Atas perintah kaisar, orang-orang bergabung dalam ritual itu lalu menyalakan lampion untuk menghormati Buddha dan membawanya ke istana di Luoyang.
Saat Dinasti Tang (618-907), praktik itu berubah menjadi sebuah festival, yang masih dirayakan setiap tahunnya.
Ada sejumlah legenda yang berkaitan dengan lampion. Salah satunya mengenai Li Zicheng, pemimpin pemberontakan petani pada masa akhir Dinasti Ming (1368-1644).
Alkisah, Li dan pasukannya menyerang kota Kaifeng tanpa mengganggu rumah-rumah penduduk yang menggantungkan lampion merah di pintu.
Para penjaga kota Kaifeng kewalahan membuka bendungan untuk menghancurkan pasukan Li. Namun banjir juga melanda rumah-rumah penduduk.
Banyak orang naik ke atap rumah dengan membawa lampion merah. Li dan pasukannya menyelamatkan mereka dengan membawa lampion merah sebagai alat penerangan.
Untuk memperingati kebaikan hati Li, bangsa Tionghoa selalu menggantung lampion merah pada setiap perayaan penting, seperti Imlek.
Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa (ada yang menyebutnya binatang buas). Namanya Nian.
Nian wujudnya seekor banteng jantan berkepala singa. Walaupun buas, Nian takut kepada tiga hal. Yaitu, suara yang dapat memekakkan telinga (bising), api dan warna merah.
Karenanya, saat perayaan Imlek, mereka yang merayakannya menggunakan berbagai pernak-pernik bernuansa merah. Untuk menangkal keberadaan Nian.
Petasan dan kembang api juga digunakan untuk menakuti Nian, supaya tak mengganggu mereka yang sedang merayakan Imlek