"Tinggal 15 menit lagi menuju persidangan. Datanglah, Yul."
Kubaca pesan singkat dari Mas Ilman yang sedang menunggu di ruang tak pernah aku inginkan. Mas Ilman, lelaki yang telah hidup bersamaku selama delapan tahun dan memberiku seorang putra, tanpa kusangka memilih untuk mengakhiri perjalanan kami.
Mendadak deras air mata mengalir membasahi ujung jilbab saat kutatap putra semata wayangku yang masih berusia tiga tahun terlelap dalam istirahat siangnya. Dia mirip sekali dengan mas Ilman mulai dari mata, hidung dan bibirnya.
Hanya kulitku yang menurun padanya, cokelat sawo matang. Aku sangat bangga melihat wajah Mas Ilman terukir jelas di wajah Raffi. Mas Ilman memang tampan dan aku tidaklah secantik artis manapun. Hanya wanita biasa yang ingin mengabdikan seluruh diri pada orang yang telah rela membawaku masuk ke dalam kehidupannya.
      "Yul, 5 menit lagi, kumohon dengan sangat. Biarkan Raffi bersama Bi Ratmi sebentar. Kita harus segera menyelesaikan ini."
Ponselku berdenting lagi dan pesan masuk dari Mas Ilman masih tetap sama. Ia menginginkanku untuk datang ke sidang perceraian kami. Tak ada yang bisa kulakukan selain terisak sendiri. Aku mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu setelah kami merayakan ulang tahun ketiga Raffi.
................................................................
Sore itu kami masih bergandengan tangan, berjalan kaki dari restoran langganan kami yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku tentu saja merasa bahagia karena kupikir kebahagiaan juga hinggap di hati Mas Ilman. Kutatap wajahnya sekilas dan kuberikan senyum terbaikku.
Dia pun membalasnya dan tak ada perasaan yang lebih indah dari pada yang kurasakan saat itu. Kami menikmati suasana sore hari, dan senja menjadi saksi cintaku padanya yang kian menggunung. Kami sampai di rumah saat petang.
     "Yul, Raffi sudah tidur. Aku ingin bicara." Mas Ilman meremas kedua pundakku dari belakang saat mataku sibuk menikmati indahnya bintang-bintang dari balik jendela kamar.