Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jonan Pergi, Jonan Kembali: Belajar dari Warisannya kepada Budi Karya

16 Oktober 2016   14:57 Diperbarui: 18 Oktober 2016   22:31 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar

Bukankah data dan informasi tersebut telah mampu menjawab berbagai kekhawatiran yang menyebabkan pemerintah ‘enggan’ terlibat jika kendaraan roda dua ‘diakui’ sebagai angkutan penumpang orang yang tidak dalam trayek?

Sebab, data dan informasi untuk mengelola keamanan dan keselamatan penumpang telah tersedia. Hal yang pada layanan ojek konvensional sangat sulit dilakukan pemerintah. Sesuatu yang mungkin menjadi alasan dan pertimbangan penting munculnya klausul tentang perizinan (bagi kendaraan roda empat atau lebih) yang hanya diberikan kepada usaha ‘berbadan hukum’ yang setidaknya memiliki 5 kendaraan. Dengan perkataan lain, izin tidak dapat diberikan kepada perorangan. Klausul yang sesungguhnya telah mencabut kemerdekaan individu warga negara Indonesia melakukan usaha angkutan penumpang umum tanpa alasan yang jelas dan masuk akal.

Ketentuan pembatasan pemberian izin hanya kepada badan hukum tersebut, kemungkinan didasari pertimbangan kesulitan yang harus dihadapi pemerintah untuk menjaga dan memelihara ketertibannya. Sebab — dengan adanya badan usaha — mungkin diasumsikan lebih mudah mencari pihak yang harus bertanggung-jawab jika terjadi sesuatu pada masyarakat penggunanya. Bagaimanapun, alasan tersebut patut diuji telah melanggar hak konstitusi warga negara yang ingin berusaha. Sebab — meskipun bersifat individual — masalah pertanggung-jawaban yang dibutuhkan tentunya tetap dapat dilakukan. Pertanyaannya justru, apakah pemerintah mampu melakukan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengelola data dan administrasi pengusaha angkutan (beserta aktivitasnya) jika bersifat perorangan?

Terlepas dari kemungkinan adanya pelanggaran hak konstitusional pada tata cara pemberian izin usaha angkutan penumpang umum tersebut, masalah yang menyangkut kesulitan dan ketidak mampuan pemerintah untuk mengelola data dan informasi yang terkait dengan penyedia jasa dan pelaku usaha, justru telah teratasi melalui perkembangan teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan aplikasi seperti Gojek, Uber, Grab, dan sejenisnya. 

Dengan kata lain, kekhawatiran atau kendala yang menyebabkan negara ‘enggan’ mengakui keberadaannya, kini telah teratasi. Bahkan termasuk data dan informasi untuk mengelola keselamatan dan keamanan penumpang. Sebab, salah satu syarat menggunakan jasa layanan yang berbasis teknologi aplikasi tersebut adalah kelengkapan dan akurasi data, baik operator maupun penumpangnya. Sesuatu yang pada sistem angkutan penumpang konvensional sulit — bahkan untuk layanan non trayek bisa dikatakan tidak mungkin — tersedia. Bukankah identitas dan data pribadi kita tak pernah disyarakatkan jika ingin menggunakan ojek maupun taksi konvensional?

Dengan demikian maka sesungguhnya tak ada lagi alasan logis negara maupun pemerintah menghalangi kendaraan roda dua digunakan sebagai layanan angkutan orang sebagai kegiatan formal, jika soal kesulitan jaminan keamanan dan keselamatan penumpang menjadi alasannya.

***

KEDUA, Peraturan Menteri yang diterbitkan pada masa Jonan itu sesungguhnya kurang bijaksana jika dilihat dari sudut pandang penyikapannya terhadap kepentingan seluruh masyarakat.

Kehadiran usaha angkutan penumpang umum yang berbasis teknologi aplikasi memang mengusik kenyamanan bisnis pengusaha konvensional. Pasar yang selama ini sepenuhnya terkuasai, tiba-tiba terguncang dan lepas kendali. Sebagian pelanggannya direbut, beralih pada layanan baru yang mampu menyaingi. Bukan semata lebih murah tapi juga lebih mudah dan lebih nyaman.

Ketika layanan yang menggunakan teknologi aplikasi pada kendaraan beroda dua yang difungsikan sebagai angkutan umum muncul, pengusaha informal ojek segera melakukan ‘perlawanan’ pertamanya. Sebab, angkutan yang berbasis teknologi aplikasi memang mampu memberikan yang lebih baik. Bukan hanya soal harga tapi juga layanan lain yang selama ini tak mampu disajikan ojek konvensional. Mulai dari kemudahan pemesanan, kepastian tarif, hingga nilai tambah lainnya. Dan perlawanan yang mereka lakukan pun sesungguhnya lebih karena masalah ‘literasi’ teknologinya. Pada giliran berikutnya, sebagian dari mereka justru ikut bergabung juga.

Berselang waktu yang tidak terlalu lama, layanan berbasis teknologi aplikasi juga merambah angkutan umum yang menggunakan kendaraan roda empat. Maka pengusaha taksi konvensional yang sebelumnya sudah terusik ketika layanan teknologi aplikasi untuk kendaraan roda dua hadir, semakin merasakan dampaknya. Pasar mereka segera tergerus tajam hingga sebagian kendaraannya — bahkan perusahaannya — tak mampu dioperasikan seperti semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun