"Berhenti Pak, saya turun di sini saja," teriak Raden kepada supir ojek online dari bangku belakang, sembari melepas helm di atas motor.
Yang diteriaki menoleh, sedikit terkejut "Tapi mas, titik antarnya masih jauh,".
"Saya sedang ingin berjalan kaki Pak," jawab Raden santai.
Supir ojek online mengangguk, menatap Raden dalam-dalam. Aneh pikirnya, tidak biasanya dia bertemu penumpang yang minta diturunkan cukup jauh dari titik antar, dengan alasan ingin berjalan kaki. Penasaran memang, namun biarlah itu menjadi urusan penumpang tersebut, tugasnya hanya menjemput dan mengantarkan penumpang tiba di tempat tujuan. Bagaimanapun juga, penumpang adalah raja.
"Jangan lupa lima bintang ya mas," kata supir ojek online penuh harap.
"Jangankan lima bintang pak, seratus meteor pun saya berikan jika aplikasi mereka menyediakannya," ucap Raden sambil tertawa.
Aku melirik jam di pergelangan tangan. Pukul 21.40, masih cukup banyak waktu sebelum jadwal keberangkatan. Aku memang sengaja berhenti di tengah perjalanan, agar bisa berjalan kaki untuk mengulur waktu sembari berpikir ulang tentang keputusan yang kuambil dalam perjalanan malam ini. Keputusan yang benar atau salah? aku tidak tahu.
Jalanan Jakarta masih sangat ramai meskipun hari telah larut, apalagi daerah itu adalah pusat kota, cahaya lampu di gedung-gedung perkantoran masih terlihat menyala. Soal lembur hingga larut malam, para pekerja di Ibukota memang nomor satu.
"Apa sih yang sedang aku lakukan sebenarnya? mengambil cuti kerja, melakukan perjalanan jauh, demi bertemu seseorang yang bahkan tidak kuketahui asal-usulnya," gumam Raden dalam hati, keraguan itu muncul.
"STASIUN PASAR SENEN"
Kamis, 09 Juni 2022
Aku selalu membenci stasiun. Bagiku, stasiun adalah tempat dimana tangisan dan senyuman bertemu, tangisan bagi yang akan ditinggalkan, dan senyuman bagi yang akan dipertemukan. Aku membencinya, karena stasiun lebih banyak memberiku tangisan ketimbang senyuman. Meskipun aku membencinya, sejak kanak-kanak hidupku selalu bersentuhan dengan stasiun, selalu ada alasan yang membuatku berjumpa dengan stasiun, lagi dan lagi.
Tiga Puluh Menit, waktu yang kuhabiskan untuk berjalan kaki. Namun, selambat apapun aku berjalan dan mencoba mengulur waktu, pada akhirnya aku tetap sampai pada titik antar yang dimaksud oleh supir ojek online tadi. Suasana stasiun masih cukup ramai, masih ada dua jadwal keberangkatan kereta lagi malam ini, termasuk kereta yang akan kutumpangi. Aku mencari tempat untuk mengistirahatkan kakiku. Bukan itu sebenarnya, lebih tepatnya aku mencari tempat dimana aku bisa merokok.
"Baiklah! Tidak ada alasan untuk mundur, dua puluh menit lagi keretaku akan berangkat, tidak ada salahnya aku berpergian. Anggap saja aku sedang berpetualang, lagipula sudah lama aku tidak melakukannya, dan pasti akan lebih seru karena aku melakukannya dengan orang yang kuyakini akan menjadi teman dalam petualangan-petualanganku selanjutnya," tegas Raden penuh keyakinan, seakan lupa bahwa tiga puluh menit yang lalu, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Prigo akan diberangkatkan dari stasiun Pasar Senen menuju stasiun akhir Lempuyangan. Dengan pemberhentian di stasiun Cirebon Prujakan, Purwokerto, Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Wates, dan Lempuyangan. Terima kasih," pengumuman dari pengeras suara di stasiun terdengar bersamaan dengan hembusan rokok terakhirku.
Ya, itu keretaku. Kereta yang akan membawaku dan ratusan penumpang lainnya menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, kota yang baru dua kali aku kunjungi. Dan mungkin setelah ini, aku akan lebih sering mengunjungi kota ini.
Aku bergegas menuju peron stasiun, melewati beberapa porter yang tidak kenal lelah untuk menawarkan jasanya kepada calon penumpang kereta. Tapi hey lihatlah, malam ini aku merasa diremehkan, tidak sedikitpun mereka menawarkan jasanya padaku, bahkan melirik pun tidak.
"Apa yang salah denganku? Apakah aku terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki uang, sehingga mereka tidak sudi menawarkan jasanya padaku?," lirih Raden getir.
"Mas, daritadi saya ada disini lho, tapi kenapa sampean tidak pernah menawarkan untuk membawakan barang saya?" tanya Raden kepada salah satu porter saat menunggu antrian masuk peron.
"Bagaimana negara ini mau maju mas, kalau pemuda-pemuda bangsa ini malas seperti sampean. Masa bawa satu tas ransel kecil saja harus minta tolong porter?," ejek porter tersebut sambil meringis kepada Raden.
Aku terkekeh saja mendengar jawabannya. Porter itu pun sebenarnya tahu bahwa aku sedang bercanda, untuk melepaskan ketegangan. Kami berdua pasti butuh relaksasi setelah cukup lelah melewati aktivitas hari ini, dan aku menghargainya karena dia masih menyempatkan diri untuk merespon celotehan tidak penting dariku di sela-sela kesibukannya mencari pelanggan.
Lima menit kemudian, setelah melalui proses boarding, aku sudah berada di atas kursiku. Tepat pukul 22.30 kereta berangkat. Hebat, sangat sesuai dengan jadwal yang tertera di tiket.
Aku menatap interior kereta. Kereta yang aku tumpangi ini adalah kereta ekonomi model lawas, dengan model kursi yang "kurang manusiawi" menurut orang-orang, terlebih bagi orang yang memiliki masalah dengan punggungnya, sangat tidak disarankan menaiki kereta dengan model seperti ini. Tapi di sisi lain, sebagai orang yang turut serta merasakan bagaimana "menyeramkannya" momen-momen berpergian dengan kereta api ekonomi pada masa lampau, aku juga mengagumi perubahan besar yang terjadi pada dunia industri kereta api di Indonesia pada masa sekarang. Sepanjang tahun 2021 saja, PT. KAI berhasil meraup pendapatan sebesar Rp 15,5 triliun, angka yang sangat besar bukan? Tapi itu tidak cukup besar untuk menandingi rasa penasaranku malam ini, rasa penasaran terhadap seseorang yang akan kutemui besok pagi.
"Mas Raden, sudah didalam kereta? Hati-hati dalam perjalanan ya, aku deg-degan mas," Aku menatap notifikasi whatsapp di handpone milikku. Satu pesan baru dari Nimas, seseorang atau lebih tepatnya wanita yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini, dia yang menyita perhatianku sebulan belakangan ini, dia ............ yang akan kutemui besok pagi. Tapi pesan itu tidak langsung kubalas.
Pandanganku tersapu ke luar jendela kereta. Kereta telah melewati stasiun Bekasi, tidak berhenti.
Bekasi...... pikiranku terbang begitu melewati kota ini, membawaku pada salah satu momen yang tidak akan pernah aku lupakan.
Satu bulan silam di kota ini, pada suatu akhir pekan di bulan Mei, aku yang sedang bosan di Jakarta memutuskan untuk berkunjung ke rumah Regar, salah satu saudara sepupu dari garis keturunan Ayah. Nantinya, apabila kisah ini berhasil tiba di garis akhir, maka Regar adalah orang pertama yang akan kuberikan undangan pernikahanku, dan akan kuantarkan langsung dimanapun dia berada nanti.
"Den, lo udah single berapa lama sih?" tanya Regar sambil asyik memainkan salah satu game Playstation 3 yang sengaja kami sewa seharian.
"Belum lama sih bang, baru 7 tahun," jawab Raden dengan wajah innocent nya
Spontan Regar menekan tombol start di stik playstation nya, menghentikan game sepakbola yang sedang berlangsung seru "et dah buset, jabatan Presiden aja cuman 5 tahun, nah lo single udah 7 tahun, lo mau 2 periode?"
Ejekan Regar tidak membuatku marah, justru aku merasa tertampar. Memang, selama ini aku tidak terlalu peduli dengan sebuah hubungan. Aku hanya merasa belum cukup pantas untuk dicintai oleh seseorang.
"Nih, lo coba buka fitur anonymous people di aplikasi ini. Disitu lo bakal ketemu sama banyak orang yang mungkin bisa jadi teman buat ngelewatin hari-hari lo yang kesepian, coba aja dulu, bisa jadi jodohmu ada disitu" Regar mengambil handponeku yang kuletakan di sembarang tempat, dengan cepat membuka fitur tersebut dan menulis "/start". Aku tak merespon apapun, namun aku penasaran.
"Huft, baiklah apa salahnya kucoba", Raden menarik nafas panjang, mengambil handponenya dari tangan Regar.
"Halo, selamat malam. Salam kenal aku Raden umur 23, laki-laki, senang bisa berkenalan denganmu," Raden membuka percakapan sekedarnya.
Aku sedikit berbohong soal umurku yang sebenarnya sudah 25 tahun saat itu. Tidak ada maksud apapun bung, aku hanya tidak ingin terlihat tua.
Sepuluh menit berlalu, tidak ada balasan. Ketika aku ingin mengakhiri percakapan tersebut, muncul satu notifikasi.
"Halo, selamat malam Mas Raden. Salam kenal aku Wuri Nimas, umur 20, perempuan tulen, kau bisa memanggilku Nimas dan terima kasih sudah bersedia berkenalan denganku,"
"Sialan! elegan sekali caranya memperkenalkan diri. Sepertinya dia wanita yang cukup berkelas. Dia, dia berbeda. Baiklah, tuas sudah ditarik, kereta akan terus berjalan hingga pemberhentian di stasiun terakhir " tekad Raden dalam hati.
Wanita tersebut resmi merebut perhatian Raden malam itu.
Percakapan terus berlanjut hingga pukul tiga subuh. Raden terlarut dalam situasi obrolan yang menyenangkan, sesekali Raden tersenyum-senyum sendiri. Regar yang masih terjaga melirik heran Raden di sebelahnya, sudah kurang waras Raden ini, pikirnya.
Satu hingga dua minggu terlewati sejak malam itu. Hari-hariku yang tadinya membosankan, sekarang sudah tidak lagi. Aku yang biasanya mengeluh mengapa hari berjalan begitu lambat, kini berganti memohon agar hari tidak cepat berganti. Pertemuanku dengan Nimas malam itu menjadi titik balik dalam kisahku. Kami masih saling bertukar kabar setiap harinya, melalui pesan singkat, telepon, bahkan kami sudah beberapa kali bertatap muka, meskipun hanya melalui video call, kami membicarakan banyak hal baru setiap harinya, tidak pernah kehabisan topik.
"Jatuh cinta", dulu ketika mendengarnya saja telingaku merasa geli. Tapi sekarang aku sedang menjilat telingaku sendiri. Aku tidak bisa menampiknya, sekarang aku sedang................. JATUH CINTA. Jatuh Cinta pada seorang asing yang bahkan tidak kuketahui asal-usulnya, yang hanya berinteraksi melalui kehebatan teknologi dan media sosial. Aneh memang, tapi di masa sekarang, itu adalah hal yang lumrah.
Namun sejak saat itu, kami semakin dihantui rasa penasaran, tentang wujud asli satu sama lain, tentang arah hubungan ini. Satu-satunya cara untuk membunuh rasa penasaran itu adalah dengan sebuah pertemuan.
Dan, disinilah aku sekarang -- Gerbong 7, kursi nomor 20 E Kereta Api Prigo.
Dua orang pramugari kereta berkeliling menawarkan makanan dan minuman untuk para penumpang, segera membuyarkan lamunanku.
"Mas Raden, Nimas sedang menyiapkan bahan untuk makanan favorit Mas Raden, Nasi Goreng! semoga Mas Raden menyukainya ya. Sampai bertemu besok pagi Mr. Loverman," belum sempat kubalas pesan Nimas yang pertama, dia sudah mengirimkan pesan berikutnya.
 "Mengapa aku harus ragu, sedangkan Nimas saja sangat antusias dengan pertemuan ini?" Umpat Raden kepada dirinya sendiri.
"Dan Hey, dia tadi memanggilku apa? Mr. Loverman? Aku tidak salah baca kan?" Wajah Raden bersemu merah, berulang-ulang membaca pesan tersebut.
Aku segera membalas pesan Nimas, tidak ingin membuatnya menunggu lebih lama "Nimas, Mas Raden sudah duduk manis di kereta. Terima kasih sudah mengusahakan masakan terbaik untuk Mas Raden. Sangat tidak sabar untuk segera menyantapnya sambil menatap senyum manismu. Jangan lupa toping kulit ayamnya ya Wuri Nimasa Depanku!''
Masih ingat bagaimana sebelumnya aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah ini Keputusan yang benar atau salah? mengambil cuti kerja, melakukan perjalanan jauh, demi bertemu seseorang yang bahkan tidak kuketahui asal-usulnya. Namun sekarang aku telah menemukan jawabnya, Bung.
Ternyata, ini bukanlah keputusan yang benar...
Tapi, ini juga bukan keputusan yang salah...
Ini adalah "KEPUTUSAN TERBAIK".
Selesai, titik.
Atau mungkin Bersambung?
Eh,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H