Bagi penduduk sekitar tradisi menanam merupakan bagian dari keseharian mereka. Apapun akan ditanam. Tanah yang subur menjadi sumber identitas, sumber hidup juga dasar spiritual masyarakat.
Tradisi menanam ini lalu kemudian dikaitkan dengan berbagai wacana politisasi tanaman. Sebelum Jahe, wilayah desa bapak adalah penghasil kedelai.Â
Namun. wacana terus bergulir tentang isu-isu tanaman komoditas. Saat harga vanili dan cengkeh di tahun 2000an awal naik dengan fantastis, sebagian besar warga memilih menanam dua varian tanaman ini.
Kedelai menghilang diganti vanili dan cengkeh. Masa kejayaan dua varian tanaman ini singkat sekali dan kemudian redup diganti wacana menanam pohon Sengon antara tahun 2013-2017.
Wacana disuntikan secara luas dalam percakapan harian tentang pejabat A menanam Sengon karena ia punya jejaring B di Pusat, atau Sengon akan menjadi emas hijau baru. Atau kebutuhan bahan baku Sengon meningkat pesat dan dibutuhkan sentra-sentra produksi baru.
Semua warga antusias menanam Sengon dengan prediksi umur panen singkat. Bapak adalah salah satu dari sekian banyak warga yang menyerap isu ini.
Rantai nilai dipompa secara masif lewat percakapan harian tanpa masyarakat seperti bapak sadar tentang pentingnya mengetahui dengan pasti rantai pemasaran.
Hasilnya pohon Sengon tak dibeli atau kalau pun ada yang ingin membeli, harga akan jauh dari yang dibayangkan.
Syukur bahwa wacana menanam Sengon tidak serta merta menghancurkan pohon-pohon kopi mereka. Kopi Bajawa yang terkenal seperti Arabika dan Robusta  tetap ditanam karena wacana ekonomis tentang kopi selalu ditata dengan baik setiap tahun.
Selain itu tentu saja program parawisata super premium Labuan Bajo ikut mendongkrak wacana tentang kopi.
Wacana pariwisata yang berhembus dengan kencang kemudian mempengaruhi daerah bapak di Bajawa juga daerah-daerah lain di NTT. Namun jika diusut lebih dalam ada cukup banyak hal yang membingungkan dari percakapan tentang pariwisata.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!