Flashback Gelora Manahan Solo 1974
God Bless pertama kali saya tonton di Gelora Manahan Solo pada 1974. Ketika itu, band pembukanya Terenchem, band "underground" (dulu kami menyebutnya begitu) asli Solo, Surakarta. Sudah bangga, Solo cuma punya satu band yang beraliran keras di panggung, meskipun tidak seluruh lagu yang mereka mainkan selalu lagu-lagu cadas keras.
Di Solo, bisa berdesak-desak nonton musik di Gelora Manahan ataupun di Stadion Sriwedari itu sudah luar biasa senang. Tahun 1970-an Solo masih terhitung "kampung" dalam urusan musik dibanding kota-kota lain seperti Malang, Surabaya, atau bahkan Bandung. Maka, setiap ada band dari Ibu Kota main di Solo, pasti dibanjiri penonton. Solo tak sebesar Jakarta, sehingga iklan cukup dengan mobil bak terbuka keliling kota dengan halo-halo megafon (belum ada Toa), itu sudah cukup efektif mengundang penonton.
Kebetulan saya kebagian nonton God Bless di sisi kiri panggung di Gelora Manahan Solo (1974). Lumayan bisa cermat menyaksikan bagaimana Soman Lubis memainkan keyboards nya, juga Fuad Hassan di posisi drum. Dan tentunya, melihat aksi vokalis Ahmad Albar serta gitaris bass Donny Fattah Gagola.
Bulan Juni 1974, beberapa bulan setelah saya sempat menonton God Bless di Gelora Manahan Solo, pemain keyboards Soman Lubis dan drummer Fuad Hassan diberitakan meninggal dalam kecelakaan lalu lintas ketika mereka berboncengan motor menuju tempat latihan di Tebet, Jakarta Pusat. Tabrakan terjadi tak jauh dari "patung tujuh" Tebet. Rambut di kepala Fuad Hassan yang gondrong sepundak, sempat harus dipotong dulu untuk bisa terlepas dari gencetan roda truk. (Sumohadi Marsis, 1974).
Formasi God Bless, dengan Ahmad Albar vokalis utamanya, serta Donny Fattah Gagola di bass, Ludwig Lemans di gitar, Soman Lubis di keyboards dan Fuad Hassan di drum sungguh formasi yang langka, karena formasi ini hanya bertahan dua tahun sebelum Fuad dan Soman meninggal. Formasi ini sempat tampil di Taman Ismail Marzuki 1973 dan 1974.
Awal tahun 1975. Kok ya kebetulan saat saya kerja di Kompas, penugasan pertama saya sebagai wartawan musik di Desk Kebudayaan. Terbanyak meliput pentas musik, baik klasik, pop, rock, bahkan juga musik-musik kontemporer. Taman Ismail Marzuki merupakan salah satu tempat pementasan musik-musik rock yang menjamur di awal tahun 1970-an.
Selain grup Guruh Gypsy dengan Chrisye dan Keenan Nasution, saya juga tonton Eros Djarot yang baru datang dari Jerman, dengan Barong's Band-nya. Dan masih banyak musik-musik yang datang dari luar negeri, baik di TIM maupun di tempat-tempat konser lain seperti Ancol, Taman Ria, Auditorium RRI yang saya tonton.
Beruntung, cukup lengkap menonton hampir di setiap pentas God Bless di panggung Jakarta sepanjang 1975. Di Taman Ismail Marzuki setidaknya tiga kali, di Taman Ria Remaja Monas, dan juga di Balai Sidang Senayan ketika God Bless mengawali pentas musik rock Suzi Quatro 15-16 November 1975 sebulan sebelum God Bless menjadi pembuka konser super grup Inggris, Deep Purple.
God Bless di Jakarta begitu lahir langsung jadi. Lahir di panggung Taman Ismail Marzuki Jakarta 1973, langsung populer dengan penampilan vokalis utamanya Ahmad Albar dengan penampilan kribo mengembang rambutnya. Suara lantang pun khas Ahmad Albar.
Popularitas Ahmad Albar juga sempat dimanfaatkan sebagai pembuka pentas pagelaran  besar di Jakarta, seperti pentas Swara Mahardhika dengan karya Guruh Soekarnoputra. Ahmad Albar tampil berkendara sepeda motor trail di panggung musik Swara Mahardhika-nya Guruh Soekarnoputra di Balai Sidang Senayan tahun 1975 kala itu. Ahmad Albar nyanyi "Anak Jalanan" Kumbang Metropolitan. Ditimpali tetarian dari anak-anak remaja Swara Mahardhika...
Kesempatan wawancara dengan Ahmad Albar? Sebatas dalam jumpa pers, sebelum konser God Bless di Taman Ismail Marzuki, Mei 1975. Tetapi sehari setelah konferensi pers itu, saya sempat diterima Ahmad Albar mas Iyek itu di rumahnya di Perdatam, Tebet. Di rumahnya waktu itu, kalau tak salah terparkir mobil Ford Falcon miliknya. Â (Wawancara saya dimuat Kompas 24 Mei 1975, "Ahmad Albar: Hidup Saya untuk Musik").
God Bless pertama kali berpentas di Jakarta  Mei 1973 di Taman Ismail Marzuki di Cikini Raya Jakarta. God Bless juga tampil di pesta musik Summer 28 di Pasar Minggu Jakarta pada tahun yang sama. Tetapi tidak seluruh penampil adalah grup musik rock. Justru sebagian terbesar musik-musik pop biasa, seperti Broery and The Pro's...
Flashback Gelora Senayan 1975
Tonggak pentas rock Indonesia terjadi ketika God Bless membuka konser Deep Purple pada 5 Desember 1975 di Stadion Gelora Senayan Jakarta. God Bless membawakan total empat lagu semua dalam bahasa Inggris. Tidak seperti rekaman kaset pertama mereka yang beredar tujuh bulan sebelumnya yang didominasi musik-musik cadas keras berbahasa Indonesia. Rock Indonesia, kata Ahmad Albar waktu itu.
(Saya menulis reportase Deep Purple yang dibuka God Bless di Kompas terbitan Senin 8 Desember 1975, bersaing keras pemuatannya dengan berita-berita situasi genting Operasi Militer Seroja di Timor Timur dan kunjungan 20 jam Presiden AS Gerald Ford di Jakarta. Namun toh tulisan dimuat juga dengan dua foto besar, "Deep Purple, Super Grup Inggris yang Kenal Burung Kakatua").
Tak mau minder dengan super grup Inggris, Deep Purple yang memasuki stadion dengan limousine. Maka Ahmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah Gagola, Teddy Sujaya dan Jockie Surjoprajogo juga memasuki Stadion Gelora Senayan dengan berkendaraan mobil. Lintasan atletik gravel warna merah bata yang mengitari lapangan rumput Gelora Senayan ditutup tripleks agar rumput lapangan sepak bola tak rusak terinjak-injak atau tergilas roda mobil. Tepuk tangan penonton di bagian sisi barat di belakang panggung pun menggelora menyambut Ahmad Albar dkk.
Di panggung, tentu jangan diperbandingkan peralatan God Bless dengan peralatan musik super grup Deep Purple yang kotak suaranya memenuhi hampir seluruh panggung berukuran sekitar 15 x 30 meter. Kotak-kotak suara Deep Purple menjulang lebih dari tiga meter seperti pencakar langit menutupi panggung. Juga lampu-lampu berjumlah ratusan di atas panggung yang sebagian besar mereka bawa sendiri. Begitu banyaknya perlengkapan super grup itu ditata memenuhi panggung. Sehingga perlu waktu berjam-jam untuk menatanya.
Bagian bawah dari kotak-kotak elektronik Deep Purple ini dipakai untuk pijakan lampu-lampu spotlight. Dan di atas kepala penonton deret depan, berjajar lampu berwarna merah, biru, hijau dan kuning yang jumlahnya lebih kalau cuma seratus buah, disangga tiang-tiang menara. Tepi depan panggung, dijajari mesin-mesin dry ice penghasil asap buatan untuk melengkapi aksi panggung. Bukan semburan busa, seperti biasa dipakai God Bless awal-awal di TIM.
God Bless pun mengawali pentas Deep Purple di Gelora Senayan dengan Keepin' Time, lagu dari  grup musik Inggris,Trapeze. Entah disengaja atau tidak oleh God Bless saat memilih lagu ini. Yang pasti, salah satu personel Deep Purple Glenn Hughes gitaris bass mereka, adalah eks Trapeze sebelum bergabung ke Deep Purple. Tetapi yang jelas, saat lagu itu dilantunkan God Bless, para personil super grup itu belum memasuki Gelora Senayan. Para anggota kru Deep Purple nampak cermat mengamati penampilan Ahmad Albar dan kawan-kawan di sisi panggung sebelah.
Meski keempat lagu yang dibawakan God Bless di Gelora Senayan  kesemuanya berbahasa Inggris, namun tidak semuanya adalah "lagu-lagu impor". God Bless ternyata juga menyanyikan lagu Inggris ciptaan mereka sendiri, She Passed Away ciptaan Donny Gagola, gitaris bass God Bless. Sepanjang konser mereka tahun 1975, termasuk di pergelaran akbar rock "Kemarau 1975" di lapangan Gazebu Bandung pada bulan Agustus 1975, lagu She Passed Away ini memang selalu memancing aplaus tersendiri dalam penampilan God Bless tahun 1970-an.
She Passed Away mengisahkan seorang kekasih yang mati justru pada hari pertama musim semi, saat semestinya cinta bersemi. Lagu ciptaan Donny itu sungguh melodius. Lagu itu tak hanya dilantunkan vokalisnya Ahmad Albar. Akan tetapi juga ditimpali lengkingan suara Donny Gagola dan suara latar Ian Antono. Meski melodious lagunya, tetapi tetap 'anteb' (berat) dengan hentakan bass Donny Fattah Gagola serta ditimpali raungan gitar listrik Ian Antono pada bagian Interlude. Gaung keyboards Jockie Surjoprajogo -- sesekali terdistorsi gema pengeras suara di panggung yang memang terasa terlalu kecil dibanding luasnya Gelora Senayan.
Bravo Mas Gibran!
Dengan satu dan lain pertimbangan, God Bless hanya tampil pada hari kedua konser Deep Purple 5 Desember 1975, lantaran alasan teknis. Menurut Denny Sabri -- wartawan Majalah Aktuil (Bandung) yang juga promotor rekanan dekat tim manajemen Deep Purple -- kepada saya di pinggir panggung ia katakan, besarnya peralatan panggung super grup yang di antaranya khusus didatangkan dari Kanada, menyebabkan pabean Indonesia sempat menahan perlengkapan panggung Deep Purple.
Urusan dengan pihak pabean Indonesia, baru beres sekitar pukul 15.00 pada hari pertama konser. Tidak heran, jika God Bless pun tahu diri untuk tidak mendahului memajang peralatan sistem suaranya di panggung di hari pertama. Maka, God Bless pun urung tampil mengawali konser di hari pertama.
Jika mau diperbandingkan, peralatan super grup kita God Bless -- yang di dalam negeri sudah dianggap termodern perlengkapannya saat itu -- ternyata nampak masih terlihat mini pada saat itu dibanding jajaran kotak-kotak sistem suara si super grup Inggris, yang mirip jajaran menara-menara pencakar langit di panggung. Namun toh penampilan Ahmad Albar dan kawan-kawan, mendapat aplaus gempita dari publik Gelora Senayan. Sekitar 30.000 penonton di hari pertama dan 40.000-an hari kedua. Bisa lebih dari jumlah itu.
Meluapnya publik bukan hanya karena larisnya tiket. Tetapi juga akibat masuknya penonton gelap yang menyelinap dari atap stadion, atau sisi yang sepi pintu stadion. Ada juga yang sengaja diselinapkan oleh para petugas keamanan sendiri, menimbulkan sejumlah kerugian tersendiri. Ditambah dua kali pertunjukan dari semula perjanjian hanya satu kali menurut manajemen Deep Purple, Â menyebabkan pihak Deep Purple pun menuntut tambahan bayaran Rp 30 juta lagi. Sehingga bila dipenuhi semua tuntutan itu, bayaran super grup itu genap bisa mencapai Rp 46 juta (menurut Denny Sabri, disanggupi semula oleh cukong untuk mendanai bayaran Deep Purple Rp 16 juta, sedangkan God Bless Rp 3 juta, lalu Rp 1 juta lagi untuk tambahan peralatan listrik. Belum termasuk aneka pajak untuk seluruh pertunjukan yang mencapai Rp 25 juta).
Dan toh penyelenggara, grup Buena Ventura dan majalah Aktuil diberitakan meraup pendapatan Rp 150 juta untuk 50.000 lembar karcis. Untung atau rugi, yang jelas konser Deep Purple plus God Bless itu merupakan pentas termahal dalam sejarah panggung musik Indonesia pada masa itu.
(Sekadar untuk perbandingan, harga tiket bioskop New Garden Hall di Blok M, Twin Cinema maupun Star Cinema di Jakarta menurut iklan di Kompas pada hari yang sama saat dimuatnya tulisan saya pada 8 Desember 1975 adalah seharga Rp 1.300. Dibandingkan harga tiket Sinema XXI Jakarta pada 2021 hari-hari  ini rata-rata Rp 50.000).
Pentas di Gelora Senayan 5 Desember 1975 itu rupanya juga menginspirasi pemimpin kota Surakarta (Solo) Gibran Rakabuming Wali Kota Solo. God Bless, yang selalu dikenang reputasinya mengawali konser akbar Deep Purple di Gelora Senayan 49 tahun silam itu, mengilhami rencana setengah abad God Bless berpentas pada 2023 mendatang. Solo, menurut mbah Cocomeo Cacamarica yang dekat dengan Mas Gibran, memastikan akan menggelar pentas Deep Purple didahului super grup cadas keras kita, God Bless pada bulan Maret 2023 nanti. Bravo, Mas Gibran!
Flashback Kemarau 1975
Pentas God Bless paling menarik bagi saya adalah pergelaran Kemarau '75 di Stadion Gasibu, Bandung 31 Juli 1975. Terjadi hanya empat bulan sebelum pentas fenomenal, sebagai pembuka konser super grup Inggris, Deep Purple di Stadion Gelora Senayan 5 Desember 1975.
Bandung memang menjadi barometer pentas musik di masa itu. Dibandingkan berbagai tempat di Tanah Air, terutama di Jawa, selera publik musik di Bandung jauh lebih progresif, termasuk pula jika dibandingkan dengan Jakarta. Rocker justru lebih banyak bermunculan di Bandung ketimbang Jakarta. Di belahan timur di Jawa, laris berpentas grup rock Surabaya (AKA dan Ucok Harahap) serta Malang (Micky dari Jaguar, serta Bentoel Malang). Tetapi Ucok Harahap lebih menjual sensasi aksi panggungnya, ketimbang kualitas garap musiknya.
Ada semacam pemeo di kalangan pentas musik kala itu. Grup musik Jakarta, pada tahun 70-an itu belum dikatakan berhasil, jika belum sukses manggung di Bandung. Di Bandung tahun 70-an tak hanya ada satu grup rock, Giant Step dan Benny Soebardja vokalisnya. Masih ada lagi grup Freedom of Rhapsodia, Famous, Super Kid dan Jelly Tobing atau Harry Roesli & His Gang, serta grup "23761" (Baca: Re-mi-si-la-do, belum lama almarhum) dengan Teater Rock-nya. Di Banten Jawa Barat juga ada grup rock Rawe Rontek dengan atraksi gedebusnya.
Sementara sejak dibentuknya God Bless, praktis Ahmad Albar dkk ini lebih banyak ngetop di Jakarta terutama di panggung perdana mereka di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki (sampai 1975 setidaknya tiga kali manggung di Teater Terbuka TIM). Juga di Balai Sidang Senayan dan Taman Ria Remaja IRTI di Monas Jakarta Pusat yang kini jadi Taman Monumen Nasional.
Ada kejadian unik di Kemarau '75 di Gasibu, di depan Gedung Sate Bandung. God Bless belum juga main, baru naik pentas sudah "di-buuuu" publik Bandung. Uji nyali publik Bandung, biasalah. Ini Bandung Bung! Tetapi setelah Ahmad Albar dkk jreeeng, main, lebih dari 40.000 penonton di lapangan Gasibu di akhir Juli 1975 itu, Â toh menggelorakan aplaus. Ternyata sistem suara God Bless terdengar jauh lebih jreng, lebih nendang, dan bahkan lebih bening dari sistem suara yang dipakai grup-grup rock Bandung di panggung Gasibu. Menyerah mereka.
Ada 11 grup rock yang ditampilkan saat digelar musik rock, "Kemarau '75" di Gasibu Bandung pada 31 Juli 1975 itu. (Saya meliput berdua senior saya, Kristanto JB, berboncengan ria naik skuter Vespa dari Jakarta untuk nonton Kemarau '75. Lebih dari 6 jam perjalanan naik skuter via Puncak Pass untuk nonton God Bless di pentas Kemarau '75 di Bandung).
Ribuan kepala memadati lapangan Gasibu Bandung pagi di akhir Juli 1975 itu. Nyaris tidak ada ruang tersisa. Yang nonton pun berhimpit-himpit sampai di depan panggung, yang setinggi kepala orang . Tidak hanya lapangan yang padat. Bahkan penonton pun bergelantungan di pohon sekitar lapangan, atau menduduki atap-atap rumah di sekitarnya.
Dan ternyata, selain digoyang irama cepat bak Deep Purple oleh God Bless, publik Gasibu pun terpikat. Juga ketika dialun-buaian lagu yang melodius ciptaan God Bless sendiri, She Passed Away dan juga "Huma di Atas Bukit" hits di rekaman perdana "God Bless" pada 1975. Aplaus membahana, ketika keyboards Jockey Surjoprajogo dan mini moog sinthesizernya seperti membius publik di Gasibu dengan musik-musik megah mirip Genesis dan Steve Hackett-nya, atau Yes dan Rick Wakeman-nya.
Harap di bayangkan, publik musik Indonesia waktu itu bisa menikmati lagu-lagu rock dari grup-grup barat secara terbatas. Belum ada YouTube yang bisa memutar lagu-lagu terbaru di berbagai belahan dunia seperti sekarang. Sehingga selain mendengarkan musik rock melalui radio amatir atau radio-radio barat seperti BBC London, Hilversum Belanda dan Radio Australia, publik musik menikmati musik rock barat dari berbagai belahan dunia dengan membeli kaset-kaset rekaman musik mereka. Atau beli piringan hitam yang terbatas jumlahnya.
Bongkar Pasang Pemain
Bongkar pasang pemain, rupanya tidak hanya menghinggapi grup-grup musik di luar negeri. Dari perjalanan 49 tahun berkonser sejak Mei 1973, praktis motor utama God Bless ya tinggal Ahmad Albar dan pemain bass Donny Fattah Gagola. Bongkar pasang lebih dari lima formasi dilakukan oleh God Bless. Figur yang tetap dalam formasi God Bless ya hanya Ahmad Albar dan Donny Fattah.
Ketika masih tinggal di Belanda sejak 1965, Ahmad Albar -- yang akrab dijuluki 'Iyek' itu sibuk nge-rock bersama grupnya Clover Leaf. Tak hanya melanglang Eropa, merambah ke Jerman, Belgia. Mereka juga pentas di  Brasil Amerika Latin, dan Amerika Serikat. Corak musik yang mereka bawa, rock'n roll. Tahun 1972, Iyek kembali ke Jakarta setelah tujuh tahun di Belanda dan sempat setahun sekolah musik, membawa serta gitaris Ludwig Lemans ke Jakarta. (Kompas Soemohadi Marsis, 1973).
Ahmad Albar (29 tahun waktu itu) dan Ludwig Lemans (23) tak sulit merekrut pemain-pemain untuk bergabung dengan mereka. Bergabunglah drummer top di Jakarta waktu itu, Fuad Hassan (30) -- yang dikenal sebelumnya di Zaenal Combo, juga gabung Deddy Dores di instrumen organ. Mula-mula mereka namai grup mereka, Crazy Wheels.
Namun pada pentas pertama mereka di Taman Ismail Marzuki Mei 1973, mereka pakai nama God Bless. Saat itu, Jockie sempat masuk menggantikan Deddy Dores yang balik bermain di grup Freedom of Rhapsodia di Bandung. God Bless juga tampil di Taman Ria Remaja Monas dan Balai Sidang Senayan. Jockie sempat keluar God Bless, dan posisinya diganti anak muda mahasiswa ITB, Soman Lubis (23) di posisi organ. (Kompas Sumohadi Marsis, 1973).
Lagu-lagu yang mereka bawakan, awalnya lagu-lagu dari grup rock Grand Funk Railroad, juga Deep Purple. Tidak langsung membawakan musik-musik heavy sound, cadas keras. "Nggak dijiplak polos, tetapi dibuat aransemen ringan agar terasa lebih enak di telinga," ujar Iyek, Ahmad Albar pula.
Pentas besar yang membuat God Bless lebih dikenal pada tahun 1973 itu adalah pesta musik Summer 28. Konser ini niru-niru Woodstock, main musik di udara terbuka dalam sebuah festival musik di Pasar Minggu Jakarta Selatan semalam suntuk, pada 16-17 Agustus 1973. Summer 28 yang diorganisasi sutradara film,Wim Umboh dan musisi Idris Sardi itu diikuti grup-grup terkemuka -- tidak semua rock, bahkan mayoritas pop -- di antaranya The Rollies, Broery and The Pro's , The Mercy's, Gang of Harry Roesli dan juga Koes Plus, dan Bimbo. God Bless mulai mengenalkan hard rock-nya. Panggung God Bless masih tiru-tiru grup Barat seperti Deep Purple, Emerson Lake & Palmer, Genesis, dengan atraksi panggung pakai alat penyembur busa.
Bendera Hitam
Pada tahun 1974, bendera hitam untuk God Bless. Mereka kehilangan dua pemainnya sekaligus, drummer Fuad Hassan dan pemain organ Soman Lubis dalam sebuah kecelakaan saat mereka berboncengan motor, nabrak truk di dekat Tugu Pancoran, Tebet, saat mereka janjian mau latihan di Tebet pada Juli 1974. Fuad -- suami artis Camelia Malik -- meninggal di tempat, dengan sempat harus dipotong rambut gondrong sebahu-nya guna melepaskan kepalanya dari jepitan ban truk. Soman Lubis, mahasiswa ITB pemain keyboards-nya, meninggal setelah dibawa di rumah sakit.
Tempat kosong yang ditinggal Fuad Hassan dan Soman Lubis sempat diisi  personil Anak Genk Pegangsaan, Keenan Nasution di drum, serta Debby Nasution serta Odink Nasution di organ dan gitar. Formasi God Bless plus anak-anak Genk Pegangsaan Nasution bersaudara ini sempat tampil dalam konser Tribute untuk mendiang Fuad Hassan dan Soman Lubis di Istora Senayan pada 24 Agustus 1974. (Sumohadi Marsis, 1974).
Menjelang penampilan God Bless di Taman Ismail Marzuki 24-25 Mei 1975 (saya menghadiri jumpa persnya dengan Ahmad Albar, dan kemudian mewawancara khusus di rumah Iyek di Perdatam Tebet pada hari berikutnya) muncullah formasi 'legend' yang relatif bertahan lama, kembali bergabung pemain keyboards yang progresif a la Steve Hackett, Jockie Surjoprajogo. Serta dua personil eks Bentoel Malang, gitaris Ian Antono, dan drummer Teddy Sujaya. Ketiga personil itu menggantikan Keenan, Odink dan Debby Nasution yang keluar dari God Bless. Ahmad Albar dan Donny, tetap konsisten berada di grup setelah gonta-ganti formasi.
Tonggak bersejarah bagi God Bless di dunia rekaman, terjadi di bulan Mei 1974. God Bless masuk rekaman bersama PT Pramaqua, tak hanya merekam lagu-lagu Barat, akan tetapi juga hits rock mereka yang berbahasa Indonesia, di antaranya Huma di Atas Bukit, Setan Tertawa, Binal, Sesat yang tetap klasik enak didengar sampai hari ini. Juga tentunya lagu Barat ciptaan mereka, She Passed Away. Dari semula tarif main Rp 700.000 sekali naik pentas, bayaran God Bless pun nanjak (1974) mencapai hampir Rp 2 juta setelah masuk dapur rekaman.
Atmosfer kebebasan berekspresi musik sepanjang tahun 1975, mulai muncul meski di panggung politik penguasa justru tambah represif. Jika sepuluh tahun sebelumnya, Soekarno -- Presiden pertama Republik Indonesia -- dia melarang "musik ngak, ngik, ngok" (The Beatles sering memakai harmonika dalam bermusik). Pada tahun 1975, justru gelombang musik barat seperti menggerojok masuk. Dan God Bless mendobrak dunia rekaman, yang semula didominasi corak musik-musik manis, sendu, sentimentil baik pop maupun melayu. Ahmad Albar dkk menghentak dunia rekaman dengan hentakan rock keras, heavy sound, hard rock music -- musik cadas keras.
Saat itu, 1975, musik rock mendapat tempat lumayan bagus jika dibandingkan pada 1973. Bermunculan grup-grup rock Indonesia, seperti Barong's Band dengan vokalisnya Eros Djarot (sepulang dari studi di Hamburg, Jerman). Juga, tahun 1975 Guruh Soekarnoputra eksis dengan Gypsies Band. Di panggung, Guruh Soekarnoputra dipuji dengan musik serta tari bersama grup remaja-remaja Jakarta Swara Maharddhika-nya.
Di jazz pun, mulai tampil rekaman-rekaman jazz Indonesia. Dipelopori tokoh studio dari Bandung, Bill Firmansyah, merekam musik-musik jazz dari grup Bandung, maupun Jakarta dengan Jazz Indonesia. Bermunculan dari dunia rekaman, nama-nama pemusik jazz dan penyanyi pop jazz seperti Margie Segers, Rien Djamain. Di panggung jazz, ada Jack Lesmana -- ayah Indra Lesmana -- serta pianis dan pemain keyboards, Bubi Chen, gitaris Ireng Maulana, drummer Benny Mustafa dan kawan-kawan. Musik Indonesia menjadi makin beragam.
"Musik yang saya cintai musik rock. Publik menyukai atau tidak, itu terserah mereka...," kata Ahmad Albar, dalam wawancara ketika saya temui di rumahnya di kawasan Jalan Perdatam, Pancoran, Tebet Jakarta. Ahmad Albar membuka pintu rumahnya untuk diwawancara, setelah saya menemuinya dalam jumpa pers di Taman Ismail Marzuki, di Jalan Cikini Raya, pada bulan Mei 1975.
Ini hanya sekelumit saja kisah Bongkar Pasang pemain yang dialami God Bless. Ketika para personel God Bless memerlukan dana, untuk membangun rumah dan memperkuat ekonomi rumah tangganya, atas sponsor seorang cukong, Albert Wijaya, tahun 1991 Ahmad Albar dkk sempat  "belok dikit" membentuk Gong 2000 dengan personel God Bless, Ian Antono di gitar, Donny Fattah bass, plus Harry Anggoman keyboards dan Yaya Muktio di drum dan tentu saja Ahmad Albar di vokal.
Gong 2000 sempat eksis sekitar lima tahun, berakhir di konser di Ancol pada 1996 disaksikan sekitar 50.000 penonton. Gong 2000 -- menampilkan vokalis utama Ahmad Albar -- sempat menghasilkan tiga album rekaman, Bara Timur (1991), Live in Jakarta (1991) dan Laskar (1993). Formasi God Bless setelah itu, pernah memunculkan gitaris Eet Syahrani -- penggemar gitaris Eddy van Hallen yang juga teman dekat Jockie Surjoprajogo di keyboards. Eet masuk formasi God Bless saat menggantikan Ian Antono. Ian Antono sempat keluar God Bless beberapa saat. Pernah pula masuk memperkuat formasi God Bless, drummer Gilang Ramadhan.
Sampai kemudian satu formasi God Bless masa kini, adalah Ian Antono, Abadi Soesman (keyboards and minimoog), Fajar Satritama (drum) dan yang tetap konsisten di God Bless, Donny Fattah di bass serta vokalis dari sejak dulu sampai sekarang, Ahmad Albar. Jockie Surjoprajogo -- yang selama lebih dari dua dekade mewarnai instrumentasi dan aransemen musikal God Bless -- meninggal pada 5 Februari 2018.
Biarpun sangat sering gonta-ganti, bongkar pasang pemain dalam perjalanan panjang God Bless selama 49 tahun, namun semua penggemar God Bless tetap sepakat bahwa dalam setengah abad berpentas, God Bless selalu membawa nafas musik cadas keras. Sesekali melodious, tetapi toh tetap anteb dengan hentakan musik cadas. Kini meski usia sebagian personelnya sudah kepala tujuh sekalipun, musik yang mereka bawakan masih tetap cadas keras...*
(Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012, kini penulis free lance tinggal di Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H