Kekalahan Indonesia 0-4 lawan "Tim Samurai Biru" Jepang di depan sekitar 60.000 penonton pendukung timnas di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) hampir pasti akan menimbulkan gelombang kritikan terhadap kebijakan PSSI soal naturalisasi pemain.Â
Meski demikian Indonesia tak boleh berhenti berpacu, karena masih lima pertandingan tersisa di penyisihan Piala Dunia 2026.
Hujan deras dan geluduk guntur pun mewarnai pertarungan penting bagi timnas Indonesia, menghadapi tamunya Jepang di kandang sendiri Jumat (15.11.2024) malam, dalam sebuah matchday kelima Babak Ketiga Penyisihan Piala Dunia 2026 Grup C zona Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Pada awalnya terlihat sekali, pemain-pemain asuhan Hajime Moriyasu itu bermain hati-hati. Sangking hati-hatinya, sampai hampir saja sekitar sepuluh sampai limabelas menit pertama gawang Jepang yang dijaga kiper muda dari klub Seri A Italia Parma, Zion Suzuki (22) beberapa kali terancam serangan balik yang berasal dari pemain-pemain timnas Garuda.Â
Peluang paling besar terjadi ketika selepas menit ketujuh, sebuah serangan balik yang cepat dimanfaatkan oleh penyerang Indonesia Rafael Struick tinggal berhadapan dengan penjaga gawang Zion Suzuki, namun Zion berhasil menggagalkan tendangan Struick dengan kakinya, sehingga buyarlah peluang terbaik yang dimiliki timnas Indonesia.
Saat itu pemain-pemain Jepang bermain ekstra hati-hati, lantaran guyuran deras hujan. Lapangan tentunya lebih licin. Namun setelah itu, terlihat Jepang mulai menunjukkan kelasnya dengan beramain dari kaki-ke-kaki. Nyaris sulit merebut bola, baik dari umpan pendek maupun terobosan yang dilakukan pasukan Samurai Biru.Â
Setelah dua gol di babak pertama, dan juga memasuki babak kedua, terlihat sekali tim Samurai Biru menguasai sepenuhnya permainan. Tidak dengan permainan cepat.Â
Akan tetapi permainan posesif, tak membiarkan bola hilang dari kaki mereka sepanjang hampir 90 menit pertandingan. Mereka juga berkali-kali mengagalkan serangan Indonesia, yang berkali-kali mengirim umpan panjang pada pemainnya di garis terdepan.Â
Namun tak membuahkan hasil. Bahkan  Jepang membalas dengan "serangan yang menggurita". Bola sangat jarang lepas dari penguasaan kaki pemain-pemain Jepang, sampai kemudian membuahkan dua gol berikutnya di babak kedua.
Setelah kekalahan lawan Jepang Jumat malam ini, Indonesia masih menyimpan lima pertandingan tersisa: (19 November 2024) Indonesia vs Arab Saudi di Gelora Bung Karno), (20 Maret 2025) Australia vs Indonesia di kandang lawan, (25 Maret 2024) Indonesia vs Bahrain di Gelora Bung Karno, (5 Juni 2026) Indonesia vs China di Gelora Bung Karno, dan (10 Juni 2025) Jepang vs Indonesia di kandang lawan.
Dua Strategi yang Kontras
Sialnya timnas Indonesia yang didominasi dengan pemain-pemain naturalisasi eks Eropa, harus berhadapan dengan contoh terbaik Asia, berupa tim yang sepenuhnya hasil dari pembinaan lokal yang justru mewarnai sepak bola Eropa dengan "semangat Bushido" Jepang.Â
Sebuah semangat seorang Samurai yang dibentuk sejak usia dini dengan disiplin tinggi. Ketika berperang, mereka sudah dibekali dengan berbagai modal keberanian untuk tidak boleh takut mati jika harus menghadapi berbagai tantangan.Â
Termasuk "ancaman" dukungan ribuan penonton pendukung lawan di Gelora Bung Karno, yang bagi sementara kalangan di Asia Tenggara selama ini dipandang sebagai "pemain keduabelas" dari kesebelasan Indonesia.
Memang tidak bisa dibandingkan begitu saja, kenapa timnas Jepang yang kesemuanya adalah "pemain lokal Jepang" tetapi kesemuanya bermain di liga Eropa.Â
Melawan timnas Indonesia yang hanya sebagian kecil saja pemainnya hasil kompetisi lokal, dan justru sebagian besarnya adalah pemain naturalisasi, terdiri dari pemain-pemain berdarah Indonesia yang tinggal dan berkompetisi di klub-klub Eropa.
Perjalanan sejarah dan juga problematik sepak bola dalam negerinya sungguh sangat berbeda. Indonesia memang pernah memenangi pertandingan melawan Jepang 7-0 di ajang Piala Merdeka 1968 di Stadion Perak, Ipoh, Malaysia.Â
Ketika Indonesia berbangga dengan gol-gol yang dicetak Jacob Sihasale dengan dua gol, Sutjipto Suntoro tiga gol, serta masing-masing satu gol dari si striker lincah legendaris Abdul Kadir, dan Surya Lesmana...
Selain Jepang, Indonesia juga berhasil mengalahkan tim-tim negeri tetangga seperti Australia, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Korea Selatan!Â
Angka-angka kemenangan pun telak-telak, setelah Jepang 7-0, giliran Singapura 4-0, dan Taiwan 10-1. Indonesia kala itu memang sepenuhnya terdiri dari pemain lokal, hasil binaan lokal, dan bahkan gaya permainan pun "lokal Indonesia".
Sepanjang pertemuan 11 kali dengan Jepang pun, sejak Indonesia kalah-menang lawan Jepang. Setelah di Asian Games 1954 Indonesia menang 5-3, di Kualifikasi Piala Asia 1967 kembali Indonesia mengungguli Jepang 2-1, disusul kemenangan bersejarah 7-0 di Piala Merdeka 1968.
Belajar dari kekalahan itu, Jepang kemudian berhasil menang-kalah lawan Indonesia. Tahun 1970 di Piala Merdeka Jepang membalas dengan kemenangan 4-3 atas Indonesia, lalu Asian Games tahun 1970 itu juga menang 2-1 atas Indonesia. Sempat kalah 0-1 di Uji coba internasional 1972 dengan angka 0-1, di Piala Merdeka 1975 menang 4-1 atas Indonesia, di Piala Merdeka tahun berikutnya 1976 menang lagi 2-1, menang lagi 4-0 di Piala Kirin, seri di Piala Merdeka 1979 0-0, kalah di Uji coba Internasional 0-2 tahun 1981, setelah itu lebih banyak menang. Di Piala Merdeka 1981 menang 2-0, imbang 0-0 di Kualifikasi Piala Dunia 1990. Selebihnya menang Jepang 5-0 di Kualifikasi Piala Dunia 1990 dan di Piala Asia 2023 menang lagi 2-1.
Kalau toh di Penyisihan Piala Dunia 2026 Indonesia ditundukkan 4-0 di depan publik sendiri pun, suasananya sungguh kontras. Timnas Indonesia terdiri dari sebagian besar pemain naturalisasi, akan tetapi justru sebaliknya Jepang. Justru terdiri dari pemain hasil pembinaan lokal Jepang, Â akan tetapi justru kesemuanya bermain di kompetisi liga Eropa.
Shin Tae-Yong, ketika menangani timnas Indonesia sejak 2019 memang menghadapi situasi yang berbeda. Indonesia dalam kondisi carut marut, dari soal dilanda suap baik pemain maupun wasitnya dalam berbagai kasus, dualisme liga sehingga di dalam negeri ada dua sistem kompetisi berbeda, sampai kena sanksi FIFA selama setahun penuh pada 2018, tak boleh bertanding di turnamen-turnamen internasional karena Indonesia dinilai melanggar statuta FIFA. Bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam urus-mengurus persatuan sepak bolanya...
Semua itu bukan sebuah excuse, trus strategi menaturalisasi pemain berdarah Indonesia di Eropa boleh menjadi tujuan. Akan tetapi memang, dalam waktu yang sesingkat itu, dan secarut marut itu, jika ingin menaikkan kondisi sepak bola Indonesia dari keterpurukan, tidak ada salahnya melibatkan pemain-pemain naturalisasi demi mengangkat permainan.Â
Tentu, tidak boleh menjadi kebiasaan. PSSI harus kembali menata prestasi olahraga sepak bolanya dengan cara menata pembinaan pemain sejak usia dini, serta menata kembali sistem kompetisi baik di tingkat yunior maupun senior yang sempat carut-marut.Â
Perlu memikirkan kembali, untuk membina pemain dengan sistem kompetisi berjenjang seperti yang dilakukan pula oleh Jepang, Vietnam, dan bahkan Thailand.
Blue Print 100 Tahun
Sumber di Japan Football Association (JFA) mengungkapkan, bahwa Jepang pun belajar dari pengalaman masa lalu, termasuk pula tentunya kekalahan melawan Indonesia 0-7 di Piala Merdeka 1968 dan kekalahan-kekalahan Jepang yang lain.
Tahun 2005, Jepang membuat program ambisius "Blueprint 100 Tahun JFA" yang memuat visi jangka panjang mengembangkan sepak bola Jepang menjadi kekuatan global dalam 100 tahun ke depan. Tujuan utama dari blueprint ini adalah untuk mempersiapkan Jepang menjadi negara yang kompetitif di panggung internasional, baik dalam hal pembinaan pemain, pelatihan pelatih, pengembangan liga, dan infrastruktur sepak bola secara keseluruhan.
Blueprint ini merupakan bagian dari upaya Jepang untuk membangun warisan sepak bola yang berkelanjutan dan berorientasi pada hasil prestasi internasional. Salah satu langkah konkret yang dijalankan "PSSI-nya Jepang" untuk program ambisius "Blueprint 100 Tahun JFA" itu, mula pertama adalah memperbaiki standar kualitas lapangan di seluruh Jepang dengan standar internasional.
Pembangunan infrastruktur sepak bola lebih dulu dilakukan. Terutama di level akar rumput, JFA melakukan pembangunan fasilitas latihan.
Memastikan bahwa di seluruh Jepang ada lapangan yang memenuhi standar internasional untuk pengembangan pemain. Stadion-stadion di Jepang diperbaiki dan harus memenuhi standar internasional agar timnas dan klub-klub domestik dapat bersaing di tingkat dunia.
Di antaranya, saranya mendorong pemerintah lokal dan pihak swasta untuk lebih banyak berinvestasi dalam fasilitas sepak bola di seluruh Jepang, termasuk di daerah-daerah yang lebih kecil dan pedesaan.
Soal pembinaan pemain usia dini? JFA sejak 2005 itu mewajibkan "setiap klub di J-League untuk memiliki akademi untuk mendidik pemain muda, yang mencakup kelompok usia U-12. U-15, dan U-18,"
JFA juga membuat program mendidik pelatih dan pengelola untuk mengajarkan keterampilan dasar dan filosofi permainan kepada anak-anak dan remaja. Ini bertujuan untuk membentuk pemain dengan fondasi teknik dan mental yang kuat.
JFA juga meluncurkan program seleksi pemain muda di berbagai wilayah untuk menemukan bakat-bakat tersembunyi dan memberikan mereka kesempatan untuk bermain di tingkat yang lebih tinggi dengan menekankan pentingnya pembinaan karakter sejak usia dini, agar pemain tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga mental yang kuat untuk bersaing di level internasional.
Blueprint 100 Tahun JFA ini juga mencakup perencanaan yang sangat rinci untuk melatih pelatih yang mampu membawa pemain dan timnas ke level yang lebih tinggi melalui kursus-kursus kepelatihan di berbagai tingkatan, dari level dasar hingga level profesional (seperti lisensi AFC Pro Coaching Diploma).Â
Pelatihan ini berfokus pada pemahaman taktik, teknik, dan cara membimbing pemain muda dan berkolaborasi dengan pelatih internasional. Dikatakan bahwa JFA juga aktif berkolaborasi dengan pelatih-pelatih kelas dunia untuk memajukan pengembangan filosofi permainan Jepang. Termasuk pula pelatihan pelatih dari luar Jepang dan pertukaran pelatihan dengan negara-negara lain.
Peningkatan Kompetisi Domestik
Program yang ini merupakan salah satu upaya terpenting. Bahwa JFA berupaya untuk memperkuat liga domestik Jepang untuk meningkatkan daya saing klub-klub Jepang di tingkat internasional dan memberikan pemain lebih banyak kesempatan untuk berkembang di lingkungan profesional.
J-League atau Kompetisi Liga Jepang adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan berkembang, sehingga pemain Jepang memiliki daya saing jika harus bermain di level internasional. JFA juga membuat  J-League menjadi liga yang kompetitif dan menarik untuk para pemain lokal dan internasional.
Salah satu hal penting untuk mencapai program ambisius Jepang sejak 2005 itu adalah "Membangun Budaya Sepak Bola yang Kuat" baik di kalangan masyarakat umum maupun di dalam klub-klub sepak bola di Jepang. JFA aktif melakukan kampanye sosial dan kegiatan komunitas untuk mempromosikan sepak bola di kalangan anak-anak dan orang dewasa.
Pendukung sepak bola juga dipandang sebagai faktor yang berperan kunci dalam pembinaan sepak bola Jepang. Sehingga JFA pun melakukan pembangunan 'fanbase' (kelompok pendukung tim sepak bola) yang solid. Menumbuhkan dukungan bagi timnas dan klub domestik untuk menciptakan atmosfer pertandingan yang meriah dan mendorong pemain untuk berkompetisi di level tertinggi.
Kompetitif di Arena Internasional
Salah satu visi besar dari "Blueprint 100 Tahun JFA" adalah menjadikan sepak bola Jepang lebih kompetitif di arena internasional. Salah satu caranya, adalah berpartisipasi aktif dalam kompetisi internasional.Â
JFA bekerja untuk memastikan tim nasional Jepang (baik pria dan wanita) berkompetisi secara teratur di turnamen internasional utama seperti Piala Dunia, Piala Asia, dan Olimpiade.
Selain aktif bertanding, JFA juga aktif melakukan pengembangan pemain yang bermain di luar negeri dengan mendorong pemain-pemain muda berbakat untuk bermain di Eropa atau liga-liga top lainnya, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan standar internasional dan mengembangkan permainan mereka.
JFA juga bekerja untuk meningkatkan visibilitas sepak bola Jepang secara global dengan mengadakan acara internasional, bertukar pemain, dan mengirim pelatih untuk memperkenalkan gaya permainan Jepang di luar negeri.
Dan setelah hampir 20 tahun program ambisius itu dicanangkan oleh JFA, hasil pun mulai dipetik. Banyak pemain-pemain Jepang yang memiliki kemampuan setara dengan pemain-pemain Eropa. Dan bahkan tidak sedikit, pemain Jepang yang menjadi andalan klub-klub profesional Eropa. Seperti yang terlihat dari komposisi Tim Samurai Biru, yang diturunkan di Gelora Bung Karno untuk melawan Timnas Garuda.
Itu merupakan perjalanan panjang, yang tidak sesingkat menjalani proses naturalisasi -- yang memang untuk saat ini di Indonesia ada perlunya dilakukan guna membiasakan pemain-pemain lokal nasional untuk bermain dalam standar internasional. Tetapi tentu, tidak boleh naturalisasi menjadi tujuan dalam jangka yang panjang....
Untuk mengilas balik, bahwa apa yang dilakukan Jepang ini bisa dilihat dari reputasi pemain-pemain timnas Samurai Biru di GBK kali ini. Bolehlah, secara sekilas dilihat kembali, siapa pemain-pemain yang mengalahkan timnas kita 4-0 di hadapan 60.000 pendukungnya sendiri.
Timnas Samurai Biru
KIPER:
Keisuke Osako (Sanfrecce Hiroshima) Â 28 Juli 1999 (25) Â 1,86 m
Kosei Tani (Machida Zelvia) Â 22 November 2000 (23) Â 1,9 m
Zion Suzuki (Parma) Â 21 Agustus 2022 (22) Â 1,9 m
BELAKANG:
Yuto Nagatomo (FC Tokyo) Â 12 September 1986 (38) Â 1,7 m
Shogo Taniguchi (Sint Truiden) Â 15 Juli 1991 (33) Â 1,83 m
Ko Itakura (Borussia Monchengladbach) Â 27 Januari 1997 Â (27) Â 1,88 m
Koki Machida (Union SG) Â 25 Agustus 1997 (27) Â 1,9 m
Daiki Hashioka (Luton) Â 17 Mei 1999 Â (25) Â 1,84 m
Ayumu Seko (Grasshoppers) Â 7 Juni 2000 Â (24) Â 1,85 m
Yukinari Sugawara (Southampton) Â 28 Juni 2000 Â (24) Â 1,79 m
Kota Takai (Kawasaki Front) Â 4 September 2004 Â (20) Â 1,92 m
TENGAH:
Wataru Endo (Liverpool) Â 9 Februari 1993 Â (31) Â 1,78 m
Hidemasa Morita (Sporting Lisbon) Â 10 Mei 1995 Â (29) Â 1,77 m
Daichi Kamada (Crystal Palace) Â 5 Agustus 1996 Â (28) Â 1,84 m
Reo Hatate (Celtic) Â 21 November 1997 Â (26) Â 1,73 m
Ao Tanaka (Leeds) Â 10 September 1998 Â (26) Â 1,8 m
Joel Chima Fujita (Sint Truiden) Â 16 Februari 2002 Â (22) Â 1,75 m
DEPAN:
Junya Ito (Stade Reims) Â 9 Maret 1993 Â (31) Â 1,76 m
Takumi Minamino (AS Monaco) Â 16 Januari 1995 Â (29) Â 1,72 m
Kyogo Furuhashi (Celtic) Â 20 Januari 1995 Â (29) Â 1,7 m
Yuki Ohashi (Blackburn Rovers) Â 27 Juli 1996 Â (28) Â 1,81 m
Kaoru Mitoma (Brighton) Â 20 Mei 1997 Â (27) Â 1,78 m
Koki Ogawa (NEC Nijmegen) Â 8 Agustus 1997 Â (27) Â 1,86 m
Daizen Maeda (Celtic) Â 20 Oktober 1997 Â (27) Â 1,73 m
Ritsu Doan (SC Freiburg) Â 16 Juni 1998 Â (26) Â 1,72 m
Keito Nakamura (Stade Reims) Â 28 Juni 2000 Â (24) Â 1,8 m
Takefusa Kubo (Real Sociedad) Â 4 Juni 2001 Â (23) Â 1,73 m
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H