Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Perempuan Sisa

12 Februari 2020   15:15 Diperbarui: 12 Februari 2020   15:13 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Aku pun tak keberatan kalau kau menyangkal. Pemandangan itu, yang seperti pasar itu, bagiku sangat memalukan,"  

Pikiranku pun sama denganya, banyak anak muda menertawakan pemandangan itu, bahkan media asing tertarik membuat video dokumenter, juga dengan nada menyindir.

"Tak aneh lagi, semua orang sudah tahu itu, tapi aku paham apa yang mereka rasakan dan inginkan," aku mencoba untuk bersikap adil, namun dalam hati tetap menolaknya.

 "Kau bukan orang asli sini, tapi aku tahu kau paham banyak hal." Ia sepertinya memang hidup di lingkungan yang mengenal banyak orang asing. "Aku juga tidak heran, banyak orang asing yang lebih paham tentang negeriku, bahasa, bahkan kebudayaannya, membuat orang asli kadang terpukau. Beberapa jadi bintang di televisi dan yang lain tetap jadi guru." Ia memberikan penilaian yang tidak salah, namun kurang tepat bagiku.

"Kau tak keliru, namun penilaianmu aku rasa tak seluruhnya tepat. Kita mengikuti era keterbukaan, negerimu membuka pintu lebar-lebar, dan kau sudah mendapatkan yang mustahil didapatkan pada 40 tahun yang lalu." Jelasku padanya, jelas ia akan paham maksudku.

 "Negeriku mengalami perubahan yang sangat cepat, namun tradisi tetap tradisi. Kau lihat, banyak orang tua sengaja menyuguhkan biodata anaknya, dibaca banyak orang, dipertimbangkan, dicocokkan, dan dinegosiasikan. Kau akan mendapat perhatian pada tinggi badan dan berat badan ideal, pekerjaan bergaji tinggi, dan yang lebih penting kau punya rumah dan mobil pribadi." Ia mengatakan yang sebenarnya terjadi, tapi aku pun kurang paham mengapa ia ikut ke taman ini, mungkin ia hanya ikut menemani orang tuanya, atau hanya ingin menikmati pemandangan taman.

"Itu mungkin tidak hanya tentang tradisi. Banyak orang tua yang khawatir pada anak-anaknya, menurutnya seharusnya sudah menikah." Aku tak tahu apakah akan menyinggungnya.

 "Cara seperti itu seharusnya sudah tidak masuk akal lagi bagiku. Karena dalam hidupku akulah yang bertanggung jawab atas diriku." Ia menghirup nafas dalam-dalam, melepaskannya, lalu duduk di kursi panjang di sisi jalan, menawariku duduk di sampingnya, namun kutolak.

Ia kembali bercerita. Perempuan modern di negerinya lebih kuat, percaya diri, berpikiran terbuka, dan mandiri secara emosional maupun finansial. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, termasuk berpacaran dan memilih jodoh adalah urusan pribadi. Perempuan saat ini mampu mengendalikan hidup dan menopang dirinya sendiri. Dia tahu bagaimana menjaga dirinya dalam status yang baik tanpa banyak bantuan orang tua.

Perempuan saat ini kebanyakan semakin mandiri dalam kariernya, namun terkadang bingung mengatur hubungan pribadinya, khususnya percintaan. Ia masih suka belajar tentang hal-hal baru, mendidik dirinya untuk menyesuaikan perubahan yang sangat cepat ini, sehingga tahu bagaimana cara beradaptasi secara modern, sesuai tuntutan.

"Tapi kau tetap menghormati apa yang dilakukan orang tuamu." Aku memotong cerita panjang darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun