"Siapa saja?"
"Sebentar Dama datang dengan calon suaminya. Kamar tamu sekarang ditempati Wuri, anggota keluarga baru kita."
Ini kali ke dua Damar kuajak ke sana. Dulu, kami hanya duduk-duduk di bangku halaman. Kali ini Anna memintaku menginap. "Kamu seperti hantu, susah dapat momentum bersamamu. Tidur sini ya, Dimas... eh, Damar. Maaf. Tante selalu lupa menyebut namamu. Mau minum apa? kopi, teh?"
Aku minta kopi, Mha juga. Anna minta kami terus ke atas, dia belok ke dapur yang lokasinya berada di posisi terdepan rumahnya. "Arfi.., ada Uncle!" teriaknya sambil berlalu.
Arfi, suami Anna, nongol dari kamar di lantai dua pondok kayu utama. "Hai, piye kabarmu?" ia mengulurkan tangan.
"Alhamdulillah. Udah fit."
"O iya. Anna cerita kamu habis oprasi. Ini anakmu?"
"Iya. Dia penasaran pengen lihat Om Arfi bikin golok. Makanya mumpung ada acara keluarga di Jogja, tak ajak ke sini."
"Oh, gitu. Ya udah, naiklah dulu. Aku lagi bicara sama Illu."
Illuminati, dua belas tahun, anak tunggal Arfi dan Anna, penyandang disleksia. Aku dan Mha naik ke lantai dua pondok ke dua yang bolehlah disebut ruang keluarga. Anakku tak henti terkagum-kagum pada arsitektur rumah Tante Anna. "Disainernya bernama Mas Enyenk, pengidap scizophrenia," kataku.
"Wow."