Aditya merasa sangat bersalah dan menyesal. Aditya bahkan meninggal tanpa mengetahui Cecil juga ternyata tertular. Aku sengaja merahasiakan ini darinya. Aku tidak ingin dia lebih terbebani lagi oleh perasaan bersalah kepada Cecil. Diakhir nafasnya, dia hanya bisa mengucap sebuah kata “MAAF” sebelum ia pergi untuk selamanya.
Namira meneruskan membaca halaman berikutnya. Suaranya sesak oleh isak tangis.
Kesedihanku belum berakhir. Usai pemakaman, aku diusir keluar oleh keluarga suamiku. Mereka memintaku menyerahkan harta Aditya dan mengusirku keluar dari rumah. Mereka bahkan tidak mau mengerti masih ada 2 anak-anakku yang harus kuhidupi. Aku seperti seonggok mayat hidup dimata mereka dan perempuan kotor yang pantas dilecehkan. Oh, Tuhan! Biarkan aku memiliki lebih banyak cinta dihati untuk menghadapi semua ini. Jangan biarkan kebencianku tumbuh pada orang-orang yang melukaiku.
Meski virus ini menggerogoti tubuhku. Aku masih bertahan dalam nafas hari ini. Aku meneruskan bisnis suami dengan bantuan modal dari mama. Bukan hanya lelah batin tapi fisikku dari hari ke hari juga semakin melemah. Cecil luput dari perhatianku. Ketika kuperiksakan Cecil, ternyata dia juga membawa HIV. Aku begitu terpukul. Perasaanku hancur. Cecil mungil itu harus ikut menanggung derita ini diusianya yang masih kecil. Aku lalu meminta kembali mengasuhnya sendiri selain tidak ingin merepotkan mama.
Walaupun hidup seratus tahun lamanya, adalah lebih baik hidup sehari namun penuh arti, penuh syukur dan tiada menyesal. Dan sekarang aku hanya bisa berpasrah. Saat waktu didunia telah usai. Siap atau tidak. Kita akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Masalahnya hanya kapan, dimana dan bagaimana. Waktu tidak lagi merisaukanku. Aku hanya merisaukan masa depan Namira dan Cecil.
Namira menutup diari lalu menghapus airmatanya. Dia begitu terpukul saat pertama kali menemukan diari mama. Dia lebih marah lagi ketika mengetahui kebenaran jelek mengenai papanya.
“Sahabatku, begitu sulitkah untuk terus mencintai pasanganmu ? begitu sukarkah untuk tetap setia pada pasangan hidup ? Hidup selalu memberikan kita pilihan. Hidup tidak pernah memberikan kebuntuan diakhir jalan. Dan hidupku saat ini juga memberiku pilihan untuk tetap berada dalam kebencian terhadap pria yang menyebabkan penderitaan pada mama dan adikku atau memaafkannya karena dia juga adalah korban. Korban dari keignoran akan bahaya penyakit ini.
Diluar sana ada banyak Aditya lainnya, ada lebih banyak Clarissa dan Namira seperti saya. Mereka semua berjuang dalam kesendirian. Karena masyarakat selalu memandang sinis. Kepedulian kita terhadap mereka pudar secepat layunya bunga mawar. Akankah anda akan bersikap serupa dan memadamkan lilin kehidupan mereka dengan sikap sinis seperti itu ? Kita semua dapat tertular HIV/AIDS, namun kita juga mencegah HIV/AIDS demi kelangsungan hidup bangsa. Demi masa depan generasi mendatang.
Hidup adalah pilihan. Pilihan untuk setia kepada pasangan. Pilihan untuk memakai kondom sebagai pencegahan penyakit menular seksual. Pilihan berprilaku lurus sesuai moral agama. Sekarang saya sedang menyalakan estafet api lilin itu. Tergantung apakah anda akan meneruskan api itu atau memadamkannya. Dan Andalah yang menentukannya. Dan pilihan itu ada ditangan anda sekalian. ”
Namira turun dari podium. Audien berdiri sambil memberikan tepuk tangan panjang untuknya. Namira menuju belakang tenda. Jessy langsung menghambur memeluknya. Masih ada sisa air mata dipipinya. Mereka saling berpelukan seperti kakak beradik. Sayup-sayup terdengar mereka sedang menyanyikan lagu We are The Worldnya Michael Jackson sambil menyalakan satu persatu lilin tersebut.
Tiba-tiba Namira dikejutkan suara panggilan seorang wanita. Dia langsung menoleh dan melepaskan pelukan.