"Aku coba, tapi tidak janji kalau ini akan berhasil meyakinkan Faizal untuk memutuskan pilihan cintanya padamu!"
***
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin mampu membicarakan hal ini dengan Faizal. Meskipun tidak secerdas Anisa, Faisal termasuk mahasiswa yang baik, dan agak tertutup. Sama seperti Anisa, Faisal termasuk mahasiswaku semester itu. Meskipun tidak mengenal dengan baik keluarganya, aku kira Faisal berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya seorang pensiunan PNS di kota ini, sementara ibunya seorang pedagang. Mereka memiliki sebuah warung klontong di rumah. Ya, bisa saja Faisal sibuk, mungkin membantu ibunya, kataku dalam hati.
Tapi apa betul, Faisal punya perempuan lain yang disayangi selain Anisa? Sepertinya tidak mungkin. O ya, jangan-jangan mahasiswa yang dibonceng Faisal tiga hari yang lalu itu perempuan yang dicemburui Anisa? Kebetulan saja saat di lampu merah pertama di ujung jalan depan kampus itu aku pernah melihat Faisal membonceng seorang gadis di sepeda motornya. Tidak jelas juga apakah teman kuliahnya. Motor Faisal berhenti agak jauh dari mobilku, jadi sulit mengenali siapa perempuan itu.
"Ah, Anisa membuatku ikut terlibat dan memikirkannya!" aku bergumam. Tetapi mengapa aku harus terlibat? Mengapa aku bersedia membantu Anisa? Kecantikan dan kebaikan hati Anisa mungkin menjadi salah satu alasan. Anisa baik hati dan pengertian, tidak pernah terlambat menghadiri kuliah-kuliahku, dan selalu bersedia membantu jika dibutuhkan. Aku tahu dia tidak pura-pura berbuat baik, misalnya mengesankan dosen demi mendapatkan nilai yang memadai. Anisa cukup alamiah dalam bersikap. Dan yang terpenting, menurutku, Anisa memang cerdas. Kadang aku membayangkan, seandainya memiliki setengah mahasiswa di kelasku secerdas Anisa, mungkin tidak perlu usaha keras mendidik mereka.
Sementara Faisal bukanlah mahasiswa cerdas, meskipun tidak bisa dikatakan bodoh. Ah, sepertinya contradictio in terminis dong kalau ada mahasiswa bodoh. Kalau bodoh, mengapa bisa duduk di bangku kuliah? Peduli amat dengan kategori semacam ini. Yang jelas, Faisal pun termasuk mahasiswa yang baik hati. Meskipun demikian, sifatnya yang tertutup dan introvert menyulitkanku untuk mengetahui dia lebih jauh. Seingatku kawan-kawannya pun mengeluhkan hal yang sama. Satu hal yang aku senangi dari Faisal adalah kesetiaannya pada agama yang dianutnya. Dia tidak pernah-paling tidak sejauh pengamatanku-meninggalkan shalat.
Hari kedua di minggu ketiga bulan Maret ketika mahasiswa sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian tengah semester. Kebetulan saja ketika sedang menuruni tangga menuju parkir di basement. Faisal baru saja selesai memarkir motornya dan bergegas menuju kantin di food court.
"Selamat sore, Pak!" "Mau kemana, Pak!" sapa Faisal mengagetkanku.
"Hei, Faisal! Baru datang kamu? Aku mau ke sekolahan anakku sebentar. Ada pertemuan orang tua murid!" jawabku cepat.
"O ya, Faisal. Kamu kuliah sampai jam berapa?" tanyaku.
"Jam tiga, Pak!"