Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gadis Perbatasan

10 April 2020   10:12 Diperbarui: 10 April 2020   10:55 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gadis perbatasan (dokpri)

Setelah sampai dan masuk ke dalam wilayah kami turun dan masuk ke pos penjagaan. Kami melihat tentara berseragam agak kedodoran berdiri tegap. Kami tak menghiraukan itu karena barang-barang kami diperiksa satu per satu oleh petugas perbatasan. Ia bersegaram berbeda dengan tentara di luar. Namun mereka punya persamaan yaitu memakai bros bergambar pemimpin mereka. Semua barang telah selesai diperiksa. Ponsel kami tinggalkan di perbatasan dengan terpaksa karena itulah aturannya.

Kami disuruh kembali masuk ke bus dan memulai perjalanan. Seorang perempuan berumur sekitar 25 tahun membolak balik pasporku sambil melihat wajahku beberapa kali. Ia tiba-tiba mengatakan "Indonesia", lalu kujawab tergagap "yes..yes, Indonesia". Ku tak bisa mengatakan sepatah kata pun dalam bahasanya. Ku pikir ia akan bisa bicara dalam bahasa Inggris atau kuharap ia juga mengerti Mandarin. Ia tiba-tiba senyum bersamaan raut mukanya jadi keheranan seolah-olah tak pernah melihat orang asing selain yang berkulit kuning.

Di bus ia memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa Mandarin. Aku tak terlalu kaget karena seharusnya ia menguasai bahasa negara tetangganya. Negara yang dianggap sebagai kakak seperjuangan, senasib sepenanggungan atas nama idelogi. Negara yang membantu di kala susah dan senang. Ia memberitahuku bagaimana menyapa dalam bahasanya. Bahasa di Utara dan Selatan berbeda karena sudah berpisah selama puluhan tahun maka sangat wajar jika bahasanya pun berubah. 

Kutatap beberapa saat wajahnya yang bulat melon hami. Ia tak memakai kosmetik yang berlebihan seperti gadis selatan, alami dan justru semakin terpancar ketika lemparan senyuman ditargetkan ke mataku. Dalam hati kumemohon padanya untuk menghentikan serangan senyuman itu karena membuatku semakin terpojok.

Maka tak ada cara lain selain menunduk untuk menghindar. Namun tembakan yang tak kalah hebat adalah tatapannya. Matanya yang seperti daun willow musim semi itu lebih mengutarakan maksud ke pikiranku daripada ke telingaku. Ku memohon sekali lagi lewat pikiranku untuk tak sering menatapku dengan cara seperti itu.

Bagaimana bisa lebih lincah menghindar jika berulang kali kutatap bibirnya yang mungil. Namun yang lebih dahsyat adalah bagaimana ia bertutur kata. Ia menjelaskan tempat tujuan pertama. Ia mengingatkan untuk tidak memotret dua patung pemimpin. Patung itu paling dihormati dengan berbagai latar belakang, namun banyak orang di luar selalu menggunjingnya bahwa pemimpin itu berkedudukan seperti Tuhan.

Kami turun dari bus dan diberi seikat bunga oleh penduduk lokal. Bunga itu bukan untuk kami simpan, melainkan langsung dipersembahkan untuk dua patung setinggi kurang lebih 20 meter itu. Beberapa orang kulihat meletakkan bunga di hadapannya dengan membungkuk, memberikan hormatnya. Mungkin beberapa dari mereka juga berdoa atau meminta sesuatu permohonan. Aku tak peduli dan terus maju ke depan sesuai antrian, meletakkan bunga lalu mundur perlahan.

Lagi-lagi aku dihampiri gadis yang baru kutemui. Ia mulai bertanya tentang hal-hal yang menarik dan tak akan sengaja kulupakan. Ia berbahasa Inggris dan Mandarin dengan fasih.

"jadi kau dari Indonesia ? aku baru pertama kali bertemu dengan orang Indonesia." Wajah dan pertanyaannya menyiratkan keheranan yang sama.

"benar, kamu tahu sesuatu tentang negaraku ?" kuharap ia tahu sedikit meskipun mungkin itu hanya tempat wisata.

"tidak tahu, tapi mungkin tempat itu indah sekali." Ia mungkin memimpikan ada tempat yang lebih indah selain di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun