Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Hobi menulis sejak menjadi seorang ibu

Ibu dua anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suamiku Jatuh Cinta Lagi

26 Agustus 2021   16:08 Diperbarui: 26 Agustus 2021   16:08 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Tinggal 15 menit lagi menuju persidangan. Datanglah, Yul."

Kubaca pesan singkat dari Mas Ilman yang sedang menunggu di ruang tak pernah aku inginkan. Mas Ilman, lelaki yang telah hidup bersamaku selama delapan tahun dan memberiku seorang putra, tanpa kusangka memilih untuk mengakhiri perjalanan kami.

Mendadak deras air mata mengalir membasahi ujung jilbab saat kutatap putra semata wayangku yang masih berusia tiga tahun terlelap dalam istirahat siangnya. Dia mirip sekali dengan mas Ilman mulai dari mata, hidung dan bibirnya.

Hanya kulitku yang menurun padanya, cokelat sawo matang. Aku sangat bangga melihat wajah Mas Ilman terukir jelas di wajah Raffi. Mas Ilman memang tampan dan aku tidaklah secantik artis manapun. Hanya wanita biasa yang ingin mengabdikan seluruh diri pada orang yang telah rela membawaku masuk ke dalam kehidupannya.

           "Yul, 5 menit lagi, kumohon dengan sangat. Biarkan Raffi bersama Bi Ratmi sebentar. Kita harus segera menyelesaikan ini."

Ponselku berdenting lagi dan pesan masuk dari Mas Ilman masih tetap sama. Ia menginginkanku untuk datang ke sidang perceraian kami. Tak ada yang bisa kulakukan selain terisak sendiri. Aku mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu setelah kami merayakan ulang tahun ketiga Raffi.

................................................................

Sore itu kami masih bergandengan tangan, berjalan kaki dari restoran langganan kami yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku tentu saja merasa bahagia karena kupikir kebahagiaan juga hinggap di hati Mas Ilman. Kutatap wajahnya sekilas dan kuberikan senyum terbaikku.

Dia pun membalasnya dan tak ada perasaan yang lebih indah dari pada yang kurasakan saat itu. Kami menikmati suasana sore hari, dan senja menjadi saksi cintaku padanya yang kian menggunung. Kami sampai di rumah saat petang.

          "Yul, Raffi sudah tidur. Aku ingin bicara." Mas Ilman meremas kedua pundakku dari belakang saat mataku sibuk menikmati indahnya bintang-bintang dari balik jendela kamar.

Kubalikkan tubuhku menghadap  lelaki yang paling membuatku rapuh itu. Kutatap lekat matanya dengan senyumku yang sedikit nakal. Aku bersiap membuka kancing kemeja Mas Ilman tapi dengan sigap tangannya menghentikanku. Aku tertawa kecil karena malu.

            "Yul, aku ingin membicarakan sesuatu."

Mas Ilman menggandeng tanganku dan membawaku ke ruang makan. Kami membiarkan Raffi terlelap sendirian di kamar. Tak ada rasa curiga sedikitpun di dalam hatiku tentang apa yang akan ia katakan.

            "Duduklah, Yul." Mas Ilman masih menggenggam tanganku dan debar-debar tak karuan semakin menghiasi jantungku. Dia terlihat menelan ludahnya saat memulai bicara.

            "Sebelumnya aku minta maaf, Yul. Aku tahu ini akan berat untuk kamu dengar. Tapi aku harus tetap mengatakannya." Mataku masih tertuju pada wajah Mas Ilman dan aku menunggu kalimat selanjutnya.

            "Aku meminta izinmu untuk menikah lagi."

            Mas Ilman semakin erat menggenggam tanganku, tapi genggamannya tak lagi hangat karena kurasakan petir menyambar seluruh tubuhku. Kutundukkan wajah di hadapannya dan pelan-pelan terasa ada yang menggenang di pelupuk mataku.

            "Mas ... Mas, bilang apa tadi?" Aku bertanya padanya untuk memastikan lagi. Kalimatku terbata-bata karena genangan di mataku tiba-tiba tumpah di luar kendali.

            "Yul, aku mencintaimu dan anak kita. Hanya saja aku jatuh cinta lagi dan tak sanggup menanggungnya sendiri. Aku memohon ijinmu. Ijinkan aku berpoligami."

            Kutarik tanganku dari genggamannya dan kutinggalkan Mas Ilman yang masih duduk mengharap jawaban. Kali ini jelas sudah, aku memang tak salah dengar dari awal.

"Aku jatuh cinta lagi dan tak sanggup menanggungnya sendiri." Kalimat Mas Ilman terus terngiang di telinga dan membuat hatiku patah berkeping-keping. Tega sekali Mas Ilman mengatakan itu padaku. Lalu aku harus menanggung pedihku bersama siapa?

Aku tersedu sendirian, sedang Mas Ilman hanya menatapku dari kursi yang sedari tadi didudukinya. Dia hanya diam, padahal yang kuinginkan ialah dia mendekat dan memberiku pelukan. Aku akan memberinya kesempatan jika dia menarik kalimatnya kembali. Bisa jadi kekasihku itu terlalu cepat mengambil keputusan tanpa berpikir panjang.

*******************

Sejak hari itu semuanya berubah. Aku tak lagi bisa menatap suamiku meskipun hati sangat menginginkannya. Kubiarkan Mas Ilman menyiapkan kebutuhannya sendiri dan kufokuskan mengurus Raffi. Permintaan maafnya yang selalu kutunggu tak kunjung kudengar dan itu menjadikan kami semakin jarang bicara.

            "Aku menunggu jawabmu, Yul. Tolong jangan diamkan aku seperti ini. Aku tahu aku salah, tapi tegakah kau melihatku berbuat lebih salah lagi? Aku mohon pengertianmu."

Mas Ilman membuka percakapan ketika aku membukakan pintu untuknya sepulang kerja. Aku tak sangup menjawab apa pun. Lebih tepatnya aku merasa muak dengan permohonan semacam itu. Kutinggalkan Mas Ilman yang masih mematung di depan pintu.

            "Yul, ini permintaan terakhirku. Entah kau suka atau tidak. Aku tetap akan menikah lagi," katanya.

Seketika langkahku terhenti. Dadaku mulai sesak. Kupikir dengan diam, Mas Ilman akan mengerti bahwa ada luka di hatiku yang perlu ia sembuhkan. Kupikir Mas Ilman akan peduli pada keluarga kecilnya dan memikirkan ulang niatnya. Aku memberinya waktu beberapa hari ini dan ternyata sia-sia. Kutata batin seraya menghadapkan tubuhku padanya. Telah kupikirkan jawaban dengan matang jika memang itu yang ia pinta.

            "Lakukan yang Mas mau," jawabku tegas.

            "Kau merelakanku dengan ikhlas untuk berbagi?" Mas Ilman mendekatiku dengan tangan terbuka seolah memanggilku ke dalam peluknya. Aku masih berdiri di tempatku dan sekuat tenaga kukatakan apa yang memang menjadi keputusanku. Suaraku hampir tak bisa keluar karena terasa segumpal duri menyesaki tenggorokan.

            "Aku ingin kita berpisah. Biarkan aku bersama Raffi."

            "Kamu jangan semaunya sendiri, Yul. Tidakkah kau memikirkan masa depan Raffi? Jaga cemburumu itu demi anak kita!"

            "Aku melakukannya agar aku tidak cemburu, Mas. Aku tidak ingin lebih sakit dari hari ini."

Mas Ilman mendengus kesal dan meninggalkanku ke kamar. Sepertinya tidak ada yang lebih berharga dari pada kebahagiaannya sendiri. Mengapa dia harus kesal seperti itu? Bukankah seharusnya aku yang marah? Apa dia juga tidak merasa telah melukaiku?

            "Baiklah jika itu maumu. Aku setuju." Tiba-tiba Mas Ilman bersuara lagi. Kali ini, kata-kata itu bagai pisau yang ia tusukkan tepat di jantungku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun