"Baik, Meijin. Dengar ya. Aku tak punya maksud untuk mengkritik apapun tentang keadaan yang kau hadapi ataupun yang sedang terjadi di sini. Aku menghormati itu semua." Berharap ia akan mengerti.
"Maafkan aku, mungkin karena aku juga salah menilai. Aku hanya tidak suka dengan pasar jodoh itu, mungkin kau juga." Ia kembali merogoh sakunya. Kali ini mengangkat panggilan, berbicara dengan sopan dengan suara lelaki tua, sudah pasti ayahnya.
"Ayahku memanggil dan aku harus ke sana. Kau boleh add akunku, scan ini." Ia menawarkanku add akun medsosnya.
"Terima kasih, mungkin ada waktu kita bisa mengobrol lagi, banyak hal yang aku ingin bicarakan." Harapku menanti.
"Tak masalah." Sepertinya berjanji.
Bagiku ia bukan perempuan sisa, tapi ungkapan ini tetap hidup di masyarakat yang sudah kupahami sejauh ini. Bulan berganti dan musim berganti dari dingin ke semi, semakin hangat. Aku tak menyangka aku tetap berkomunikasi dengannya, meskipun singkat. Kami berencana bertemu pada musim selanjutnya, musim di mana danau di taman akan pada puncak kencantikannya, seperti Meijin, dan kami akan membicarakan topik lain, lebih menyenangkan, bukan perempuan sisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H