Ada jarak yang terbentang jauh antara data yang dikeluarkan Food and Agriculture Organisation (2018) dan apa yang bapak alami di kampung.
Data tersebut menyebutkan tentang Indonesia selalu menduduki peringkat tiga besar sebagai produsen rempah pilihan. Rempah yang dimaksudkan di sini  merujuk pada buku Made Astawan Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur (2016).
Astawan menulis demikian "Rempah dapat berasal dari berbagai bagian tanaman, yaitu bunga, buah, kulit batang, umbi, daun, dan rimpang.Â
Jenis rempah yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jahe, kunyit, kencur, temulawak, cengkeh, merica, cabe, ketumbar, jinten, kayu manis, kayu secang, serai, pala, dan kapulaga."
Saya membayangkan hari-hari ini menjadikan bapak sebagai salah satu produsen dari sekian banyak petani yang menyumbang untuk nama besar Indonesia. Seperti para petani lain di kampungnya.
Bapak kini tengah gandrung menanam Jahe. Sebagian besar lahan kebun ditanami Jahe. Tapi jangan ditanya soal keuntungan.
Sebagai petani sekaligus pelaku usaha kecil, tidak banyak yang bapak ketahui tentang rantai nilai, rantai pasok, dan rantai pemasaran dalam ekonomi. Ia sering curhat pada saya karena harga Jahe anjlok saat memasuki masa panen.
Hiburan sekaligus motivasinya untuk tetap rajin hanya satu. Ia telah mewarisi tradisi menanam di kampungnya. Masyarakat Petani di Ngada umumnya mengenal dengan baik filosofi hidup mereka. "Tuza Mula, Wesi Peni" terjemahan bebasnya menanam dan memelihara.
Bapak selalu bangga menjadi bagian dari Penduduk kampung Naidewa kecamatan Golewa Kabupaten Ngada, Flores NTT.
Kampung tempat bapak lahir ini terletak di salah satu bagian daerah yang subur di lereng pegunungan Ine Rie.
Bagi penduduk sekitar tradisi menanam merupakan bagian dari keseharian mereka. Apapun akan ditanam. Tanah yang subur menjadi sumber identitas, sumber hidup juga dasar spiritual masyarakat.
Tradisi menanam ini lalu kemudian dikaitkan dengan berbagai wacana politisasi tanaman. Sebelum Jahe, wilayah desa bapak adalah penghasil kedelai.Â
Namun. wacana terus bergulir tentang isu-isu tanaman komoditas. Saat harga vanili dan cengkeh di tahun 2000an awal naik dengan fantastis, sebagian besar warga memilih menanam dua varian tanaman ini.
Kedelai menghilang diganti vanili dan cengkeh. Masa kejayaan dua varian tanaman ini singkat sekali dan kemudian redup diganti wacana menanam pohon Sengon antara tahun 2013-2017.
Wacana disuntikan secara luas dalam percakapan harian tentang pejabat A menanam Sengon karena ia punya jejaring B di Pusat, atau Sengon akan menjadi emas hijau baru. Atau kebutuhan bahan baku Sengon meningkat pesat dan dibutuhkan sentra-sentra produksi baru.
Semua warga antusias menanam Sengon dengan prediksi umur panen singkat. Bapak adalah salah satu dari sekian banyak warga yang menyerap isu ini.
Rantai nilai dipompa secara masif lewat percakapan harian tanpa masyarakat seperti bapak sadar tentang pentingnya mengetahui dengan pasti rantai pemasaran.
Hasilnya pohon Sengon tak dibeli atau kalau pun ada yang ingin membeli, harga akan jauh dari yang dibayangkan.
Syukur bahwa wacana menanam Sengon tidak serta merta menghancurkan pohon-pohon kopi mereka. Kopi Bajawa yang terkenal seperti Arabika dan Robusta  tetap ditanam karena wacana ekonomis tentang kopi selalu ditata dengan baik setiap tahun.
Selain itu tentu saja program parawisata super premium Labuan Bajo ikut mendongkrak wacana tentang kopi.
Wacana pariwisata yang berhembus dengan kencang kemudian mempengaruhi daerah bapak di Bajawa juga daerah-daerah lain di NTT. Namun jika diusut lebih dalam ada cukup banyak hal yang membingungkan dari percakapan tentang pariwisata.
Semua orang bicara pariwisata, lalu ketika pertanyaan balik dilempar seperti pertanyaan apa itu parisiwisata? Ada cukup banyak kebingungan yang muncul.
Belum lagi menyadari soal cara masyarakat menikmati sesuatu. Ada berbagai kesan kuat akan pengaruh berubahnya budaya latar.
Hari-hari ini budaya latar seperti media sosial, baik itu facebook, Instagram, ataupun Whatsapp,sangat mempengaruhi cara masyarakat menikmati sesuatu.
Secara psikologis ada kaitan kuat dengan apa yang dinamakan upaya menegaskan keberadaan diri. Terlihat dengan jelas bahwa wacana dan gambaran  pariwisata sebelum pandemi hanya memunculkan satu ide tunggal akibat budaya latar ini.
Kesan ini diperkuat lagi dengan iklan-iklan yang sangat banyak tentang pariwisata untuk menegaskan keberadaan diri.
Saya berwisata maka saya ada. Pariwisata hanya dibayangkan sebatas jalan-jalan dan menikmati apa yang ditawarkan. Ada semacam virus pembangunan yang buruk. Belum lagi bicara tentang konsep pembangunan pariwisata dengan satu wacana tunggal.
Ada gejala orang membawa sebuah desain ke tempat atau wilayah lain yang karakternya justru berbeda.
Saya teringat visi pariwisata presiden Jokowi tentang mencetak sepuluh Bali baru. Sialnya ketika ide tunggal ini dihantam pandemi yang tersisa adalah kebingungan yang semakin dalam.
Bali menjadi salah satu contoh kasus betapa beratnya ongkos yang harus dibayar atas nama ide tunggal pariwisata.
Bencana pandemi lalu membuat gelombang kejut dan kekacauan di mana-mana. Pariwisata di Bali terpaksa tutup, sedangkan sebagian besar pemasukan utama adalah dari sektor pariwisata.
Penghasilan masyarakat tidak menentu dan dipaksa kembali memikirkan ulang tentang format pariwisata baru yang lebih tahan. Ini tentu saja menguras tenaga, waktu dan juga dana.
Saya bersyukur bahwa bapak dengan tanaman jahenya di kampung belum tersentuh dengan budaya latar yang berubah ini.
Ia masih rajin ke kebun dan merawat tanaman jahenya. Kadang mengumpulkan kayu dari dahan-dahan kering pohon Sengon yang tidak bisa dijual lagi untuk dibawa ke rumah.
Ia berencana akan menanam lagi Jahe seusai masa panen bulan Oktober nanti. Selain jahe bapak sedang berpikir untuk  menanam  kopi di hamparan bekas pohon Sengon.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H