Tiga bulan sudah setelah ujian akhir semester. Dan ketika mahasiswa kembali dari libur panjang, aku sudah jarang melihat Faisal dan Anisa berduaan. Bahkan sekadar jalan bareng seusai bubaran kelas sampai Anisa naik ke mobilnya. Pemandangan yang agak aneh, pikirku. Entahlah! Yang bisa diduga, hubungan antarkeduanya mungkin saja telah berakhir.
"Benar, Pak! Kami sudah tidak pacaran lagi, koq. Teman ajalah," kata Anisa suatu waktu. Sementara Faisal sendiri tidak pernah mengatakan sesuatu apapun perihal berakhirnya hubungan mereka. "Bapak tanya aja sama Anisa. Dia yang lebih tahu segalanya," jawab Faisal ketus ketika aku menanyakannya suatu ketika.
Ya, sudahlah! Bukan sesuatu hal yang baru dan aneh. Ini toh sudah menjadi dunianya para muda-mudi seusia mereka, kataku dalam hati sambil menggeleng-geleng kepala. Beda generasi memang beda rasa dan cara.
***
"Ini tahun kedua kamu di perusahaan ini, ya?" tanyaku sedikit mengagetkan Anisa. Maklum, kami belum lama duduk di sebuah Kafe tempat Anisa biasa nongkrong bareng teman-temannya. "Ya, Pak. "Waktu memang cepat banget muternya, " sahut Anisa.
"Sepertinya kamu menyenangi pekerjaan yang satu ini."
"Bisa dibilang begitulah, Pak. Aku akan terus bekerja di perusahaan ini. Masa depan dan karierku sepertinya cukup cerah. Aku yakin akan berhasil di sini," begitulah kobaran semangat Anisa.
Anak ini memang tidak pernah berubah, kataku dalam hati. Semangatnya selalu menyala-nyala. Sudah begitu, dia pasti berusaha semaksimal mungkin meraih semua yang diinginkannya.
Anisa memang beda banget, bukan hanya dengan Faisal, lelaki yang pernah singgah di hatinya, tetapi juga dengan teman-teman seangkatannya.Bagiku, dia tipe perempuan dengan kemampuan komunikasi prima. Meskipun masih sangat belia, dia memiliki pribadi yang tekun, ulet dan kuat. Jangan ditanya soal apa yang ingin dia raih dalam hidup. Cara dia memproyeksikan masa depannya ibarat dia sedang menghadapi kesuksesan itu sendiri, persis di hadapan wajahnya. Anisa tidak hanya pintar secara akal, tetapi juga secara sosial dan rohani. Di atas semuanya itu, dia sanggup menyatukan berbagai pihak dan kepentingan dalam merealisasikan berbagai proyek, kecil maupun besar.
Hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu. Dan berbagai perubahan pun nyata dalam hidup Anisa. Sebagai mantan gurunya, aku bangga menyaksikan sukses demi sukses menghampiri karier Anisa. Dia bertumbuh menjadi gadis yang matang, dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab. Dia berkembang menjadi perempuan pemimpin. Dia tampil sebagai sosok pemberi harapan.
Dan kini, setelah dua belas tahun berlalu, ketika Anisa masih saja sendiri. Aku justru berharap semoga dia segera menemukan seseorang, kekasih hati, pendamping hidup, atau apa pun namanya. Apakah cara pandangku terlalu kolot dan tradisional, bahwa anak gadis seharusnya sudah menikah sebelum usia tiga puluh? Atau malah sebelum usia dua puluh tujug?