"Kamu beruntung berkenalan dengan cinta didampingi bapak dan tante. Kamu pasti tahu kalau ini bersifat adiktif. Dengan semua yang tante dan bapak jelaskan padamu, kamu akan bijak menentukan pilihanmu sendiri apakah akan menjadi pecandu atau tidak.
'Tante dan bapak tidak seberuntung kamu. Kami mengenal dunia kami di masa-masa pencarian jati diri seusiamu dulu dari teman dan lingkungan yang sama tidak tahunya mengenai dunia baru itu. Tak ada yang bertanggungjawab memberi informasi yang dibutuhkan sebagai pembelajaran. Bapakmu beruntung bisa melepaskan diri dari semua bentuk ketergantungan pada psikotropika. Tante masih alcoholic sampai sekarang.
'Tante harap, setelah ini, Damar bisa memutuskan dengan bijak apa yang baik untukmu, apa yang tidak. Jangan pernah mengutuk objek, sebab yang harus bertanggungjawab adalah subyek. Kamu ngerti maksud tante, kan?"
"Iya tante."
Tak lama, Arfi dan Wuri bergabung. Menyusul Dama (keponakan Anna) dan Gun, calon suaminya. Illu sesekali ikut bergabung, dia sedang menyelesaikan tugas menggambar.Â
Topik obrolan meluas. Aku yakin, Mha mengalami gegar budaya yang dahsyat ketika menyaksikan dan terlibat dalam perbincangan. Pun, Mha pasti shock melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana penampilan, attitude, etika, dan norma-norma yang berlaku di tengah komunitas bapaknya. Sesuatu yang pasti tak pernah diimajinasikannya.
"O ya, Uncle, tadi waktu mau ke sini aku nemu dompet tergeletak di ringroad utara. Isinya selain kartu identitas, atm, surat-surat kendaraan, juga ada uang satu juta rupiah," tiba-tiba Dama bercerita.
"Ya ampuunnn... kasihan sekali yang kehilangan. Terus?" Anna berteriak kaget.
"Ya aku sedih, nangis. Sempat kacau sih.., untung alamat di KTP tidak jauh. Kami berhasil menemukan pemiliknya. Hufh... lega. Itu sebabnya kami lambat datang."
"Duuhh... kebayang nggak sih panik dan sedihnya orang itu?" Wuri berkata tersendat-sendat. Airmata mengalir di pipinya.
"Sudahlah. Sekarang dia lagi bahagia-bahagianya. Sama bahagianya dengan kita malam ini," ujarku menetralisir emosi.