Semua orang bicara pariwisata, lalu ketika pertanyaan balik dilempar seperti pertanyaan apa itu parisiwisata? Ada cukup banyak kebingungan yang muncul.
Belum lagi menyadari soal cara masyarakat menikmati sesuatu. Ada berbagai kesan kuat akan pengaruh berubahnya budaya latar.
Hari-hari ini budaya latar seperti media sosial, baik itu facebook, Instagram, ataupun Whatsapp,sangat mempengaruhi cara masyarakat menikmati sesuatu.
Secara psikologis ada kaitan kuat dengan apa yang dinamakan upaya menegaskan keberadaan diri. Terlihat dengan jelas bahwa wacana dan gambaran  pariwisata sebelum pandemi hanya memunculkan satu ide tunggal akibat budaya latar ini.
Kesan ini diperkuat lagi dengan iklan-iklan yang sangat banyak tentang pariwisata untuk menegaskan keberadaan diri.
Saya berwisata maka saya ada. Pariwisata hanya dibayangkan sebatas jalan-jalan dan menikmati apa yang ditawarkan. Ada semacam virus pembangunan yang buruk. Belum lagi bicara tentang konsep pembangunan pariwisata dengan satu wacana tunggal.
Ada gejala orang membawa sebuah desain ke tempat atau wilayah lain yang karakternya justru berbeda.
Saya teringat visi pariwisata presiden Jokowi tentang mencetak sepuluh Bali baru. Sialnya ketika ide tunggal ini dihantam pandemi yang tersisa adalah kebingungan yang semakin dalam.
Bali menjadi salah satu contoh kasus betapa beratnya ongkos yang harus dibayar atas nama ide tunggal pariwisata.
Bencana pandemi lalu membuat gelombang kejut dan kekacauan di mana-mana. Pariwisata di Bali terpaksa tutup, sedangkan sebagian besar pemasukan utama adalah dari sektor pariwisata.