Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Perempuan Sisa

12 Februari 2020   15:15 Diperbarui: 12 Februari 2020   15:13 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Burung-burung mengerumuni persimpangan jalan, di sebuah taman, menanti orang yang melemparkan biji-bijian. Sesaat lalu kembali terbang di danau beku tak jauh dari tempatku berjalan, di sekitar banyak orang tua, di masa senjanya menghibur diri, memainkan pita panjang sambil menari, meniup suling memainkan alunan klasik, berjalan mundur untuk kesehatan atau hanya mengikuti saran yang kuanggap takhayul, dan sebagian duduk di pagar paviliun. 

Di pinggiran jalan, sepanjang jembatan lengkung taman aku melihat kertas-kertas dipajang, ditempel di papan atau hanya tergeletak dan ditindih batu kecil. Sudah pasti adalah biodata seseorang, kebanggaan setiap orang tua, menunggu sabar di dekatnya. Hari ini adalah hari Minggu, pasar perjodohan seperti biasa menjadi pemandangan yang umum, atau tidak bagi orang asing.

Kulewati saja pemandangan ini hingga sampai hutan bambu di pulau kecil. Hanya ada satu jalan, sempit, diapit ribuan bambu berukuran kecil namun tinggi di sampingnya. Sekarang terasa lebih sunyi, tanpa suara para orang tua bersahutan di pasar jodoh, hanya kicau burung dan gesekan daun bambu yang bergoyang pasrah mengikuti hembus angin. Namun hanya sesaat menikmati heningnya, mataku sengaja menarik kesadaranku ke arah seorang perempuan. Dari kejauhan masih tak tampak jelas, namun semakin mendekat, ia semakin menarik pandanganku.

Seorang gadis mungkin sedang keluar dari paviliun merah, pikirku. Perawakannya tinggi, berpinggang ramping. Kulitnya bersih bersinar seperti kelopak lili, rambutnya panjang, digulung, disanggul dengan kuncian sumpit merah. Sisanya menjuntai bersandar bahu, lurus menyatu. wajah nya oval, berdagu runcing seperti biji lemon.

Bibirnya mungil berwarna merah muda peony. Alisnya tipis, runcing di ujungnya seperti daun willow. Matanya bundar seperti buah aprikot dan berkelopak mata ganda. Wajahnya putih pucat, seperti salju. Tidak ada bedak di wajahnya, namun tetap segar memancar. Gelang giok putih dikenakan di pergelangan tangan, memberikan perasaan segar dan elegan. Ia gadis yang sudah dewasa.

Kecantikan yang jarang kulihat, pikirku lebih mendalam. Bukan hanya penyair dinasti Tang saja yang dapat mendeskripsikan dan memuja kecantikan, tapi aku pun merasa lihai memujanya. Ia seperti empat gadis cantik dalam sastra kuno dan legenda. Ketika ikan melihatnya pasti segera menenggelamkan diri ke dasar.

Ketika burung walet melihatnya, dengan sukarela mereka jatuh dari langit. Saat Bulan melihatnya, cahayanya segera memudar. Ketika bunga melihatnya, kelopaknya menutup karena malu pada diri mereka sendiri. Perasaanku pada kecantikannya sungguh tak ada yang menandingi, tak tahu esok.

Kudekati sampai tepat di sampingnya. Aroma parfumnya semakin tercium, tak biasa. Hampir 20% dari populasi dunia berasal dari negeri ini, tetapi hanya 1% yang gemar memakai wewangian. Ia gemar memakai wewangian. Ia gadis modern. Selama tahun-tahun revolusi yang gelap itu, penggunaan parfum ternyata ilegal. Siapa pun yang menggunakan aroma atau parfum sebelum tahun 67 pasti akan dihina. Kutebak aroma parfumnya, sejenis wangi gaharu, namun terkadang muncul aroma bunga jeruk, dan segera diganti melati. Oh, terima kasih angin. Kau pilah wewangian ini sehingga jelas tercium.

Ia menoleh, tak berkedip beberapa saat hingga memutus lamunan sesaatku, segera membuka obrolan.

"kau sampai sejauh ini, bukannya yang kau cari ada di jembatan itu," tanyanya.

 "Oh, jangan salah tebak. Aku ke sini hanya ingin mencari keheningan taman, juga segarnya udara pepohonan", aku tak menyangka ia akan mengira aku datang ke taman untuk datang ke pasar jodoh itu.

 "Aku pun tak keberatan kalau kau menyangkal. Pemandangan itu, yang seperti pasar itu, bagiku sangat memalukan,"  

Pikiranku pun sama denganya, banyak anak muda menertawakan pemandangan itu, bahkan media asing tertarik membuat video dokumenter, juga dengan nada menyindir.

"Tak aneh lagi, semua orang sudah tahu itu, tapi aku paham apa yang mereka rasakan dan inginkan," aku mencoba untuk bersikap adil, namun dalam hati tetap menolaknya.

 "Kau bukan orang asli sini, tapi aku tahu kau paham banyak hal." Ia sepertinya memang hidup di lingkungan yang mengenal banyak orang asing. "Aku juga tidak heran, banyak orang asing yang lebih paham tentang negeriku, bahasa, bahkan kebudayaannya, membuat orang asli kadang terpukau. Beberapa jadi bintang di televisi dan yang lain tetap jadi guru." Ia memberikan penilaian yang tidak salah, namun kurang tepat bagiku.

"Kau tak keliru, namun penilaianmu aku rasa tak seluruhnya tepat. Kita mengikuti era keterbukaan, negerimu membuka pintu lebar-lebar, dan kau sudah mendapatkan yang mustahil didapatkan pada 40 tahun yang lalu." Jelasku padanya, jelas ia akan paham maksudku.

 "Negeriku mengalami perubahan yang sangat cepat, namun tradisi tetap tradisi. Kau lihat, banyak orang tua sengaja menyuguhkan biodata anaknya, dibaca banyak orang, dipertimbangkan, dicocokkan, dan dinegosiasikan. Kau akan mendapat perhatian pada tinggi badan dan berat badan ideal, pekerjaan bergaji tinggi, dan yang lebih penting kau punya rumah dan mobil pribadi." Ia mengatakan yang sebenarnya terjadi, tapi aku pun kurang paham mengapa ia ikut ke taman ini, mungkin ia hanya ikut menemani orang tuanya, atau hanya ingin menikmati pemandangan taman.

"Itu mungkin tidak hanya tentang tradisi. Banyak orang tua yang khawatir pada anak-anaknya, menurutnya seharusnya sudah menikah." Aku tak tahu apakah akan menyinggungnya.

 "Cara seperti itu seharusnya sudah tidak masuk akal lagi bagiku. Karena dalam hidupku akulah yang bertanggung jawab atas diriku." Ia menghirup nafas dalam-dalam, melepaskannya, lalu duduk di kursi panjang di sisi jalan, menawariku duduk di sampingnya, namun kutolak.

Ia kembali bercerita. Perempuan modern di negerinya lebih kuat, percaya diri, berpikiran terbuka, dan mandiri secara emosional maupun finansial. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, termasuk berpacaran dan memilih jodoh adalah urusan pribadi. Perempuan saat ini mampu mengendalikan hidup dan menopang dirinya sendiri. Dia tahu bagaimana menjaga dirinya dalam status yang baik tanpa banyak bantuan orang tua.

Perempuan saat ini kebanyakan semakin mandiri dalam kariernya, namun terkadang bingung mengatur hubungan pribadinya, khususnya percintaan. Ia masih suka belajar tentang hal-hal baru, mendidik dirinya untuk menyesuaikan perubahan yang sangat cepat ini, sehingga tahu bagaimana cara beradaptasi secara modern, sesuai tuntutan.

"Tapi kau tetap menghormati apa yang dilakukan orang tuamu." Aku memotong cerita panjang darinya.

"Itulah intinya. Masyarakatku adalah masyarakat yang sangat menghormati orang tua. Apapun yang dilakukannya, bahkan seperti saat ini, aku hendaknya mengerti dan mengalah. Itu yang terbaik." Dengan cepat ia merogoh sakunya dan mengeluarkan hape, seperti membalas pesan seseorang, kemudian memasukkannya kembali.

"Tapi kau bisa memutuskan pihanmu sendiri kan ?" tanyaku melanjutkan.

"Tentu, tapi tidak untuk saat ini, dan keputusanku ini tentu tak diterima. Aku harus menerima sebelum umur yang mereka tentukan, kalau tidak aku akan dicap perempuan sisa."

"Kau bukan perempuan sisa," kataku tegas.

"Memang agak lucu, sejak ribuan tahun yang lalu negeriku sangat mendambakan anak laki-laki, tetap berlanjut meskipun ada kebijakan membatasi kelahiran anak. Yang terjadi sekarang adalah penuaan populasi, dan jumlah laki perempuan tak seimbang." Kini ia berdiri sambil melihat di kejauhan, di jembatan, tempat orang-orang berkerumun di pasar jodoh.

"Lalu apa yang ingin kau katakan tentang jodoh atau pernikahan ?" semakin ingin tahu maksudnya.

"Seperti pepatah lama, seorang anak laki-laki dilahirkan menghadap ke dalam dan seorang gadis terlahir menghadap ke luar. Seorang gadis pada akhirnya akan meninggalkan keluarga dan memberi penghormatan kepada leluhur keluarga lain. Tak ada beda dulu dan sekarang, berganti zaman, rezim, dan ideologi." Jelasnya padaku. Meskipun peribahasa dari Konghucu sang filsuf itu tak lengkap ia uraikan, namun aku mengerti intinya.

"Itu akan berubah, aku yakin akan cepat berubah." Dalam pikirku yang sebenarnya tidak yakin.

"Kau tak yakin, kau tahu berapa populasi negeriku kan, hampir 20% populasi di dunia saat ini." Menandakan ia benar-benar tak yakin.

 Pembicaraan kami berhenti sejenak. Kami berjalan menyusuri jalan kecil di hutan bambu, sampai akhirnya keluar dan pemandangan danau kembali kami nikmati. Danau ini tentu indah pada musim panas, penuh pohon teratai yang bermekaran. Namun saat ini hanya putih es menutupi danau. Seketika angin berhembus cukup kencang, daun-daun dari pohon willow berterbangan dan jatuh perlahan. Aku kembali melanjutkan pembicaraan yang terhenti padanya, pada seorang gadis yang belum kutahu namanya.

"Jika ada lelaki yang orang tuamu anggap cocok bagaimana, apakah kau akan menerimanya begitu saja ?" tanyaku semakin jauh. Namun ia sangat terbuka, sama seperti gadis-gadis yang  pernah kutemui sebelumnya.

"Aku akan berkenalan dan kencan dulu, seperti kencan buta di program televisi yang konyol dan palsu itu. Aku harus menghormati orang tuaku. Aku tidak akan serta merta mengatakan tidak, hanya akan kukenalinya terlebih dahulu." Jawabnya masuk akal.

"Masyarakat di sini memang cukup realistis, juga pragmatis." Komentarku singat.

"Jadi kau sudah tahu kan, hanya pura-pura bertanya saja atau kau ingin memastikan." Ia menanggapi semakin serius.

"Setiap orang pasti punya pendapat dan pendiriannya sendiri, seperti yang kau ceritakan tadi. Aku hanya ingin mendengar darimu." Yakinku kepadanya.

 "Aku menceritakan hal yang umum terjadi di negeriku sekarang, ada hubungannya denganku namun tak banyak. Jangan kau anggap semua perempuan di sini semuanya berambisi jadi perempuan-perempuan kuat, yang sampai akhirnya dicap perempuan sisa, tidak."  

"Tak juga aku berpikir seperti itu. Hanya berusaha untuk.."

"Berusaha apa ? meskipun kau paham tentang masyarakat di sini, namun kau tak bisa sembarangan menghakimi, atau bahkan tak mungkin mengubah." Kembali ia menjadikan tanggapanku sebagai kritikan tajam.

"Tunggu dulu, Meilin, aku belum berkomentar banyak." Aku buat-buat saja namanya Meilin. Itu nama yang cantik.

"Meilin ?" tanyanya cepat.

"Iya, aku panggil kau Meilin saja, Mei berarti cantik, dan Lin berarti hutan." Jelasku. Padahal ia pasti tahu tanpa aku jelaskan konteksnya.

"Namaku bukan Meilin, namaku Meijin, hanya sama pada arti Mei saja." Ia akhirnya memberikan namanya.

"Baik, Meijin. Dengar ya. Aku tak punya maksud untuk mengkritik apapun tentang keadaan yang kau hadapi ataupun yang sedang terjadi di sini. Aku menghormati itu semua." Berharap ia akan mengerti.

"Maafkan aku, mungkin karena aku juga salah menilai. Aku hanya tidak suka dengan pasar jodoh itu, mungkin kau juga." Ia kembali merogoh sakunya. Kali ini mengangkat panggilan, berbicara dengan sopan dengan suara lelaki tua, sudah pasti ayahnya.

"Ayahku memanggil dan aku harus ke sana. Kau boleh add akunku, scan ini." Ia menawarkanku add akun medsosnya.

"Terima kasih, mungkin ada waktu kita bisa mengobrol lagi, banyak hal yang aku ingin bicarakan." Harapku menanti.

"Tak masalah." Sepertinya berjanji.

Bagiku ia bukan perempuan sisa, tapi ungkapan ini tetap hidup di masyarakat yang sudah kupahami sejauh ini. Bulan berganti dan musim berganti dari dingin ke semi, semakin hangat. Aku tak menyangka aku tetap berkomunikasi dengannya, meskipun singkat. Kami berencana bertemu pada musim selanjutnya, musim di mana danau di taman akan pada puncak kencantikannya, seperti Meijin, dan kami akan membicarakan topik lain, lebih menyenangkan, bukan perempuan sisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun