Imlek atau tahun baru Cina merupakan perayaan terpenting, termasuk bagi warga Kabupaten Bengkalis dari etnik Tionghoa.
Imlek termasuk hari libur nasional pada tahun 2023. Mengutip SKB 3 Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2023, Imlek 2023 jatuh pada Ahad, 22 Januari 2023.
Meskipun sejumlah kalender yang kami peroleh "angkanya hitam", namun SKB 3 menteri itu juga menjelaskan, jika cuti bersama Imlek 2023 adalah hari Senin, 23 Januari 2023. Jadi hari ini tak perlu masuk kantor. Sekolah pun libur.
Sempena Imlek 2574/2023, sejak beberapa hari terakhir, kota Bengkalis, ibu kota Kabupaten Bengkalis, terasa berbeda.
Sudah lebih sepuluh hari nuansa serba merah mendominasi sejumlah ruas jalan di ibu kota kabupaten berjuluk Negeri Junjungan ini. Seperti di Jalan Jend. Sudirman, Jend. A. Yani dan Yos Sudarso.
Begitu pula kediaman dan tempat usaha (toko) saudara-saudara kita dari keturunan Tionghoa. Juga bernuansa sama. Khususnya di bagian teras depan. Mereka percaya, memasangnya di rumah, dapat menghindarkan penghuninya dari ancaman kejahatan.
Meskipun tak "semerah" di ibu kota kabupaten, nuansa serupa juga terdapat di ibu kota Kec. Bukit Batu; Sungai Pakning.
Perayaan Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Cina dikenal sebagai 'chuxi' malam pergantian tahun.
Ada beberapa dekorasi yang menjadi penghias dalam rangka menyambut Imlek. Umumnya berwarna merah. Satu di antaranya lampion atau lampu merah.
Lampu merah inilah yang membuat nuansa berbeda di ibu kota Kab. Bengkalis dan Kec. Bukit Batu (Sungai Pakning) dimaksud.
Ibarat dua sisi mata uang. Lampion memang tak bisa dipisahkan dari tradisi masyarakat Tionghoa. Menjadi semacam atribut budaya penanda peralihan tahun dalam penanggalan Tionghoa.
Bagai sayur kurang garam. Begitu pula Imlek tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah. Terasa kurang meriah.
Bagi beberapa orang, lampion juga dimaknai sebagai simbol status sosial. Semakin mewah dan bagus lampion menandakan "si pemilik" berasal dari kalangan atas.
Kata lampion dalam bahasa Mandarin disebut 'denglong' menerangi. Sedangkan warna merah melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki.
Masyarakat dari etnis Tionghoa percaya bahwa lampion memberi jalan dan menerangi rezeki penggunanya.
Tersebab itulah, lampion selalu ada, terutama pada perayaan-perayaan besar, seperti saat perayaan tahun baru Cina 2574, tahun 2023 ini.
Bagi mereka yang beragama Konghucu, melalui pemasangan lampion ini mereka menggantung asa agar selalu mendapat keberhasilan di tahun-tahun mendatang.
Lampion memiliki akar sejarah yang panjang. Pembuatan lampion tujuan awalnya sederhana, sebagai penerangan.
Menurut sebuah literatur, tradisi memasang lampion diperkirakan sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han (tahun 206 SM s.d. 9 M).
Orang-orang dari Dinasti Han Timur (25-220 M) membuat rangka lampion dari bambu, kayu, atau jerami gandum.
Mereka meletakkan lilin di tengahnya dan merentangkan sutra atau kertas di atasnya sehingga nyala api tak padam dihembus angin.
Lampion kemudian diadopsi para biksu Buddha sebagai bagian dari ritual ibadah mereka pada hari ke-15 bulan pertama kalender lunar.
Atas perintah kaisar, orang-orang bergabung dalam ritual itu lalu menyalakan lampion untuk menghormati Buddha dan membawanya ke istana di Luoyang.
Saat Dinasti Tang (618-907), praktik itu berubah menjadi sebuah festival, yang masih dirayakan setiap tahunnya.
Ada sejumlah legenda yang berkaitan dengan lampion. Salah satunya mengenai Li Zicheng, pemimpin pemberontakan petani pada masa akhir Dinasti Ming (1368-1644).
Alkisah, Li dan pasukannya menyerang kota Kaifeng tanpa mengganggu rumah-rumah penduduk yang menggantungkan lampion merah di pintu.
Para penjaga kota Kaifeng kewalahan membuka bendungan untuk menghancurkan pasukan Li. Namun banjir juga melanda rumah-rumah penduduk.
Banyak orang naik ke atap rumah dengan membawa lampion merah. Li dan pasukannya menyelamatkan mereka dengan membawa lampion merah sebagai alat penerangan.
Untuk memperingati kebaikan hati Li, bangsa Tionghoa selalu menggantung lampion merah pada setiap perayaan penting, seperti Imlek.
Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa (ada yang menyebutnya binatang buas). Namanya Nian.
Nian wujudnya seekor banteng jantan berkepala singa. Walaupun buas, Nian takut kepada tiga hal. Yaitu, suara yang dapat memekakkan telinga (bising), api dan warna merah.
Karenanya, saat perayaan Imlek, mereka yang merayakannya menggunakan berbagai pernak-pernik bernuansa merah. Untuk menangkal keberadaan Nian.
Petasan dan kembang api juga digunakan untuk menakuti Nian, supaya tak mengganggu mereka yang sedang merayakan Imlek
Adakah perbedaan lampion di tempat lain dengan yang terpasang di kelenteng?
Sekilas tidak. Serupa dengan yang lain. Namun jika didekati, di bawah lampion tersebut terdapat sebuah kertas putih yang ditulis dengan nama orang atau perusahaan.
Warga keturunan Tionghoa percaya bahwa itu memiliki makna yang baik untuk hidup. Bahkan nama orang yang sudah tiada juga bisa ditulis di bawah lampion itu.
Seperti kupu-kupu. Seiring waktu, lampion juga bermetamorfosis. Selain perubahan bentuk, fungsinya pun tak lagi sekadar sebagai alat ritual.
Kini, lampion sudah menjadi bagian dari pelengkap sebuah interior yang memberi kesan estetis.
Banyak tempat publik seperti hotel, gedung perkantoran, tempat perbelanjaan, hingga kafe memasang lampion untuk menambah keindahan.
"Ada dua jenis cahaya, yakni cahaya yang menerangi dan cahaya yang silau mengaburkan," kata James Thurber (1984-1961), kartunis dari Amerika Serikat.
Seperti lampion, kita juga harus menerangi, menambah keindahan. Bukan silau mengaburkan. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H