Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jonan Pergi, Jonan Kembali: Belajar dari Warisannya kepada Budi Karya

16 Oktober 2016   14:57 Diperbarui: 18 Oktober 2016   22:31 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar

Hari ini Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM mengisi posisi yang ditinggalkan Arcandra Tahar karena sebelumnya tersangkut kasus dwi kewarganegaraan. Arcandra sendiri diangkat kembali. Tapi sebagai wakilnya.

Mudah-mudahan, pada posisi barunya, Ignasius Jonan tak perlu ragu setiap kali menghadapi situasi kontemporer yang membutuhkan kreatifitas dan terobosan. Apalagi ketika berhadapan dengan keadaan yang telah berubah akibat tuntutan dan kemajuan zaman. Seperti saat menghadapi bisnis angkutan umum berbasis teknologi aplikasi ketika ia masih menjadi Menteri Perhubungan sebelumnya. Bertahan dan hanya bersandar pada aturan dan ketentuan lama yang mungkin zamannya telah tertinggal jauh tentu bukan pilihan yang bijaksana.

Jonan dan seluruh pemimpin lembaga pemerintahan lainnya mesti berani menggagas terobosan dan langkah cerdas untuk menyiasati ‘kekakuan’ ketentuan-ketentuan normatif yang lama. Bahkan mungkin ‘kekonyolan’ jika seandainya dilihat pada konteks hari ini. Meski demikian, tentunya sambil tetap memperhatikan 'koridor' hukum yang ada. Agar tidak di-'salah tafsir'-kan siapapun sehingga menjadi jerat ataupun sandungan.

Hal yang dilakoni Presiden Joko Widodo, menyiasati penempatan Jonan dan Arcandra di kementerian ESDM kini, adalah contoh dari kecerdasan itu.

***

Pada kesempatan ini mari kita cermati bersama 'warisan' Ignasius Jonan pada angkutan umum berbasis aplikasi yang dilimpahkan kepada penggantinya, Budi Karya Sumadi. Sejauh ini, mantan Direktur Utama Angkasa Pura II yang menggantikannya tersebut memang masih terkesan 'gamang' sehingga belum mampu menawarkan terobosan-terobosan yang lebih asyik untuk didiskusikan.

***

Bagaimanapun, Peraturan Menteri Perhubungan RI nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang ditanda-tangani Ignasius Jonan tanggal 28-3-2016, adalah bagian dari 'kerja' yang dilakukannya untuk menghadapi gejolak kekinian di tengah masyarakat. Ketika itu, angkutan umum berbasis aplikasi teknologi sedang pada tahap awal kehadirannya, sedang menarik perhatian masyarakat, dan sedang berproses menjadi bagian gaya hidup kita. Seperti aplikasi permainan 'Pokemon Go' yang muncul kemudian dan sempat menghebohkan itu.

Sejauh ini angkutan umum berbasis teknologi aplikasi memang telah merasuk jauh menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Kolaborasinya telah merambah pada berbagai hal. Mulai dari kuliner, jasa kurir dokumen dan barang, pembersihan rumah, layanan spa dan pijat, kecantikan, sampai pembelian obat yang diresepkan dokter. Proses simbiosis mutualismenya dengan hal-hal lain — dalam format saling memberi manfaat — telah menemukan ranah pengembangan yang subur.

Tapi sayangnya, ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dan tertuang pada Peraturan Menteri Perhubungan tersebut — menurut pendapat saya pribadi — justru belum cukup 'cerdas' dan 'bijaksana' menyikapinya. Dalam beberapa hal malah cenderung terkesan seperti menentang 'kodrat alam'.

Alasannya mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut.

PERTAMA, peraturan yang disusun terlihat sangat terpaku pada ketentuan yang menaunginya, UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya. Padahal, dalam beberapa hal sesungguhnya sudah tidak sesuai lagi. Bahkan mungkin telah kehilangan konteks. Jika demikian, mengapa tidak lebih dulu mengupayakan perbaikan atau penyempurnaan Undang-Undang nya?

Sebagai contoh, mari kita cermati soal angkutan umum yang menggunakan kendaraan roda dua. Jenis kendaraan ini, sebelumnya memang tak pernah diakui resmi oleh undang-undang maupun peraturan manapun sebagai kendaraan angkutan umum. Meski pada kenyataannya — sebagai usaha jasa transportasi informal di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari — hal itu sudah berkembang marak sejak lama. 

Kehadiran teknologi aplikasi hari ini telah me-leverage keberadaannya sehingga mau tidak mau, suka ataupun tidak, berpeluang untuk di-formalisasi-kan. Kehadiran teknologi aplikasi pada sistem layanan angkutan orang telah membuka jalan bagi pemerintah untuk menjangkau mereka — para pengusaha yang menggunakan kendaraan roda dua — secara administrasi dan ketata-negaraan.

***

Sektor informal adalah bagian dari aktivitas masyarakat yang sungguh-sungguh hadir tapi tidak terdata resmi. Meskipun dalam hal tertentu, mereka memiliki kemampuan yang dapat melumpuhkan hal-hal yang bersifat formal. Taksi gelap, pengemudi becak, tukang parkir, pedagang kios rokok dan warung makan di pinggir jalan, buruh bangunan lepas, pencukur rambut keliling, pemulung sampah, pengemis, calo, petani sayuran, pembantu rumah tangga hingga pengemudi ojek merupakan bagian dari aktivitas sektor informal itu. Bagaimanapun, informalitas tersebut sesungguhnya disebabkan oleh keterbatasan kapasitas dan kemampuan pemerintah untuk menjangkau mereka. Warga negara yang semestinya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lain.

Mereka (pernah) ada, hadir, dan diperlukan dimana-mana. Walaupun tidak terdata pada angka-angka statistik yang resmi. Sifat keabu-abuan itulah yang salah satunya sering ditelikung untuk kepentingan-kepentingan sempit, termasuk korupsi anggaran dan politisasi. Salah satu celah rawan pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertajuk seperti ‘bantuan sosial’ dan ‘bantuan tunai langsung’. Ranah potensial bagi maraknya praktek ‘pungutan liar’ di lingkungan birokrasi.

Sejalan dengan perkembangan, sebagian diantara mereka memang tergeser oleh kapitalisme, industrialisasi, serta perkembangan zaman lainnya. Terpinggirkan. Mungkin punah. Perkembangan teknologi informasi dan sistem distribusi menghadirkan jaringan wara laba toko serba ada yang menggeser keberadaan warung dan kios rokok di pinggir jalan. Teknologi piranti tarif yang memiliki akuntabilitas tinggi — serta kecanggihan tata kelola pelayanan pelanggan —akhirnya menggeser layanan taksi gelap yang dulu pernah marak di bandara, stasiun kereta api, dan pelabuhan-pelabuhan kita. Jalur hijau jalan-jalan kota yang menyempit dan tidak lagi menyisakan pepohonan rindang, akhirnya menggeser ruang usaha jasa pencukur rambut. Demikian seterusnya hingga yang kini menimpa pengusaha informal yang melayani masyarakat berpergian menggunakan sepeda motornya. Ojek.

Mungkin sebelumnya Indonesia gamang. Karena menata dan mengelola sektor informal membutuhkan sumber daya yang tidak mudah dan juga tidak murah. Dari sisi neraca, ‘biaya’ yang dikeluarkan mungkin tak sebanding dengan ‘nilai’ yang dihasilkan. Membiarkan mereka berada di luar ‘buku’ mungkin lebih aman. Sebab tak terjangkau satuan kinerja yang disertai dengan uraian tugas dan kewajiban yang rinci. Bahkan mungkin bisa menghemat ‘kerugian’ dengan ‘biaya’ yang lebih kecil untuk mengimbangi ‘pendapatan’ yang hampir nihil.

Tapi era pencitraan ‘omong-kosong’ sesungguhnya harus berakhir ketika Reformasi 1998 bergulir. Kini masyarakat lebih leluasa menilai dan bersikap setelah sistem politik kekuasaan berubah. Walaupun kenyataannya ‘penzaliman’ dan ‘penistaan’ konstituen masih kerap berlangsung, kini rakyat ‘bisa’ memiliki peran yang lebih nyata dan terukur. Itulah sebabnya Joko Widodo mampu melangkahkan kakinya mulai dari Walikota Solo, ke kursi Gubernur DKI Jakarta, hingga kemudian singgasana Presiden Republik Indonesia.

Kerja, kerja, kerja.

Maka BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan menemukan format akuntabilitas pertanggung-jawaban-nya dibanding sekedar mencari perlindungan politik. Sebab, pemerintah memang harus menganggarkan perlindungan layanan kesehatan bagi rakyatnya.

Program relokasi pemukiman kumuh dan liar yang dilakoni kepala daerah seperti Ahok, Ridwan Kamil, dan lain-lain menjadi niscaya tanpa perlu menghiraukan atau kompromi dengan tekanan-tekanan ‘penguasa’ maupun ‘kekuasaan’ informal. Pendidikan yang dituntut terjangkau, lebih berkeadilan, dan merata, menyisakan ruang yang semakin sempit untuk tindak korupsi-kolusi-nepotisme.

Salah satu buah tidak langsung dari proses panjang yang walau tertatih-tatih telah kita lalui sejak 1998 hingga kini, adalah kehadiran seorang Ignasius Jonan yang berhasil merubah wajah layanan perkereta-apian Indonesia menjadi aman, nyaman, terpercaya, dan terjangkau bagi penggunanya. Sekaligus juga membanggakan bagi bangsa Indonesia hari ini. 

Jonan mungkin tak pernah sempat hadir dan berkarya di sana jika model pemerintahan dan kekuasaan Orde Baru masih bercokol. Dia sukses menyingkirkan percaloan yang menggurita di lingkungan perkereta-apian. Termasuk pengasong kaki-lima, sektor informal di lingkungan stasiun yang menjadi penyumbang terbesar kekumuhan di sana. Setelah kehadiran Jonan, perkereta-apian Indonesia memang jadi tertib dan rapih.

***

Sesungguhnya — dengan memanfaatkan kehadiran teknologi aplikasi yang menghebohkan itu — Jonan pernah memiliki kesempatan emas menghadirkan negara dan memformalisasi sektor informal layanan ojek. Peluang yang juga sangat mungkin merambah ke bidang-bidang informal lain yang nyatanya memang berkolaborasi secara sinergis dengan bisnis ojek itu.

Alasan keamanan yang sering diketengahkan sebagai ‘penyangkalan’ atau ‘keengganan’ mengatur kendaraan roda dua sebagai angkutan umum seharusnya tidak relevan lagi. Soal keamanan berlalu-lintas tentu bukan alasan. Sebab ada aturan dan tata cara tersendiri yang berkait dengan kehadiran sepeda motor sebagai bagian dari pengguna jalan raya. Termasuk kelaikannya.

Lalu — terlepas dari ketentuan undang-undang yang memang tidak mencakupnya — mengapa kendaraan sepeda motor roda dua tidak diperbolehkan atau tidak bisa diatur sebagai angkutan umum?

Apakah soal jaminan keamanan dan keselamatan penumpang? Atau soal administrasi perizinan dan sumber pendapatan negara?

***

Melalui sistem teknologi aplikasi yang digunakan Gojek, Uber, Grab, dan seterusnya, sesungguhnya Indonesia berkesempatan untuk menyelesaikan banyak ‘soal’ yang selama ini terbengkalai dan ‘dibiarkan’ menjadi informal. Peluang emas untuk mem-formal-kannya sekaligus meng-kapitalisasi-nya menjadi asset bangsa.

Sistem teknologi aplikasi yang digunakan pada angkutan umum orang tersebut — baik pada kendaraan roda dua maupun roda empat — memiliki kelebihan pada pengelolaan data dan informasi yang rinci dan akurat. Bukan hanya mengenai pengendara/operator kendaraan yang menjadi mitra kerja perusahaan jasa pengelola teknologi aplikasi, tapi juga data dan informasi penumpang yang menggunakan jasanya. Bahkan termasuk data dan informasi aktivitas layanan yang terjadi, seperti alamat asal dan tujuan perjalanan yang dilayani, kapan perjalanan dilakukan, berapa jarak dan waktu tempuhnya, hingga besarnya biaya yang dikenakan kepada konsumen pengguna jasanya.

Bukankah data dan informasi tersebut telah mampu menjawab berbagai kekhawatiran yang menyebabkan pemerintah ‘enggan’ terlibat jika kendaraan roda dua ‘diakui’ sebagai angkutan penumpang orang yang tidak dalam trayek?

Sebab, data dan informasi untuk mengelola keamanan dan keselamatan penumpang telah tersedia. Hal yang pada layanan ojek konvensional sangat sulit dilakukan pemerintah. Sesuatu yang mungkin menjadi alasan dan pertimbangan penting munculnya klausul tentang perizinan (bagi kendaraan roda empat atau lebih) yang hanya diberikan kepada usaha ‘berbadan hukum’ yang setidaknya memiliki 5 kendaraan. Dengan perkataan lain, izin tidak dapat diberikan kepada perorangan. Klausul yang sesungguhnya telah mencabut kemerdekaan individu warga negara Indonesia melakukan usaha angkutan penumpang umum tanpa alasan yang jelas dan masuk akal.

Ketentuan pembatasan pemberian izin hanya kepada badan hukum tersebut, kemungkinan didasari pertimbangan kesulitan yang harus dihadapi pemerintah untuk menjaga dan memelihara ketertibannya. Sebab — dengan adanya badan usaha — mungkin diasumsikan lebih mudah mencari pihak yang harus bertanggung-jawab jika terjadi sesuatu pada masyarakat penggunanya. Bagaimanapun, alasan tersebut patut diuji telah melanggar hak konstitusi warga negara yang ingin berusaha. Sebab — meskipun bersifat individual — masalah pertanggung-jawaban yang dibutuhkan tentunya tetap dapat dilakukan. Pertanyaannya justru, apakah pemerintah mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengelola data dan administrasi pengusaha angkutan (beserta aktivitasnya) jika bersifat perorangan?

Terlepas dari kemungkinan adanya pelanggaran hak konstitusional pada tata cara pemberian izin usaha angkutan penumpang umum tersebut, masalah yang menyangkut kesulitan dan ketidak mampuan pemerintah untuk mengelola data dan informasi yang terkait dengan penyedia jasa dan pelaku usaha, justru telah teratasi melalui perkembangan teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan aplikasi seperti Gojek, Uber, Grab, dan sejenisnya. 

Dengan kata lain, kekhawatiran atau kendala yang menyebabkan negara ‘enggan’ mengakui keberadaannya, kini telah teratasi. Bahkan termasuk data dan informasi untuk mengelola keselamatan dan keamanan penumpang. Sebab, salah satu syarat menggunakan jasa layanan yang berbasis teknologi aplikasi tersebut adalah kelengkapan dan akurasi data, baik operator maupun penumpangnya. Sesuatu yang pada sistem angkutan penumpang konvensional sulit — bahkan untuk layanan non trayek bisa dikatakan tidak mungkin — tersedia. Bukankah identitas dan data pribadi kita tak pernah disyarakatkan jika ingin menggunakan ojek maupun taksi konvensional?

Dengan demikian maka sesungguhnya tak ada lagi alasan logis negara maupun pemerintah menghalangi kendaraan roda dua digunakan sebagai layanan angkutan orang sebagai kegiatan formal, jika soal kesulitan jaminan keamanan dan keselamatan penumpang menjadi alasannya.

***

KEDUA, Peraturan Menteri yang diterbitkan pada masa Jonan itu sesungguhnya kurang bijaksana jika dilihat dari sudut pandang penyikapannya terhadap kepentingan seluruh masyarakat.

Kehadiran usaha angkutan penumpang umum yang berbasis teknologi aplikasi memang mengusik kenyamanan bisnis pengusaha konvensional. Pasar yang selama ini sepenuhnya terkuasai, tiba-tiba terguncang dan lepas kendali. Sebagian pelanggannya direbut, beralih pada layanan baru yang mampu menyaingi. Bukan semata lebih murah tapi juga lebih mudah dan lebih nyaman.

Ketika layanan yang menggunakan teknologi aplikasi pada kendaraan beroda dua yang difungsikan sebagai angkutan umum muncul, pengusaha informal ojek segera melakukan ‘perlawanan’ pertamanya. Sebab, angkutan yang berbasis teknologi aplikasi memang mampu memberikan yang lebih baik. Bukan hanya soal harga tapi juga layanan lain yang selama ini tak mampu disajikan ojek konvensional. Mulai dari kemudahan pemesanan, kepastian tarif, hingga nilai tambah lainnya. Dan perlawanan yang mereka lakukan pun sesungguhnya lebih karena masalah ‘literasi’ teknologinya. Pada giliran berikutnya, sebagian dari mereka justru ikut bergabung juga.

Berselang waktu yang tidak terlalu lama, layanan berbasis teknologi aplikasi juga merambah angkutan umum yang menggunakan kendaraan roda empat. Maka pengusaha taksi konvensional yang sebelumnya sudah terusik ketika layanan teknologi aplikasi untuk kendaraan roda dua hadir, semakin merasakan dampaknya. Pasar mereka segera tergerus tajam hingga sebagian kendaraannya — bahkan perusahaannya — tak mampu dioperasikan seperti semula.

Harus diakui bahwa pemerintah tidak sigap dan terlambat menyikapi. Padahal kehadiran negara — seperti yang selalu dijanjikan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada berbagai persoalan bangsa — sangat dibutuhkan. Bukan hanya terhadap pengusaha konvensional tapi juga warga yang berinisiatif maupun terlibat pada usaha inovatif yang hadir menyainginya. Persoalannya bukan semata menjaga keberlangsungan usaha yang sudah ada. Tapi juga memberi ruang pada gagasan baru dan inovatif seperti yang berbasis teknologi aplikasi tersebut, berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

Ketidak sigapan dan kelambanan Pemerintah itu semakin diperparah dengan kesan ketidak-adilan sikapnya yang justru tercermin dari ketentuan-ketentuan yang tercantum pada Peraturan Menteri Perhubungan No 32/2016 yang ditanda-tangani Ignasius Jonan. Sulit disangkal jika aturan tersebut berkesan ‘melindungi’ pemain lama tapi sekaligus ‘menghalangi’ pemain baru.

***

Peraturan Menteri Perhubungan itu bukan hanya cenderung memihak pada ‘oknum' pengusaha angkutan konvensional, tapi juga ingin mempertahankan 'business model’ hingga ‘prosedur dan tata cara birokrasi' yang lama. Menafikan keniscayaan perkembangan teknologi yang semestinya memudahkan dan memberikan hal yang lebih baik bagi kehidupan.

Teknologi aplikasi yang dikelola perusahaan-perusahaan yang menyediakannya mampu memberikan standar pelayanan yang relatif tinggi dan merata kepada konsumen. Meskipun usahanya dijalankan oleh banyak ‘pengusaha’ angkutan penumpang umum yang bersifat perorangan sekalipun. Hal yang sesungguhnya menjadi beban pemerintah selama ini sehingga membatasi izin hanya diberikan kepada badan usaha yang setidaknya memiliki 5 unit kendaraan. Padahal kenyataannya, tetap saja ketimpangan standar pelayanan di lapangan terjadi, dan pemerintah hampir tak mampu berbuat apapun. Salah satu sebab, karena ketidak mampuan ‘sistem pengawasan dan pembinaan’ yang dikuasai untuk bertindak instan dan segera. Hal yang justru tersedia pada layanan berbasis teknologi aplikasi.

Inovasi usaha angkutan yang berbasis teknologi aplikasi juga membuka peluang pemerataan kesempatan usaha, dan peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi banyak pihak. Hal yang sesungguhnya jauh lebih baik dibanding monopoli perusahaan angkutan penumpang konvensional tertentu yang berlangsung selama ini. Kita maklumi jika sebelumnya kondisi ‘the winner takes all’ hampir mapan dikuasai satu atau segelintir pihak. Sesuatu yang sesungguhnya menghadirkan iklim persaingan usaha yang kurang sehat.

Teknologi aplikasi yang diterapkan pada sistem angkutan umum penumpang — jika mampu disikapi dengan baik dan benar — juga memberikan peluang manfaat positif dalam berbagai hal. Mulai dari penghematan penggunaan BBM, pengurangan volume kendaraan yang memadati jalan raya, penghematan biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat, dan seterusnya.

***

Akan tetapi hal yang terjadi tidak demikian.

Jika mencermati persyarakat kapasitas mesin kendaraan minimal 1.300 cc yang dikeluhkan beberapa waktu lalu, Peraturan Menteri Perhubungan yang cakupannya baru menyentuh kendaraan roda empat tersebut — kendaraan beroda dua tidak termasuk — menempatkan usaha angkutan umum berbasis teknologi ke dalam jenis Angkutan Sewa (pasal 18). Berbeda dengan Taksi, angkutan umum penumpang konvensional yang kategori ‘reguler’-nya diperkenankan menggunakan kendaraan dengan kapasitas mesin minimal 1.000 cc. Bukankah hal ini mengesankan keberpihakan yang nyata pada usaha konvensional?

Lebih lanjut, dalam ketentuan khusus yang mengatur angkutan penumpang umum berbasis teknologi aplikasi (Bab IV, pasal 40-42) diatur agar perusahaan penyedia aplikasi tidak diperkenankan menyelenggarakan layanan angkutan umum (pasal 41 ayat 2) yang kegiatannya antara lain mencakup penetapan tarif dan pemungutan bayaran (pasal 41 ayat 3). Padahal, kita memahami, selama ini layanan berbasis teknologi aplikasi memiliki sistem pentarifan tersendiri yang dikelola penyedia jasa aplikasinya. Biaya untuk jam-jam sibuk biasanya dikenakan faktor perkalian tertentu sehingga lebih mahal dibanding kondisi normal. Kadang-kadang mereka juga menawarkan potongan khusus dan berbagai program promosi lain. Bukankah hal demikian berarti perusahaan penyedia aplikasi turut andil dalam penetapan tarif?

Begitu pula dalam hal pembayaran. Sejak pertama kali diperkenalkan, Uber memberikan layanan pembayaran melalui kartu kredit. Hal ini tentu termasuk kategori kegiatan memungut bayaran. Sesuatu yang terlarang kecuali perusahaan penyedia jasa aplikasi tersebut mendaftarkan diri untuk melakukan usaha di bidang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum yang tidak dalam trayek.

Sikap ‘menyulitkan’ angkutan umum berbasis teknologi aplikasi juga terlihat pada ketentuan teknis kendaraan (Angkutan Sewa) yang mengharuskan nomor kendaraan yang diberi kode khusus (pasal 18 ayat 3 butir a) dan dilengkapi dengan kartu uji dan pengawasan (ayat 18 ayat 3 butir c) yang lazim berlaku pada angkutan umum taksi konvensional.

Sistem angkutan umum yang menggunakan teknologi aplikasi sebenarnya telah melakukan lompatan jauh ke depan dan meninggalkan persoalan yang menjadi kendala pada angkutan konvensional. Keterikatan ketat penggunaan jasanya, pada tata cara yang dipersaratkan oleh teknologi aplikasi yang digunakan, menyebabkan sistem administrasi dan pengawasan lebih mudah.

Misalnya soal kelaikan kendaraan yang pada angkutan konvensional perlu diuji secara berkala. Terlaksana atau tidaknya kewajiban itu dapat diawasi petugas melalui tanda khusus yang dilekatkan pada kendaraan. Tentunya selain bukti dokumen fisik yang sewaktu-waktu dapat pula diperiksa.

Salah satu alasan yang melatar-belakangi perlunya uji kelaikan berkala dilakukan adalah agar pemerintah dapat lebih mudah mengawasi kelayakan kendaraan angkutan umum yang digunakan. Sebab, kendaraan yang dioperasikan bukan milik pengemudi tapi badan usaha yang diberikan izin. Uji kelaikan dipandang sebagai tata-cara untuk mengawasi pemeliharaan dan perawatan kendaraan semestinya tetap terjaga. Terlebih bagi kendaraan-kendaraan yang usia operasionalnya sudah cukup tua.

Sementara itu, pada kondisi yang terkini, perusahaan yang memiliki teknologi aplikasi pada usaha angkutan umum yang dikelolanya, tidak memiliki keterikatan pada investasi kepemilikan kendaraan. Baginya, hal yang penting adalah memberikan pelayanan prima dan terbaik kepada mitra kerja dan pelanggannya. Maka, untuk soal memelihara dan menjaga kelaikan kendaraan, ia mempunyai kemerdekaan menetapkan umur operasional kendaraan yang digunakan mitra pengusaha angkutan umumnya. 

Bahkan dapat berkolaborasi dengan produsen kendaraan untuk memanfaatkan ‘pernyataan tingkat layanan standar’ (service level agreement) terhadap produk-produk yang dipasarkan mereka. Kini jamak kita temukan produsen kendaraan yang berani dan mampu menawarkan garansi layanan purna-jual terhadap produk-produknya. 

Hal tersebut dapat digunakan sebagai acuan perusahaan pemilik teknologi aplikasi untuk menetapkan usia layak bagi kendaraan yang digunakan mitra kerja. Melalui sistem teknologi aplikasi yang dimiliki, ia bisa menetapkan persyaratan ketat tentang hal tersebut. Bahkan tanpa toleransi sekecil apapun. Sebab, akses mitra pemilik kendaraan untuk melayani pelanggan yang ingin menggunakan jasanya segera tertutup ketika syarat-syarat untuk memelihara kelaikan kendaraannya, tidak terpenuhi lagi. Misalnya melalui persyaratan usia kendaraan yang digunakan.

***

Departemen Perhubungan — lembaga yang telah ditinggalkan Ignasius Jonan dan kini dipimpin Budi Karya — mestinya bersikap lebih arif dan bijaksana. Ia harus dan perlu adil pada semua kelompok maupun golongan demi masa depan bangsa Indonesia. Bukan semata perusahaan dan pelaku usaha lama yang telah ada selama ini.

Salah satu celah penting yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakannya adalah pada ketentuan pajak yang terkait dengan aktivitas angkutan umum yang berbasis teknologi aplikasi.
Bukankah Departemen Perhubungan mengkategorikan kendaraan yang digunakan untuk aktivitas tersebut sebagai Angkutan Sewa?

Jika demikian maka cara pandang yang diterapkan Departemen Perhubungan terhadap fenomena tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut :

pertama, perusahaan pemilik teknologi aplikasi menawarkan jasa mempertemukan pemilik kendaraan dengan penumpang yang ingin menggunakannya.

kedua, jenis transaksi yang terjadi antara pemilik kendaraan dengan penumpang adalah sewa-menyewa kendaraan.

ketiga, sesuai dengan ketentuan PPh 23 maka atas transaksi tersebut wajib dipungut potongan pajak penghasilan sebesar 2 persen.

keempat, kewajiban pemotongan PPh 23 tersebut kemudian diserahkan kepada perusahaan pemilik teknologi aplikasi yang bertindak sebagai perantara antara konsumen dengan pemilik kendaraan yang menjadi mitra kerjanya. Sebab, pemilik teknologi aplikasi mempunyai akses terhadap jumlah nilai transaksi yang terjadi. Bahkan, untuk pembayaran non tunai (misalnya kartu kredit), perusahaan pemilik aplikasi juga bertindak sebagai perantara yang menampung pembayaran konsumen untuk kemudian diserahkan kepada pemilik kendaraan mitranya.

Jadi, seandainya biaya perjalanan yang harus dibayar konsumen kepada pemilik kendaraan adalah Rp 25.000 maka perusahaan pemilik teknologi aplikasi wajib melaporkan dan menyetorkan potongan PPh 23 atas transaksi tersebut sebaesar Rp 500. Sesuai ketentuan, jika pemilik kendaraan yang disewa pelanggan tidak memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak) maka dikenakan tarif tambahan sebesar 100% sehingga jumlah yang harus dilaporkan dan disetor menjadi Rp 1.000.

kelima, sesuai dengan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, Departemen Perhubungan juga mewajibkan pemungutan oleh perusahaan pemilik teknologi aplikasi terhadap nilai transaksi yang terjadi antara konsumen dan pemilik kendaraan mitra.

Jadi, untuk biaya perjalanan sebesar Rp 25.000 tadi, pemilik kendaraan harus menagih kepada pengguna jasa yang menyewanya sebesar Rp 2.500. Dengan demikian, pengguna jasa harus membayar Rp 27.500 kepada pemilik kendaraan, termasuk PPN.

keenam, perusahaan pemiliki teknologi aplikasi wajib melaporkan dan menyetor PPN masukan tersebut kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Dengan demikian maka untuk transaksi Rp 25.000 yang dibayarkan penumpang, perusahaan pemilik teknologi aplikasi wajib menyetorkan PPh pasal 23 dan PPN sebesar Rp 2.750 kepada negara.

***

Dengan menggunakan pendekatan demikian maka Republik Indonesia akan memperoleh manfaat lain.

pertama, pengusaha angkutan yang bekerjasama dengan perusahaan pemilik teknologi aplikasi akan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Tujuannya agar dapat menghindari tarif denda 100% yang dikenakan kepadanya saat pemotongan PPh 23 dilakukan terhadap transaksi sewa yang dibayar penumpang yang dilayaninya.

Dengan memiliki NPWP, mitra yang mengoperasikan kendaraan juga memiliki peluang restitusi atas kelebihan PPh 23 yang telah dipotong perusahaan pemilik teknologi aplikasi. Sebab, ia dapat memanfaatkan ketentuan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 yang menetapkan PPh final 1% untuk usaha mikro kecil dan menengah yang memiliki omzet maksimal Rp 4,8 milyar setahun. Sementara, dari setiap transaksi yang dilayaninya, perusahaan pemilik aplikasi telah memotong PPh 23 dari pendapatan yang diterimanya sebesar 2 persen. Artinya, sesuai ketentuan PP 46/2013, dia telah melakukan kelebihan pembayaran melalui PPh 23 yang dipotongkan.

kedua, dengan meningkatnya kepemilikan NPWP maka pemerintah memiliki basis data yang lebih masif. Peluang ini juga kesempatan yang baik untuk melakukan desiminasi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban pajaknya.

Pengusaha angkutan yang bekerja sama dengan pemilik aplikasi kemudian memahami dengan baik dasar pemotongan PPh 23 yang dikenakan kepadanya. Otomotis, dia juga menjadi paham dan mengerti harus memotong PPh 23 dari pemilik mobil yang menyewakan, jika kendaraan yang digunakan bukan milik pribadi. Hal ini kemudian mendesak pemilik kendaraan memiliki NPWP agar terhindar tambahan tarif denda 100 persen. Jika pengemudi menyewa kendaraan yang dioperasikan untuk angkutan umum yang berbasis teknologi aplikasi sebesar Rp 4.000.000 per bulan maka dia akan memotong dan menyetorkan PPh 23 sebesar Rp 80.000 setiap bulannya.

***

Masih banyak hal lainnya yang dapat dimanfaatkan Departemen Perhubungan untuk mengembangkan kebijakan-kebijakannya berdasarkan asal sila kelima Pancasila, ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Hal yang kini harus dikerjakan Budi Karya, termasuk memperbaiki dan menyempurnakan warisan Peraturan Menteri Perhubungan semasa Ignasius Jonan menjabat.

Selain berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, sebagaimana dijelaskan di atas, juga dapat dilakukannya bersama Kementerian Koperasi dan UKM untuk memberdayakan tunas-tunas baru pengusaha angkutan umum yang bergabung dengan perusahaan pemilik teknologi aplikasi. Kolaborasi tersebut juga bermanfaat untuk mengayomi pengusaha taksi konvensional menyiasati dinamika bisnis mereka setelah kehadiran usaha berbasis teknologi aplikasi yang menjadi saingannya.

Intinya, Departemen Perhubungan perlu merumuskan dulu cetak biru masa depan yang menyebabkannya dapat sungguh-sungguh mewakili negara hadir di tengah masyarakat, khususnya di bidang transportasi. Termasuk didalamnya berbagai kolaborasi dan sinergi yang perlu dilakoni bersama dengan instansi-instansi pemerintah lainnya.

Setelah itu, rumuskan proses transformasi yang harus dilalui untuk menuju pada kondisi ideal seperti yang tertuang pada cetak biru tersebut.

Lalu kerja, kerja, dan kerja secara cerdas dan bijaksana.

***

Pengalaman seru Ignasius Jonan dalam menyikapi kehadiran angkutan umum berbasis teknologi informasi ini mudah-mudahan memberi manfaat dan pencerahan baginya untuk menghadapi berbagai soal kontemporer di lingkungan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral yang kini ditangani bersama Arcandra Tahar.

Anda mewakili negara. Harapan kami dapat sungguh-sungguh hadir di tengah masyarakat secara bijaksana dan berkeadilan. Bagi semuanya.

Jangan ragu untuk melakukan inovasi maupun terobosan, meskipun harus memperbaiki, mengganti, atau menyempurnakan aturan dan ketentuan lama. Sebab tak ada yang bersifat tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun