Aku selalu membenci stasiun. Bagiku, stasiun adalah tempat dimana tangisan dan senyuman bertemu, tangisan bagi yang akan ditinggalkan, dan senyuman bagi yang akan dipertemukan. Aku membencinya, karena stasiun lebih banyak memberiku tangisan ketimbang senyuman. Meskipun aku membencinya, sejak kanak-kanak hidupku selalu bersentuhan dengan stasiun, selalu ada alasan yang membuatku berjumpa dengan stasiun, lagi dan lagi.
Tiga Puluh Menit, waktu yang kuhabiskan untuk berjalan kaki. Namun, selambat apapun aku berjalan dan mencoba mengulur waktu, pada akhirnya aku tetap sampai pada titik antar yang dimaksud oleh supir ojek online tadi. Suasana stasiun masih cukup ramai, masih ada dua jadwal keberangkatan kereta lagi malam ini, termasuk kereta yang akan kutumpangi. Aku mencari tempat untuk mengistirahatkan kakiku. Bukan itu sebenarnya, lebih tepatnya aku mencari tempat dimana aku bisa merokok.
"Baiklah! Tidak ada alasan untuk mundur, dua puluh menit lagi keretaku akan berangkat, tidak ada salahnya aku berpergian. Anggap saja aku sedang berpetualang, lagipula sudah lama aku tidak melakukannya, dan pasti akan lebih seru karena aku melakukannya dengan orang yang kuyakini akan menjadi teman dalam petualangan-petualanganku selanjutnya," tegas Raden penuh keyakinan, seakan lupa bahwa tiga puluh menit yang lalu, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan.
"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Prigo akan diberangkatkan dari stasiun Pasar Senen menuju stasiun akhir Lempuyangan. Dengan pemberhentian di stasiun Cirebon Prujakan, Purwokerto, Gombong, Kebumen, Kutoarjo, Wates, dan Lempuyangan. Terima kasih," pengumuman dari pengeras suara di stasiun terdengar bersamaan dengan hembusan rokok terakhirku.
Ya, itu keretaku. Kereta yang akan membawaku dan ratusan penumpang lainnya menuju Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, kota yang baru dua kali aku kunjungi. Dan mungkin setelah ini, aku akan lebih sering mengunjungi kota ini.
Aku bergegas menuju peron stasiun, melewati beberapa porter yang tidak kenal lelah untuk menawarkan jasanya kepada calon penumpang kereta. Tapi hey lihatlah, malam ini aku merasa diremehkan, tidak sedikitpun mereka menawarkan jasanya padaku, bahkan melirik pun tidak.
"Apa yang salah denganku? Apakah aku terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki uang, sehingga mereka tidak sudi menawarkan jasanya padaku?," lirih Raden getir.
"Mas, daritadi saya ada disini lho, tapi kenapa sampean tidak pernah menawarkan untuk membawakan barang saya?" tanya Raden kepada salah satu porter saat menunggu antrian masuk peron.
"Bagaimana negara ini mau maju mas, kalau pemuda-pemuda bangsa ini malas seperti sampean. Masa bawa satu tas ransel kecil saja harus minta tolong porter?," ejek porter tersebut sambil meringis kepada Raden.
Aku terkekeh saja mendengar jawabannya. Porter itu pun sebenarnya tahu bahwa aku sedang bercanda, untuk melepaskan ketegangan. Kami berdua pasti butuh relaksasi setelah cukup lelah melewati aktivitas hari ini, dan aku menghargainya karena dia masih menyempatkan diri untuk merespon celotehan tidak penting dariku di sela-sela kesibukannya mencari pelanggan.
Lima menit kemudian, setelah melalui proses boarding, aku sudah berada di atas kursiku. Tepat pukul 22.30 kereta berangkat. Hebat, sangat sesuai dengan jadwal yang tertera di tiket.