Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jonan Pergi, Jonan Kembali: Belajar dari Warisannya kepada Budi Karya

16 Oktober 2016   14:57 Diperbarui: 18 Oktober 2016   22:31 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar

Program relokasi pemukiman kumuh dan liar yang dilakoni kepala daerah seperti Ahok, Ridwan Kamil, dan lain-lain menjadi niscaya tanpa perlu menghiraukan atau kompromi dengan tekanan-tekanan ‘penguasa’ maupun ‘kekuasaan’ informal. Pendidikan yang dituntut terjangkau, lebih berkeadilan, dan merata, menyisakan ruang yang semakin sempit untuk tindak korupsi-kolusi-nepotisme.

Salah satu buah tidak langsung dari proses panjang yang walau tertatih-tatih telah kita lalui sejak 1998 hingga kini, adalah kehadiran seorang Ignasius Jonan yang berhasil merubah wajah layanan perkereta-apian Indonesia menjadi aman, nyaman, terpercaya, dan terjangkau bagi penggunanya. Sekaligus juga membanggakan bagi bangsa Indonesia hari ini. 

Jonan mungkin tak pernah sempat hadir dan berkarya di sana jika model pemerintahan dan kekuasaan Orde Baru masih bercokol. Dia sukses menyingkirkan percaloan yang menggurita di lingkungan perkereta-apian. Termasuk pengasong kaki-lima, sektor informal di lingkungan stasiun yang menjadi penyumbang terbesar kekumuhan di sana. Setelah kehadiran Jonan, perkereta-apian Indonesia memang jadi tertib dan rapih.

***

Sesungguhnya — dengan memanfaatkan kehadiran teknologi aplikasi yang menghebohkan itu — Jonan pernah memiliki kesempatan emas menghadirkan negara dan memformalisasi sektor informal layanan ojek. Peluang yang juga sangat mungkin merambah ke bidang-bidang informal lain yang nyatanya memang berkolaborasi secara sinergis dengan bisnis ojek itu.

Alasan keamanan yang sering diketengahkan sebagai ‘penyangkalan’ atau ‘keengganan’ mengatur kendaraan roda dua sebagai angkutan umum seharusnya tidak relevan lagi. Soal keamanan berlalu-lintas tentu bukan alasan. Sebab ada aturan dan tata cara tersendiri yang berkait dengan kehadiran sepeda motor sebagai bagian dari pengguna jalan raya. Termasuk kelaikannya.

Lalu — terlepas dari ketentuan undang-undang yang memang tidak mencakupnya — mengapa kendaraan sepeda motor roda dua tidak diperbolehkan atau tidak bisa diatur sebagai angkutan umum?

Apakah soal jaminan keamanan dan keselamatan penumpang? Atau soal administrasi perizinan dan sumber pendapatan negara?

***

Melalui sistem teknologi aplikasi yang digunakan Gojek, Uber, Grab, dan seterusnya, sesungguhnya Indonesia berkesempatan untuk menyelesaikan banyak ‘soal’ yang selama ini terbengkalai dan ‘dibiarkan’ menjadi informal. Peluang emas untuk mem-formal-kannya sekaligus meng-kapitalisasi-nya menjadi asset bangsa.

Sistem teknologi aplikasi yang digunakan pada angkutan umum orang tersebut — baik pada kendaraan roda dua maupun roda empat — memiliki kelebihan pada pengelolaan data dan informasi yang rinci dan akurat. Bukan hanya mengenai pengendara/operator kendaraan yang menjadi mitra kerja perusahaan jasa pengelola teknologi aplikasi, tapi juga data dan informasi penumpang yang menggunakan jasanya. Bahkan termasuk data dan informasi aktivitas layanan yang terjadi, seperti alamat asal dan tujuan perjalanan yang dilayani, kapan perjalanan dilakukan, berapa jarak dan waktu tempuhnya, hingga besarnya biaya yang dikenakan kepada konsumen pengguna jasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun