Bagai sayur kurang garam. Begitu pula Imlek tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah. Terasa kurang meriah.
Bagi beberapa orang, lampion juga dimaknai sebagai simbol status sosial. Semakin mewah dan bagus lampion menandakan "si pemilik" berasal dari kalangan atas.
Kata lampion dalam bahasa Mandarin disebut 'denglong' menerangi. Sedangkan warna merah melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki.
Masyarakat dari etnis Tionghoa percaya bahwa lampion memberi jalan dan menerangi rezeki penggunanya.
Tersebab itulah, lampion selalu ada, terutama pada perayaan-perayaan besar, seperti saat perayaan tahun baru Cina 2574, tahun 2023 ini.
Bagi mereka yang beragama Konghucu, melalui pemasangan lampion ini mereka menggantung asa agar selalu mendapat keberhasilan di tahun-tahun mendatang.
Lampion memiliki akar sejarah yang panjang. Pembuatan lampion tujuan awalnya sederhana, sebagai penerangan.
Menurut sebuah literatur, tradisi memasang lampion diperkirakan sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han (tahun 206 SM s.d. 9 M).
Orang-orang dari Dinasti Han Timur (25-220 M) membuat rangka lampion dari bambu, kayu, atau jerami gandum.
Mereka meletakkan lilin di tengahnya dan merentangkan sutra atau kertas di atasnya sehingga nyala api tak padam dihembus angin.
Lampion kemudian diadopsi para biksu Buddha sebagai bagian dari ritual ibadah mereka pada hari ke-15 bulan pertama kalender lunar.