Anna terlonjak. "Ufh, benar. Harus dirayain nih. Sorry Uncle, bukannya bohong, tapi rasanya aku masih menyimpan tiga botol sake terakhir. Mudah-mudahan ketemu."
Seharusnya malam itu mencapai happy ending. Tapi barangkali Tuhan ingin aku menunjukkan pada anak lelakiku pelajaran hidup yang jauh lebih dahsyat. Sayangnya, aku terpaksa skip dulu peristiwa yang terjadi kemudian untuk pembaca. InsyaAllah, bila sudah memungkinkan, penggalam diary ini akan kuceritakan.
Malam itu, aku berdialog sangat panjamg dan intens dengan Mha. Malam itu, semua interaksi verbal yang pernah diperolehnya seumur hidupnya beroleh visualisasi konkrit dan jujur. Kami, bapak dan anak, sama-sama telanjang.
"Kamu tidak akan mampu mencerna semua ini dalam waktu singkat. Jangan kau lawan gempa dahsyat ini. Terima saja semampumu. Biarkan mengendap. Besok kita pulang, kamu kembali ke pondok pesantren. Kita akan menjalani hidup dengan ritme yang "normal" lagi.Â
'Perlahan kamu akan mampu mencerna semua ini hingga tuntas dan itu akan menjelma ilmu yang sangat berharga sebagai bekal kehidupanmu selanjutnya. Maaf bila hanya ilmu yang bisa aku berikan." Kata-kata itu kutancapkan dalam-dalam.
"Are you sure, pop?"
"Not that sure. Tapi selamat, mulai malam ini, aku tidak mungkin lagi menganggap dan memperlakukanmu sebagai kanak-kanak. Kamu sudah menjadi laki-laki dewasa. Selamat.
'Dan tentu saja, happy birthday, nineteen and a week, right?"
Mha tersenyum. Sekarang dia tahu bahwa selama ini aku hanya pura-pura lupa tanggal lahirnya.Â
"Thanks, pop," kata-katanya tersendat. Bulir air mata menggelinding dari sudut mata Mha.
***