya mengupayakan konsolidasi kekuasaan, agar memperkuat, memperluas dan mewariskan kekuasaan. Â
Sehingga, menurut saya, jika masyarakat menginginkan masa depan kehidupan yang baik, demokrasi yang kuat, tata Kelola pemerintahan yang baik, serta segala persoalan dan tantangan di PBD bisa diatasi, dengan menghadirkan pemimpin yang membawa harapan (politics of hope). Maka, (kita) masyarakat jangan permisif terhadap praktik politik dinasti.
Referensi pendukung :
- Foto diambil dari berbagai sumber dan didesain oleh penulis dengan canva untuk menunjukan relasi poltik dinasti.
- https://www.youtube.com/watch?v=a4tgl3qLiMQ
- https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Faris_Umlati
- https://id.wikipedia.org/wiki/Bernard_Sagrim
- https://id.wikipedia.org/wiki/Lamberthus_Jitmau
- https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/politik-dinasti-definisi-fenomena-global-yang-mengancam-demokrasi
- https://umj.ac.id/opini-1/politik-dinasti-atau-dinasti-politik/
- https://sorong.tribunnews.com/2024/10/11/putra-abdul-faris-umlati-jadi-anggota-dprd-papua-barat-daya-termudah
- https://sultrakini.com/mahasiswa-di-sultra-bergerak-tolak-politik-dinasti-jelang-pilpres-2024/
- https://nu.or.id/nasional/dinasti-politik-definisi-dampak-negatif-dan-penyebabnya-T3prI
- https://e-jurnal.lppmunsera.org/index.php/Sawala/article/view/2844/1528
- https://ojs.unigal.ac.id/index.php/modrat/article/view/2596/1959
- https://journal.ummat.ac.id/index.php/JSIP/article/view/7778
- https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/view/28687/16977
- https://nasional.kompas.com/read/2023/11/06/13543061/dinasti-politik-dan-pengkhianatan-demokrasi?page=all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H