Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Perempuan Sisa

12 Februari 2020   15:15 Diperbarui: 12 Februari 2020   15:13 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Itulah intinya. Masyarakatku adalah masyarakat yang sangat menghormati orang tua. Apapun yang dilakukannya, bahkan seperti saat ini, aku hendaknya mengerti dan mengalah. Itu yang terbaik." Dengan cepat ia merogoh sakunya dan mengeluarkan hape, seperti membalas pesan seseorang, kemudian memasukkannya kembali.

"Tapi kau bisa memutuskan pihanmu sendiri kan ?" tanyaku melanjutkan.

"Tentu, tapi tidak untuk saat ini, dan keputusanku ini tentu tak diterima. Aku harus menerima sebelum umur yang mereka tentukan, kalau tidak aku akan dicap perempuan sisa."

"Kau bukan perempuan sisa," kataku tegas.

"Memang agak lucu, sejak ribuan tahun yang lalu negeriku sangat mendambakan anak laki-laki, tetap berlanjut meskipun ada kebijakan membatasi kelahiran anak. Yang terjadi sekarang adalah penuaan populasi, dan jumlah laki perempuan tak seimbang." Kini ia berdiri sambil melihat di kejauhan, di jembatan, tempat orang-orang berkerumun di pasar jodoh.

"Lalu apa yang ingin kau katakan tentang jodoh atau pernikahan ?" semakin ingin tahu maksudnya.

"Seperti pepatah lama, seorang anak laki-laki dilahirkan menghadap ke dalam dan seorang gadis terlahir menghadap ke luar. Seorang gadis pada akhirnya akan meninggalkan keluarga dan memberi penghormatan kepada leluhur keluarga lain. Tak ada beda dulu dan sekarang, berganti zaman, rezim, dan ideologi." Jelasnya padaku. Meskipun peribahasa dari Konghucu sang filsuf itu tak lengkap ia uraikan, namun aku mengerti intinya.

"Itu akan berubah, aku yakin akan cepat berubah." Dalam pikirku yang sebenarnya tidak yakin.

"Kau tak yakin, kau tahu berapa populasi negeriku kan, hampir 20% populasi di dunia saat ini." Menandakan ia benar-benar tak yakin.

 Pembicaraan kami berhenti sejenak. Kami berjalan menyusuri jalan kecil di hutan bambu, sampai akhirnya keluar dan pemandangan danau kembali kami nikmati. Danau ini tentu indah pada musim panas, penuh pohon teratai yang bermekaran. Namun saat ini hanya putih es menutupi danau. Seketika angin berhembus cukup kencang, daun-daun dari pohon willow berterbangan dan jatuh perlahan. Aku kembali melanjutkan pembicaraan yang terhenti padanya, pada seorang gadis yang belum kutahu namanya.

"Jika ada lelaki yang orang tuamu anggap cocok bagaimana, apakah kau akan menerimanya begitu saja ?" tanyaku semakin jauh. Namun ia sangat terbuka, sama seperti gadis-gadis yang  pernah kutemui sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun