Dengan menggunakan pendekatan demikian maka Republik Indonesia akan memperoleh manfaat lain.
pertama, pengusaha angkutan yang bekerjasama dengan perusahaan pemilik teknologi aplikasi akan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Tujuannya agar dapat menghindari tarif denda 100% yang dikenakan kepadanya saat pemotongan PPh 23 dilakukan terhadap transaksi sewa yang dibayar penumpang yang dilayaninya.
Dengan memiliki NPWP, mitra yang mengoperasikan kendaraan juga memiliki peluang restitusi atas kelebihan PPh 23 yang telah dipotong perusahaan pemilik teknologi aplikasi. Sebab, ia dapat memanfaatkan ketentuan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 yang menetapkan PPh final 1% untuk usaha mikro kecil dan menengah yang memiliki omzet maksimal Rp 4,8 milyar setahun. Sementara, dari setiap transaksi yang dilayaninya, perusahaan pemilik aplikasi telah memotong PPh 23 dari pendapatan yang diterimanya sebesar 2 persen. Artinya, sesuai ketentuan PP 46/2013, dia telah melakukan kelebihan pembayaran melalui PPh 23 yang dipotongkan.
kedua, dengan meningkatnya kepemilikan NPWP maka pemerintah memiliki basis data yang lebih masif. Peluang ini juga kesempatan yang baik untuk melakukan desiminasi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban pajaknya.
Pengusaha angkutan yang bekerja sama dengan pemilik aplikasi kemudian memahami dengan baik dasar pemotongan PPh 23 yang dikenakan kepadanya. Otomotis, dia juga menjadi paham dan mengerti harus memotong PPh 23 dari pemilik mobil yang menyewakan, jika kendaraan yang digunakan bukan milik pribadi. Hal ini kemudian mendesak pemilik kendaraan memiliki NPWP agar terhindar tambahan tarif denda 100 persen. Jika pengemudi menyewa kendaraan yang dioperasikan untuk angkutan umum yang berbasis teknologi aplikasi sebesar Rp 4.000.000 per bulan maka dia akan memotong dan menyetorkan PPh 23 sebesar Rp 80.000 setiap bulannya.
***
Masih banyak hal lainnya yang dapat dimanfaatkan Departemen Perhubungan untuk mengembangkan kebijakan-kebijakannya berdasarkan asal sila kelima Pancasila, ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Hal yang kini harus dikerjakan Budi Karya, termasuk memperbaiki dan menyempurnakan warisan Peraturan Menteri Perhubungan semasa Ignasius Jonan menjabat.
Selain berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, sebagaimana dijelaskan di atas, juga dapat dilakukannya bersama Kementerian Koperasi dan UKM untuk memberdayakan tunas-tunas baru pengusaha angkutan umum yang bergabung dengan perusahaan pemilik teknologi aplikasi. Kolaborasi tersebut juga bermanfaat untuk mengayomi pengusaha taksi konvensional menyiasati dinamika bisnis mereka setelah kehadiran usaha berbasis teknologi aplikasi yang menjadi saingannya.
Intinya, Departemen Perhubungan perlu merumuskan dulu cetak biru masa depan yang menyebabkannya dapat sungguh-sungguh mewakili negara hadir di tengah masyarakat, khususnya di bidang transportasi. Termasuk didalamnya berbagai kolaborasi dan sinergi yang perlu dilakoni bersama dengan instansi-instansi pemerintah lainnya.
Setelah itu, rumuskan proses transformasi yang harus dilalui untuk menuju pada kondisi ideal seperti yang tertuang pada cetak biru tersebut.
Lalu kerja, kerja, dan kerja secara cerdas dan bijaksana.