“Mama? ”
Ternyata mama menyaksikan penampilan Namira malam itu di belakang tenda. Mata mama tampak sembab tanda dia baru saja menangis. Juga terlihat lelah mengarungi samudera kehidupan. Dia tampak tua sekali dalam usia 48 tahun.
Tante Siska mendorong kursi roda Clarissa. Clarissa mengalami cedera pada tulang belakang beberapa bulan lalu saat terjatuh dari tangga rumahnya mengakibatkan dia lumpuh permanen.
Namira menghambur memeluk mamanya. Air mata tak kuasa ditahan lagi. Sesak rindu mengelayut jiwanya.
“Maafkan mama telah menyembunyikan kebenaran ini darimu. Mama takut kamu tidak akan sanggup menghadapinya. Mama sangat menyesal, mama…
Namira menghentikan ucapan mama dengan menutup jari telunjuk di bibir mamanya. Bukan kata maaf yang ia ingin dengar. Pun bukan kata-kata penyesalan. Meski dia sukar memahami cara berpikir orang dewasa. Tapi Namira mencoba memahami alasan mamanya.
“Aku mencintaimu, Ma. Apapun kondisi mama. Namira juga telah memaafkan papa, meski tidak mudah pada awalnya. Namira hanya ingin bersama mama.”
Clarissa sadar telah berlaku tidak adil pada Namira karena kondisinya. Hanya karena dia tidak ingin Namira melewatkan masa indah remaja untuk mengurusi hidupnya yang tidak lama lagi dan terbebani oleh Cecil. Clarissa lupa Namira juga butuh kasih sayang.
Malam itu Clarissa baru menyadari, Namira telah memilih warna putih dalam kelamnya kehidupan. Clarissa bisa melihat lilin itu telah bersinar dihati Namira. Menyebarkan kasih yang tiada putus lewat cahayanya. Membagi cahaya kepada orang lain demi kebahagiaan banyak orang.
Clarissa tersenyum.
“Namira, maukah kamu menciptakan lebih banyak kebahagiaan bersama mama dan Cecil dalam sisa waktu yang masih kami miliki ?