Mohon tunggu...
Johan Saputro
Johan Saputro Mohon Tunggu... Lainnya - Pranata Humas Pemkab Grobogan

Alumni Mahasiswa Ilmu Komukasi UIN Suka--Yogyakarta. Pengagum pemikiran Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun. Masih tahap proses pencarian, pemaknaan tentang "hening". Belajar mengerti, memahami dan menghayati "hening", karna dalam "hening" Aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dalam Genangan Kenangan

23 Februari 2016   22:30 Diperbarui: 23 Februari 2016   23:03 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entahlah, aku tidak tahu kenapa ketika dua manusia yang terjebak perasaan saling sayang pada akhirnya mesti merelakan diri mereka masing-masing untuk kembali berjalan sendiri-sendiri. Membiarkan diri mereka untuk menapaki jalanan sunyi yang teramat panjang dan melelahkan. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

***

Sesuai pesan singkat yang kamu kirim kepadaku, kamu memang sudah tiba lebih dulu di Lounge and Resto itu. Kamu menungguku duduk di bangku nomor tujuh.

“Aku sudah tiba Jon. Nanti kamu langsung masuk aja ya?”, bunyi text message-mu

Dari luaran, aku sudah melihatmu. Kamu terlihat begitu khusuk-nya memandangi buku daftar menu.

Untuk beberapa saat aku sengaja menghentikan langkah kakiku menujumu. Aku ingin mengamati dengan jarak. Aku mencoba melihat perubahan-perubahan yang terjadi padamu setelah sewindu kita tak bertemu.

Malam itu, kamu mengenakan blouse batik kombinasi berwarna dasar biru dengan beberapa asesoris menyertainya. Kamu pun menutupi rambut di kepalamu dengan hijab berwarna biru tosca. Kamu sungguh terlihat begitu serasi, anggun dan juga elegan. Tampaknya, kamu sekarang sudah begitu terbiasa berdandan. Berdandan? Oke.. bisa dimaklumi, kamu perempuan berusia dua lima, sudah sewajarnya bila kamu mulai memperhatikan menunjukkan keindahan-keindahan dirimu. Berhijab? Ini sesungguhnya yang membuatku tercenung. “Wow… sejak kapan kamu memutuskan berhijab?”, pikirku.

Aku mencoba mengingat kembali ke masa delapan tahun yang lalu. Masa ketika kamu masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kamu yang saat itu adalah kamu dengan rambut tergerai sebahu, baju seragam yang sering tak ‘masuk-rapi’ sempurna, rok abu-abumu yang dua senti di atas lutut, sepatu Converse-mu yang lusuh dan kamu banggakan itu, hingga helm yang begitu penuh tempelan sticker-sticker yang tumpang-tindih. “Penampilan anak gaul tuh gini Jon”, katamu waktu itu. Ya.. Maria, itu kamu ketika usia sweet seventeen-an. Aku senyum-senyum sendiri mengingatnya.

“Hei Jon, ngapain senyum-senyum sendiri di situ, buruan sini..”, pintamu sambil melambaikan tanganmu.

Aku menyeringai sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tak terasa gatal, lantas berjalan menujuke arahmu di bangku bernomor tujuh.

“Hei Bunda Maria-ku, long time no see”, sapaku sembari menelantangkan tangan seolah meminta pelukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun