"Aku melakukannya agar aku tidak cemburu, Mas. Aku tidak ingin lebih sakit dari hari ini."
Mas Ilman mendengus kesal dan meninggalkanku ke kamar. Sepertinya tidak ada yang lebih berharga dari pada kebahagiaannya sendiri. Mengapa dia harus kesal seperti itu? Bukankah seharusnya aku yang marah? Apa dia juga tidak merasa telah melukaiku?
      "Baiklah jika itu maumu. Aku setuju." Tiba-tiba Mas Ilman bersuara lagi. Kali ini, kata-kata itu bagai pisau yang ia tusukkan tepat di jantungku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H