Mohon tunggu...
Johansyah Syafri
Johansyah Syafri Mohon Tunggu... Editor - Pelayan Publik

Kata Imam Syafi'i, "Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya."

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat dari Lampion Imlek 2023

23 Januari 2023   03:59 Diperbarui: 23 Januari 2023   04:06 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atas perintah kaisar, orang-orang bergabung dalam ritual itu lalu menyalakan lampion untuk menghormati Buddha dan membawanya ke istana di Luoyang.

Saat Dinasti Tang (618-907), praktik itu berubah menjadi sebuah festival, yang masih dirayakan setiap tahunnya.

Ada sejumlah legenda yang berkaitan dengan lampion. Salah satunya mengenai Li Zicheng, pemimpin pemberontakan petani pada masa akhir Dinasti Ming (1368-1644).

Alkisah, Li dan pasukannya menyerang kota Kaifeng tanpa mengganggu rumah-rumah penduduk yang menggantungkan lampion merah di pintu.

Para penjaga kota Kaifeng kewalahan membuka bendungan untuk menghancurkan pasukan Li. Namun banjir juga melanda rumah-rumah penduduk.

Banyak orang naik ke atap rumah dengan membawa lampion merah. Li dan pasukannya menyelamatkan mereka dengan membawa lampion merah sebagai alat penerangan.

Untuk memperingati kebaikan hati Li, bangsa Tionghoa selalu menggantung lampion merah pada setiap perayaan penting, seperti Imlek.

Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa (ada yang menyebutnya binatang buas). Namanya Nian.

Nian wujudnya seekor banteng jantan berkepala singa. Walaupun buas, Nian takut kepada tiga hal. Yaitu, suara yang dapat memekakkan telinga (bising), api dan warna merah.

Karenanya, saat perayaan Imlek, mereka yang merayakannya menggunakan berbagai pernak-pernik bernuansa merah. Untuk menangkal keberadaan Nian.

Petasan dan kembang api juga digunakan untuk menakuti Nian, supaya tak mengganggu mereka yang sedang merayakan Imlek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun