Mohon tunggu...
jefry Daik
jefry Daik Mohon Tunggu... Guru - seorang laki - laki kelahiran tahun 1987

pernah menjadi guru pernah menjadi penjual kue pernah menjadi penjual tahu pernah menjadi penjual Nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

When A Dog Meets An Owl

13 Oktober 2020   12:13 Diperbarui: 13 Oktober 2020   12:25 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : Cesarsway.com

When Dog Meets an Owl

by: Jefry Daik

Disudut kota kecil bekas perang dunia ke-2. Di negeri entah bernama apa. Ku sebutkan negeri itu adalah negeri Mesiu.

Tanahnya gersang. Terbakar dilahap api dan ledakan. Udaranya penuh berasap. Hanya tertinggal reranting kering ditanah dan langit yang temaram

Di sudut suatu bangunan tua, kulihat seekor anjing berbulu coklat bermain dengan debu. Jenis German Shepherd berada Didalam tong sampah yang hanya tersisa abu.

Dulu bangunan itu adalah pabrik sosis. Tempat mangkal yang terindah yang paling banyak diminati. Khususnya para anjing liar dari sekitaran kota. Di tempat itu sering terjadi perkelahian karena tempat sampah yang tersedia cuma sebuah. Ada tragedi berdarah -- darah pernah terjadi disana. Biasanya Yang kuat yang berkuasa atau yang bergerombol mengepepung yang lemah. Sementara itu, para pekerja di pabrik sosis itu sibuk bertaruh, siapa yang menjadi sang juara, ada seekor anjing berbulu coklat mengintip dari sela -- sela reruntuhan.

Dulu anjing berwarna coklat itu tak begitu tertarik untuk berkelahi. Dia lebih suka menunggu sampai tiada satu ekorpun pesaingnya bertenggger di dalam box sampah. Biasanya saat yang kalah taruhan atau saat pabrik ditutup pada akhir pekan barulah ia menjejakkan kaki kesana. Hati -- hati dengan semua indra terjaga.

Walaupun hanya menjilat -- jilat tak menentu. Walaupun tak cukup untuk memuaskan dahaga dan laparnya, ia lebih suka untuk tidak terluka.

Hatinya sudah lebih banyak terluka.

Dulu Anjing itu milik seseorang di sudut kota itu. Namun bom sudah meratakan tempat tinggal mereka.

Tak ada yang tersisa. Bahkan jasad tuannya tak lagi tercium selain bubuk mesiu.

Sakit hati ditinggal oleh pemiliknya membuat ia terlunta -- lanta mencari suaka. Namun... yang ia jumpai hanya anjing -- anjing terlantar lainnya yang bahkan menjadi korban dan sasaran belajar tembak dari remaja -- remaja tanpa ayah dan ibu.

Anjing berbulu coklat itu berlari dan bersembunyi. Jauh ke dalam hutan kering yang hanya berwarna hitam. Api sudah melahap setiap jengkal tanahnya hingga hangus tak bersisa. Di dalam liang sebuah bangkai pohon tua, ia bersembunyi dan menggulung diri, merapatkan badan dengan perut keroncongan.

Kadang ia harus melangkah sangat hati -- hati karena disana -- sini ada ranjau darat. Dibuat oleh para makhluk yang ada didarat. Makhluk itu bernama manusia. Tapi kadang berkamuflase menjadi bebatuan, rerumputan, pepohonan bahkan menjadi serupa dengan tanah. Hanya para anjing saja yang dapat mengetahui dimana mereka dan sedang menjadi apa mereka

Lalu...disuatu malam yang dingin berkabut. Sebuah tank mengedari setiap sudut kota. Disana tiada suara berdesing. Hanya kengerian yang merajalela. Beberapa anjing menangis melihat hantu, atau sekedar menyahuti sahabatnya yang tertimpa tembok yang rubuh dikejauhan. Anjing berbulu coklat itu melihat seekor burung malam terbang dari pohon ke pohon. 

Mengintai sesuatu di antara atap -- atap rumah yang gelap. Burung itu sejenak memutar lehernya lalu merentangkan sayapnya lebar-lebar. Kemudian dia menyambar tikus di sisi talang air yang ringsek. Tikus itu terbang tanpa bisa meronta. Terkejut karena kehilangan pijakan. Lalu tubuhnya berdarah -- darah. Tikut itu...berusaha melepaskan diri dari cengkraman burung hantu. Kemudian jatuh ke dalam sebuah kobaran api. Lenyap tak bergerak lagi.

Disanalah dia melihat ada seekor anjing sedang membaur dalam abu.

Anjing berbulu coklat yang lain. Mati karena hangus terbakar.

Burung itu bernyanyi aneh. Tajam tapi seolah memanggil langkah anjing kelaparan yang ada di dalam bangkai pohon.

"apakah kamu sudah lapar?" kata burung hantu tersebut sambil memutar lehernya dan memantau situasi.

Sang anjing berbulu coklat memiringkan lehernya dengan heran.

"kamu bisa bicara?" Anjing katanya

"kita terpaksa harus berbicara untuk bertahan hidup dari kegilaan ini. Di dunia yang sepi ini, hanya saling berbicaralah yang membuat kita berbeda dengan mereka yang telah mati." Kata sang burung hantu dengan bijak

"Mengapa kau berbicara denganku?"

"aku selalu melihatmu,"sahut sang burung hantu sambil mengepak kecil

"di dekat pabrik sosis yang banyak tikusnya. Kau tidak pernah menyerang siapapun. Sepertinya hatimu masih baik"

"apa kau yakin aku memiliki hati yang sebaik itu?" 

Rasa lapar yang berlebihan telah membuat air liurnya menetes tidak karuan. Namun didepannya ini adalah seekor burung hantu yang bisa berbicara. Berbicara dengan anjing. Sesuatu yang langka. Ajaib.

Dan keajaiban ini anehnya mengalihkan pikirannya dari memangsa. Menunda laparnya dan menahan keberingasannya menatap mangsa yang datang kepadanya dengan sukarela

"Kau boleh saja memakan aku. Aku juga sudah bosan hidup sendirian. Nyanyianku tak ada sahutan dari yang lain. Kesepian membunuh lebih sadis daripada sebuah tembakan atau bom."

Anjing berbulu coklat itu terdiam.

"Jadi...kau ingin aku melakukan apa? Apakah aku harus memakanmu-well itu kedengarannya menyenangkan-atau...bernyanyi untukmu?" Tanya sang Anjing dengan cukup tenang.

"aku hanya ingin menyampaikan kabar. Semua kembali kepadamu. "

"kabar apa?"

"disana ada seekor anjing yang mati terbakar. Sepertinya itu baru saja. Wangi tubuhnya begitu menggiurkan. Itu masih bisa untuk kau santap"

"dan mengapa engkau mengatakan itu kepadaku?aku tidak mau memakan teman -- temanku. Lebih baik mati daripada menggigit bangsa yang sejenis denganku"

"well ini hanya saran. Kita berteman selama kita hidup. Tapi begitu sudah menjadi jasad. Mereka bukan lagi teman. Mereka hanyalah mayat. Toh mereka juga tidak akan melawan saat kau gigiti mereka. Justru penderitaan mereka akan kau akhiri dengan cara yang tepat."

"mengapa kau begitu yakin aku mau makan teman -- temanku?"

"kau tau, anjing. Kita diciptakan untuk saling memangsa. Yang terkuat yang akan bertahan hidup. Tapi jangan menolak saat ada kesempatan untuk kau bisa menyelesaikan sedikit permasalahanmu hari ini. Hanya untuk bertahan hidup, kawan."

"dengan memakan teman sendiri?huh...kau gila!"

"yah..terserah...aku hanya menyampaikan kabar. Dan karena akupun tidak kau cengkram dari tadi. Maka ku anggap tugasku selesai dan aku harus pergi , menjalani kesendirian ini"

Anjing berbulu coklat itu menurunkan kepalanya ke atas tanah

"pergilah! Aku tidak tertarik dengan memakan temanku"Desah sang Anjing lirih

"memangnya siapa temanmu?" Tanya sang burung hantu sambil terbang ke udara

Ya! Siapa temannya?

Walaupun ada banyak anjing disekitarnya, tapi tak pernah ia akrab dengan seekorpun.

Susah payah sang anjing coklat memejamkan mata, tapi pikirannya selalu berteriak. Perutnya selalu meronta. Bahkan ia sampai gemetar karena lapar.

Dengan tenaga yang tersisa akhirnya sang anjing berusaha bangkit. Menjejakkan tanah dengan kaki yang jelas-jelas gemetar tak mampu berjalan tegap. Hanya mengandalkan satu --satunya penciuman. Dan juga pendengaran.  Ada berbagai bau yang menyebar. Tapi...bau daging yang dibakar terasa begitu kuat. Menggoda lebih tepatnya.

"apakah...untuk bertahan hidup aku harus membinasakan temanku sendiri?"keluhnya dalam hati dengan penuh pergumulan

Memangnya siapa temanmu?

Memangnya siapa temanmu?

......Siapa temanmu?

Kata -- kata itu memutar dikepalanya berkali -- kali. Suara sang burung hantu itu seolah bergema dalam otaknya.

Semakin dekat dengan bau tersebut air liurnya semakin menetes. Sesekali ia berhenti untuk memantau situasi.

Oh...sungguh sunyi. Hanya bunyi tembakan dikejauhan sesekali terdengar.

"jadi..apa kamu akhirnya memutuskan untuk datang?"

Tiba -- tiba sang burung hantu berbicara di atas drum bekas bahan bakar yang telah hangus didekat api yang hampir padam.

Sang anjing diam tak berkutik. ketahuan sekarang sedang berhadapan dengan aroma panggangan yang harum dan lezat

Air liurnya menetes. Tapi airmatanya lebih banyak mengalir

"kau menangis?" Tanya sang burung hantu

"ti-tidak. Asap. Ya. Asap membuat mataku berair"

Anjing berbulu coklat menahan hatinya dan perasaannya yang sesungguhnya.

Dengan menutup mata dia menarik paksa tubuh anjing lainnya yang sudah hangus terbakar keluar dari api dan abu ke tepian.

"Sebaiknya kau berdoa dulu," usul sang Burung hantu tanpa malu. Dia yang mengusulkan untuk datang dan makan, lalu dia yang menyuruh untuk berdoa sebelum makan.

Anjing berusaha menahan gejolak dalam batinnya lalu mulai mengigit sedikit daging tersebut

"cap-cap-cap-cap" suaranya saat menjilat dan mengunyah.

Ada rasa senang dan berdosa yang membaur dalam pikirannya. Tapi berusaha dihalaunya

"Kadang...kita harus membedakan mana saatnya menjadi kawan, mana saatnya menjadi makanan. Di dunia yang penuh dengan kelaparan ini...logika bisa berlawanan dengan naluri." Kata sang burung hantu di iringi tiupan angin yang dingin.

"mengapa kau berhenti?" tanyannya saat melihat anjing berbulu coklat tersebut tidak lagi mengunyah

"aku mual. Aku ingin....hoek-hoek-hoek!"

Dengan bergidik jijik sang burung hantu terbang ke tempat yang lebih tenang. Ke atap sebuah mobil Jeep yang terbakar hangus bersama dengan pengendaranya.

Dia menanti cukup lama lalu kembali terbang menuju tempat sang anjing muntah tadi.

"kau memakan kembali muntahanmu?"tanyanya dengan ekspresi sangat jijik. Matanya yang bundar berwarna kuning seperti kucing nampak begitu meneliti ekspresi Anjing.

"a-aku..tak sanggup melanjutkan untuk memakan temanku." Ungkap sang anjing berbulu coklat dengan gemetar dan sedikit terkejut.

"well... terserah. Aku lupa kalau kau memang anjing. Anjing selalu kembali kepada muntahannya sendiri" gertutu sang burung hantu tajam.

"yah..itu benar. Aku tidak menyangkal." Sahut sang Anjing lemah lalu beranjak pergi.

Burung hantu terbang tanpa pamit lalu bertengger di atas dahan pohon dan kembali bernyanyi.

"wahai angin, wahai sobat. Sampaikan rindu pada rembulan di atas sana.

Ada teman bernama anjing. Hidup sebatangkara namun tak berani mengambil cerita.

Wahai angin wahai sepi. Kesunyian yang merongga.

Dimanakah muntahan sang anjing kini kalau bukan kembali ke perut yang semula.

Wahai angin..wahai rembulan di atas sana...dua makhluk bertemu tanpa suasana meriah. Selain lolongan serigala dari bayang kekelaman."

Mendengar itu sang anjing berbulu coklat melolong sedih membalas dengan sahutan pilu

"Auuuuuuuuu...maaf saudaraku...demi perut yang meronta terpaksa kumakan saudarakuuuu, auuuuuu"

DOR!DOR!

DOR!

Sunyi membahana

Dua mahkluk itu terkapar tanpa cerita selanjutnya

sejarah telah mengubur mereka bersama kota tua di ujung peradaban dunia.

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun