Bagaimana kau bisa berjumpa dengannya lagi jika ia berada di tempat yang tak mungkin kau tuju dan hanya menjadi kenangan atas keberanianmu
Kau tak mungkin pergi ke wilayah tertutup itu jika kau tak tahu caranya. Aku berpikir dan terus mempertimbangkan apakah aku bisa ke sana, masuk melalui perbatasan, menerobos penjagaan ketat, peluang besar tertangkap menghantui, dan nasib tak pulang selamanya sangat besar. Benar-benar tindakan yang bodoh jika aku menuruti pikiranku sekarang.
Namun kata hati bicara lain. Dengan pelan berulang ia memanggilku, seolah-olah ada yang menarik, mengajak keberanianku untuk lebih sombong dan angkuh. Suatu keinginan yang tak masuk akal pun apakah dapat dikalahkan oleh suara hati. Namun kenyataannya itulah yang terjadi. Kata hatimu membuat kau bisa lakukan apapun dalam suatu imajinasi yang diproyeksikan di langit-langit dalam kepalamu. Bergerak, melompat tak beraturan, menari, terbang, meluncur seperti roket, memancar lebih cepat dari cahaya.
Kau liar berimajinasi. Sesuatu yang tak terjadi pun sudah terjadi dalam pikiranmu. Mereka pikir kau adalah orang gila yang berfiksi sesuka hati. Namun kau tak dengarkan bisikan itu, gunjingan apalagi hasutan dibiarkan berlalu. Kau adalah imaji yang terproyeksi di pikiran dan hatimu saat ini.
Aku memutuskan untuk mencari cara bagaimana pergi menerobos tempat berbahaya itu. Melalui situs pencari Baidu kujelajahi laman per laman. Beberapa menawarkan cara untuk masuk dengan nyaman. Tinggal memilih masuk dari tanggal berapa dan ingin menginap berapa hari. Sempat kumerasa curiga apakah ia yang menawarkan bepergian ke tempat itu benar-benar dapat dipercaya.
Kucoba memberitahukan maksudku dan mulai bernegosiasi. Tak ada sedikit pun kecurigaan karena ia memberikan banyak bukti perjalanan sebelumnya. Mulus dan lancar. Akhirnya aku memilih tanggal yang pas untuk berangkat. Kupersiapkan barang-barang setelahnya. Kuingat satu persyaratan agar membawa kamera digital saku karena aku tak diperbolehkan membawa ponsel masuk.
Kupesan tiket kereta, menempuh 12 jam perjalanan ke kota dekat perbatasan. Sampai di stasiun aku dijemput oleh seseorang dari agen yang kuhubungi sebelumnya. Ia membawaku ke kantornya dan meminta dokumen-dokumenku. Ia mencatat dan menyusun semua dokumen dengan rapi, cepat, karena memang mereka terbiasa bekerja cepat. Kemudian aku diajak berjalan menuju suatu pos yang terlihat seperti terminal bus.
Aku disuruh bergabung dengan beberapa orang lain, berkumpul, mendengarkan arahan dari seorang agen. Aku mendengar beberapa hal tentang larangan dan kehati-hatian yang harus diperhatikan selama masuk ke dalam. Aku rasa semua orang sudah tahu bahwa mereka akan berada di tempat yang aturannya tak pernah mereka pahami karena semua hal buruk dapat terjadi.
Satu bus berukuran sedang datang mengangkut kami. Perjalanan pun dimulai dengan memasuki jembatan, pelan menerobos perbatasan. Perbatasan yang kami lewati adalah satu jalan yang dapat dilewati dua kendaraan besar. Di sebelahnya adalah jalur kereta api untuk mengangkut barang dan penumpang. Sang presiden pun pernah berkunjung ke luar menaiki kereta khusus lewat rel ini. Tentunya kereta yang telah dimodifikasi dengan sangat mewah dan elok.
Rasa deg-degan dan senang campur teraduk ketika melewati jembatan panjang. Deg-degan karena apakah aku bisa keluar suatu saat nanti, dan senang ketika akhirnya aku nekad menuruti hati yang memenangkan logika otak. Kucoba berdiri dari tempat duduk dan memotret ke kanan, kiri, dan ke depan. Namun seorang perempuan dari agen melarangku untuk memotret, menyuruhku lekas duduk lagi. Aku memang tak tahan jika tak memotret momen langka. Walaupun hanya memotret jembatan perbatasan sebelah utara ini.
Setelah sampai dan masuk ke dalam wilayah kami turun dan masuk ke pos penjagaan. Kami melihat tentara berseragam agak kedodoran berdiri tegap. Kami tak menghiraukan itu karena barang-barang kami diperiksa satu per satu oleh petugas perbatasan. Ia bersegaram berbeda dengan tentara di luar. Namun mereka punya persamaan yaitu memakai bros bergambar pemimpin mereka. Semua barang telah selesai diperiksa. Ponsel kami tinggalkan di perbatasan dengan terpaksa karena itulah aturannya.
Kami disuruh kembali masuk ke bus dan memulai perjalanan. Seorang perempuan berumur sekitar 25 tahun membolak balik pasporku sambil melihat wajahku beberapa kali. Ia tiba-tiba mengatakan "Indonesia", lalu kujawab tergagap "yes..yes, Indonesia". Ku tak bisa mengatakan sepatah kata pun dalam bahasanya. Ku pikir ia akan bisa bicara dalam bahasa Inggris atau kuharap ia juga mengerti Mandarin. Ia tiba-tiba senyum bersamaan raut mukanya jadi keheranan seolah-olah tak pernah melihat orang asing selain yang berkulit kuning.
Di bus ia memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa Mandarin. Aku tak terlalu kaget karena seharusnya ia menguasai bahasa negara tetangganya. Negara yang dianggap sebagai kakak seperjuangan, senasib sepenanggungan atas nama idelogi. Negara yang membantu di kala susah dan senang. Ia memberitahuku bagaimana menyapa dalam bahasanya. Bahasa di Utara dan Selatan berbeda karena sudah berpisah selama puluhan tahun maka sangat wajar jika bahasanya pun berubah.Â
Kutatap beberapa saat wajahnya yang bulat melon hami. Ia tak memakai kosmetik yang berlebihan seperti gadis selatan, alami dan justru semakin terpancar ketika lemparan senyuman ditargetkan ke mataku. Dalam hati kumemohon padanya untuk menghentikan serangan senyuman itu karena membuatku semakin terpojok.
Maka tak ada cara lain selain menunduk untuk menghindar. Namun tembakan yang tak kalah hebat adalah tatapannya. Matanya yang seperti daun willow musim semi itu lebih mengutarakan maksud ke pikiranku daripada ke telingaku. Ku memohon sekali lagi lewat pikiranku untuk tak sering menatapku dengan cara seperti itu.
Bagaimana bisa lebih lincah menghindar jika berulang kali kutatap bibirnya yang mungil. Namun yang lebih dahsyat adalah bagaimana ia bertutur kata. Ia menjelaskan tempat tujuan pertama. Ia mengingatkan untuk tidak memotret dua patung pemimpin. Patung itu paling dihormati dengan berbagai latar belakang, namun banyak orang di luar selalu menggunjingnya bahwa pemimpin itu berkedudukan seperti Tuhan.
Kami turun dari bus dan diberi seikat bunga oleh penduduk lokal. Bunga itu bukan untuk kami simpan, melainkan langsung dipersembahkan untuk dua patung setinggi kurang lebih 20 meter itu. Beberapa orang kulihat meletakkan bunga di hadapannya dengan membungkuk, memberikan hormatnya. Mungkin beberapa dari mereka juga berdoa atau meminta sesuatu permohonan. Aku tak peduli dan terus maju ke depan sesuai antrian, meletakkan bunga lalu mundur perlahan.
Lagi-lagi aku dihampiri gadis yang baru kutemui. Ia mulai bertanya tentang hal-hal yang menarik dan tak akan sengaja kulupakan. Ia berbahasa Inggris dan Mandarin dengan fasih.
"jadi kau dari Indonesia ? aku baru pertama kali bertemu dengan orang Indonesia." Wajah dan pertanyaannya menyiratkan keheranan yang sama.
"benar, kamu tahu sesuatu tentang negaraku ?" kuharap ia tahu sedikit meskipun mungkin itu hanya tempat wisata.
"tidak tahu, tapi mungkin tempat itu indah sekali." Ia mungkin memimpikan ada tempat yang lebih indah selain di sini.
"Ya, banyak orang asing yang mengatakan seperti itu karena kami punya banyak pulau dan pantai yang indah." Jawabku klasik jika aku mau sombong tentang negaraku.
"bagaimana kau bisa sampai sini ?" Ia mungkin akan pelan-pelan mengenalku dan akupun akan mengenalnya dengan pelan-pelan.
"ceritanya panjang. Aku selalu ingin tahu dan ingin melihat secara langsung tentang negara ini dan bagaimana kehidupan orang-orang." Kuharap jawabanku tak menyinggung perasaannya.
"banyak orang yang kutemui juga mengatakan sama sepertimu. Aku tak tahu bagian mana yang ingin mereka ketahui." Ia paham bagaimana orang asing memiliki perspektif yang sama.
"kupikir kau mengerti banyak hal tentang apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana caramu tahu tentang semua itu ?". Aku harap kedua kalinya tak akan menyinggung.
 "aku kuliah di ibukota selama hampir 6 tahun dan menguasai dua bahasa asing." Katanya mengisyaratkan ia belajar banyak hal tentang budaya-budaya manusia. Mungkin ia juga mengisyaratkan untukku agar tak meragukannya.
"kau sangat pintar. Namun apakah itu tak lantas membuatmu mengerti keadaan di negaramu lalu menginginkan yang lebih baik di luar sana ?"
"mereka menginginkan keadaan lebih baik meski dengan berbagai resiko, namun aku tak menghiraukan, memilih untuk menjelaskan hal-hal yang orang luar sepertimu tahu."
"seperti mereka yang bekerja ilegal di perkotaan atau dipaksa menjadi PSK." Berharap aku tak mengucapkan kesalahan.
"tak hanya itu saja. Keadaan yang sebenarnya mungkin lebih buruk".
"lalu bagaimana jika yang lain merasakan kebebasan dan kenyamanan?"
"aku tak peduli. Itu keputusan mereka. Semua memiliki hak atas nasib hidup masing-masing."
"kau sadar mengatakan itu di sini. Jadi kau merasa nyaman di sini ?" untuk kesekian kalinya aku menantangnya.
"aku merasa cukup di sini bersama orang-orang lain yang merasakan hal sama."
"mungkin memang di negaraku yang banyak orang tak merasa cukup. Namun bagaimana kamu bisa tahan melihat orang-orang yang berpakaian formal setiap hari, potongan rambut yang sama. Berjalan, bekerja, dan beraktifitas seolah-olah mengikuti irama yang sama."
"kebebasan bukan hal yang dapat dengan mudah kami dapatkan, itu kekurangan kami. Namun setidaknya banyak fasilitas, kemurahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada rakyat. Jangan kau tutup mata ketika seseorang harus membayar 2 kali gaji sebulan untuk mengobati penyakit flu dan 4 tahun melunasi hutang biaya kuliah."
"itulah prinsip dari dari kesamarataan. Apakah kau yakin mereka akan terus dengan ikhlas menerima hal ini?"
"selama mereka nyaman dan bersikap patriotik. Jika tidak mereka akan memutuskan jalannya sendiri."
"apa akibat lain daripada mereka yang keluar, migrasi, serta membelot ?"
"kau sudah tahu jawabannya, dan itu yang dikhawatirkan banyak negara bagi kami."
"lalu bagaimana nasibmu nanti ?" aku tak menyadari terpeleset dengan pertanyaan bodoh ini.
"nasibku ? untuk apa kau peduli akan nasibku. Kau hanya sama dengan orang asing lain yang berpandangan sinis tentang nasib kami."
"aku tak sinis. Aku hanya.."
"hanya apa ?" dia memotongku tiba-tiba. "Kau kira aku yang berpendidikan akan meninggalkan keluarga dan masyarakat untuk menyeberang dan menjadi pelayan restoran atau penghibur lelaki bejat di bar ? atau mengabarkan kejelekan sistem di negaraku di televisi dan media sosial ?"
"dan jika kau memilih bertahan pun aku hormati, tak ada yang melarangmu".
"kau harus tahu bahwa tidak semua orang berpendidikan tinggi dan telah melihat dunia dengan luas akan tertarik untuk mengikuti jalur mereka. Kumemilih untuk tinggal bersama orang-orang tercinta dan jika suatu saat terjadi perubahan besar biarlah kami mengalaminya bersama."
"tak ada yang meragukan rasa patriotikmu dan orang-orang di sini."
"lalu di mana rasa patriotikmu?" pertanyaan ini menusukku dalam-dalam. Ku telah lebih dari 5 tahun tak pulang ke tanah air dan rindu yang menghantui.
"aku dulu punya rasa patriotik, namun sekarang sepertinya ku telah sengaja banyak melupakan itu. Seharusnya aku pun menanyakan rasa patriotikku." Tiba-tiba kau merasakan penyesalan yang mendalam.
"pulanglah dan beritahukan kepada orang-orang yang ingin tahu keadaan kami. Kami tak selalu seperti yang dikabarkan. Setiap orang memiliki cerita dan nasib yang seharusnya bisa dipertimbangkan daripada kepongahan suatu sistem."
Aku menyadari bahwa banyak orang asing yang penasaran dengan kehidupan mereka hanya berani mengkritik sambil mendokumentasikan kehidupan mereka tanpa pernah memahami bagaimana suara-suara dari setiap orang yang berada di sini. Â
Baru kali ini dan tak kusangka aku bertemu seorang gadis cantik dengan pendirian kokoh, tak lantas cengeng dan merengek dengan keadaan dan sistem yang mengekang. Mungkin kecantikannya akan berkurang jika ia merengek minta-minta dan selalu protes.
"apakah aku bisa pulang ?" tanyaku bercanda.
"kau seharusnya pulang, kecuali kau tak patuh pada aturan kunjungan ini. Sekali kau keluar dari jalan yang telah ditentukan kau akan menghadapi pelanggaran berat dan aku tak bisa membantumu."
"aku hanya bercanda. Apakah aku tak akan bertemu kamu lagi ?"
"kau yang mendesain untuk sampai ke sini. Bertemu aku adalah bagian dari keberanianmu."
"jadi kalau aku berani aku bisa bertemu kamu lagi ?"
Dia tersenyum. Gigi putih rapinya terlihat seperti jagung muda. Sewaktu ia tersenyum kuambil kameraku dan tanpa izin kupotret tepat di wajahnya. Ia terkaget dan merasa akan kesal namun malah tersipu malu. Pipinya yang berisi perlahan memerah dan beberapa saat tak bereaksi karena ulahku.
"maaf. Aku ingin ini sebagai.."
"aku tahu. Kalian orang-orang asing yang senang sekali memotret dan membuat video di sini. Aku maklum.
"terima kasih"
"setelah ini kau akan masuk ke pabrik kosmetik kebanggaan kami kemudian kunjungan akhir adalah museum nasional. Pastikan kau mengikuti semua arahan dan jangan melanggar satu pun aturan yang telah ditentukan."
Walaupun aku telah berpisah dengannya namun aku masih teringat padanya. Seharusnya aku tak mengkhawatirkan jalan hidup seseorang jika ia telah berpendirian pada pilihannya. Justru seharusnya akulah yang harus menanyakan pendirianku atas suatu pilihan. Ku tak pernah berdiri kokoh dan selalu meniru apa yang dilakukan oleh orang lain atas nama eksistensi sosial.
Setelah mengunjungi beberapa tempat kami kembali ke perbatasan untuk pemeriksaan terakhir. Kameraku diambil oleh tentara perbatasan untuk dicek apakah ada foto yang tak sesuai dengan aturan mereka. Setelah pengecekan barang kami diizinkan menyeberang pulang meninggalkan perbatasan. Beberapa gambar kulihat telah dihapus namun gadis perbatasan itu dibiarkan tetap berada di kameraku. Ia adalah kenangan atas keberanianku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H