***
Sepanjang perjalanan Salatiga - Jogja lewat Boyolali, Mha terus bertanya soal ngalong. Ngalong adalah istilah lazim dalam dunia pondok pesantren, yakni aktivitas menimba ilmu di suatu ponpes tanpa boarding.
"Ada beberapa kemungkinan, ziarah ke makam Ndoro Purbo, ngalong ke pondok Pleret, pondok Krapyak, atau ke Tante Anna."
"Come on, jangan jokes bapak-bapak lagi," untuk opsi terakhir, Mha protes. Ia pernah sekali kuajak ke rumah Anna. Ia tahu macam apa isi rumah itu.
"I mean it. And now I decide. Kita ke rumah Tante Anna."
***
Sampai di Manding Serut jam tiga sore. Usai chit chat dengan keluarga kakak (Bli Made Saryawan, Mbak Tari, dan anak mereka: Sena dan Ni Luh), Â tidur, mandi, dan makan malam lauk ndog bumbon, kami berangkat ke rumah Anna di jalan Kaliurang.
Jalanan Jogja tak lagi ramah. Padat, bising, dan penuh polutan. Sambil memberikan latar historis spot-spot remarkable yang kami lewati, mengerahkan safety riding skill dengan sepeda motor bermasalah, ditambah problem degeneratif, membuatku mengalami disorientasi. Nyasar ke sana sini dipermainkan jalur-jalur one way.
Butuh dua jam untuk sampai di rumah eksotik di tengah sawah yang sekarang tidak lagi sangat jauh dari peradaban. Wajarnya sih cuma sejam. Joke bapak-bapak tak bisa ditahan. "Harap maklum, tempat tinggal kaum wali memang wingit, susah ditemukan. Tak sembarang orang bisa masuk."
Memang, rumah yang sekaligus menjadi pabrik sake dan tempat nongkrong penghayat liberalisme, para agnostik, hingga penganut atheisme itu merupakan restricted area. Selain tersembunyi, bila tak kenal, tanpa referensi "orang dalam", jangan harap bisa masuk. Gerbang depan dipasangi police line oleh pemilik rumah dan dijaga sepasang anjing.
Anna menyambutku dengan peluk erat dan ciuman hangat. "Aku rindu kamu," bisiknya di kupingku, "kita nongkrong di atas saja ya, Uncle. Kumpul keluarga."