"Aku akan berkenalan dan kencan dulu, seperti kencan buta di program televisi yang konyol dan palsu itu. Aku harus menghormati orang tuaku. Aku tidak akan serta merta mengatakan tidak, hanya akan kukenalinya terlebih dahulu." Jawabnya masuk akal.
"Masyarakat di sini memang cukup realistis, juga pragmatis." Komentarku singat.
"Jadi kau sudah tahu kan, hanya pura-pura bertanya saja atau kau ingin memastikan." Ia menanggapi semakin serius.
"Setiap orang pasti punya pendapat dan pendiriannya sendiri, seperti yang kau ceritakan tadi. Aku hanya ingin mendengar darimu." Yakinku kepadanya.
 "Aku menceritakan hal yang umum terjadi di negeriku sekarang, ada hubungannya denganku namun tak banyak. Jangan kau anggap semua perempuan di sini semuanya berambisi jadi perempuan-perempuan kuat, yang sampai akhirnya dicap perempuan sisa, tidak." Â
"Tak juga aku berpikir seperti itu. Hanya berusaha untuk.."
"Berusaha apa ? meskipun kau paham tentang masyarakat di sini, namun kau tak bisa sembarangan menghakimi, atau bahkan tak mungkin mengubah." Kembali ia menjadikan tanggapanku sebagai kritikan tajam.
"Tunggu dulu, Meilin, aku belum berkomentar banyak." Aku buat-buat saja namanya Meilin. Itu nama yang cantik.
"Meilin ?" tanyanya cepat.
"Iya, aku panggil kau Meilin saja, Mei berarti cantik, dan Lin berarti hutan." Jelasku. Padahal ia pasti tahu tanpa aku jelaskan konteksnya.
"Namaku bukan Meilin, namaku Meijin, hanya sama pada arti Mei saja." Ia akhirnya memberikan namanya.