Penulis : Jefta Ramschie, SH.
Fiat Justitia Ruat Caelum!
Demikianlah adagium hukum yang sering digaungkan oleh cendekiawan hukum dalam menyikapi dan menganalisis setiap problematika dan dinamika hukum yang terjadi di Indonesia. Dalam penerapan hukum di Indonesia, setiap perbuatan yang dilarang ataupun hal yang seyogyanya dilindungi akan dijewantahkan ke dalam suatu Undang-Undang, agar dapat memberikan kepastian hukum bagi hak yang dilanggar.
Hal ini juga sejalan dengan konsep bernegara Indonesia yang berorientasi pada penerapan hukum guna mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Indonesia adalah negara hukum” dan konsekuensi dari penerapan amanat konstitusi terkait negara hukum ini, berimplikasi pada setiap warga negara diwajibkan untuk menaati setiap aturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Upaya Perlidungan Anak.
Sebagai upaya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kebermanfaatan hukum bagi setiap warga negara terkhususnya dalam upaya Perlindungan Anak, maka pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Adapun definisi Anak dan Perlindungan Anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak yaitu :
Pasal 1 ayat (1) :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Pasal 1 ayat (2) :
“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Dalam penerapannya, pemerintah juga mengatur tentang hak anak, kewajiban masyarakat dan sanksi yang akan didapatkan jika masyarakat melakukan perbuatan yang tergolong sebagai tindak pidana terhadap Anak. Adapun rangkuman Pasalnya sebagai berikut:
Pasal 15 :
“Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan; dan
f. Kejahatan seksual.”
Pasal 72 :
“(1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok.
(2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaran Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak;
b. memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait perlindungan Anak;
c. melaporkan kepada pihak yang berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak;
d. berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Anak;
e. melakukan pemantauan, pengawasan, dan ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak;
f. menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak;
g. berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban; dan
h. memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat.”
Pasal 76C :
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”
Pasal 80 :
“(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).”
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Dari penjabaran di atas, sekiranya dapat disimpulkan bahwa pemerintah menaruh perhatian khusus terkait perlindungan terhadap hak Anak. Akan tetapi dalam penerapanya seringkali ditemukan ambiguitas yang seakan-akan menjadi "gap" dalam upaya penegakan hukum terkait Perlindungan Anak di Indonesia.
Contoh Kasus
Maya, seorang guru di SMPN 1 Bantaeng yang dijebloskan ke penjara akibat menertibkan seorang murid yang "baku siram" dengan temannya menggunakan air bekas pel, kemudian mengenai sang guru sehingga siswa tersebut dibawa ke ruang BK dan dicubit. Orang tua wali murid yang juga merupakan anggota kepolisian, melaporkan guru tersebut hingga kasusnya pun bergulir ke meja hijau.
Adapula Mubazir, seorang guru honorer di SMAN 2 Sinjai Selatan yang dipenjara akibat laporan dari orang tua. Beliau memotong paksa rambut seorang muridnya yang gondrong mengingat telah diberi peringatan sebelumnya selama satu minggu, akan tetapi tidak diindahkan oleh siswa tersebut.
Darmawati, Guru pada SMAN 3 Parepare juga harus mendekam dibalik jeruji beso dan mengahdapi panjangnya proses persidangan dengan tuduhan melakukan pemukulan terhadap salah seorang siswa yang membolos saat sholat Djuhur. Padahal Darmawati hanya menepuk pundak siswa tersebut dengan mukena. Hasil Visum juga menunjukan tidak ada tanda kekerasan dalam bentuk luka atau memar pada pundak siswa tersebut.
Kasus terkini yang menyita perhatian publik yaitu Supriyani, seorang guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Beliau kini menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswanya yang merupakan anak anggota Polri.
Penjaminan Hak Profesi Guru.
Fakta yang terjadi sekarang ini cukup menyita perhatian publik, karena dalam penerapannya terkesan mengkriminalisasi guru yang sedang menjalankan tugas dan tanggungjawab profesinya. Dalam menjalankan profesi guru, secara khusus terdapat regulasi yang mengatur tentang jaminan perlindungan hukum terhadap profesi guru, yaitu sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen. Adapun penjabarannya sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1) :
"Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah."
Pasal 2 ayat (1) :
"Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
ayat (2) :
"Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik."
Pasal 4 :
"Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 6 :
"Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab."
Pasal 7 huruf h :
"Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan."
Pasal 14 huruf f :
"Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, pengahrgaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan."
huruf g :
"Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas"
Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah juga yang mengatur secara spesifik terhadap profesi guru, yaitu dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Adapun penjabarannya sebagai berikut :
Pasal 39 ayat (1) :
"Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya."
ayat (2) :
"Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan."
Pasal 41 ayat (1) :
"Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakukan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Selain dalam aturan khusus, perlindungan hukum terhadap seseorang yang sedang menjalankan tanggungjawabnya juga diatur dalam Pasal 50 KUHP, atau yang lebih dikenal sebagai pengecualian pidana. Adapun bunyi Pasal sebagai berikut :
"Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana."
Merujuk pada regulasi yang mengatur tentang Profesi Guru di atas, seyogyanya hal ini dapat menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum yang juga sebagai komponen Sistem Peradilan Pidana, agar lebih rasional dalam menangani kasus serupa.
Legal Opinion Penulis
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kemajuan peradaban dan pengembangan sumber daya manusia, karena sejatinya suatu negara dapat dinilai berhasil jika kualitas dan kredibilitas aspek pendidikannya teruji. Pendidikan juga memegang peranan penting dalam pembentukan karakter tunas bangsa agar dapat memiliki karakter yang berpegang pada nilai-nilai budaya keluhuran Indonesia.
Terkait dengan pendidikan, keluarga sebagai lembaga terkecil di masyarakat dan juga sebagai lembaga pembentukan karakter sejak dini bagi anak, memiliki tugas utama untuk bagaimana dapat menciptakan karakter yang baik bagi anak. Kerjasama orang tua sebagai komponen utama dari keluarga juga sangat memberikan sumbangsih bagi pembentukan karakter anak.
Setelah mendapat "pembekalan" pembentukan karakter luhur dari keluarga, hal tersebut juga akan di pegang oleh anak dimanapun ia berada baik dalam lingkungan formal maupun imformal yang kemudian akan terefleksi dalam tutur kata dan perilaku kepada sesama, dan hal ini juga yang menjadi harapan semua orang. Akan tetapi sekarang masyarakat sedang diperhadapkan dengan fakta miris dalam upaya penegakan hukum yang berimplikasi pada pen-degradasian sektor pendidikan formal di Indonesia.
Siswa yang seharusnya menjadi Agent Of Change dengan mengedepankan budi pekerti luhur, kini seakan telah berevolusi menjadi "meriam tak terkendali" yang siap untuk menembakan peluru regulasi Perlindungan Anak terhadap siapa saja yang dianggap telah melakukan sebuah "kesalahan". Kondisi seperti ini terkesan memberikan ruang bagi anak untuk dapat melakukan apapun sesuai dengan kemauannya tanpa menghiraukan nilai dan aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
Dari serangkaian kasus yang telah dijabarkan di atas, dapat ditemukan kesenjangan antara dan sollen (aturan hukum yang berlaku) dan das sein (peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat) terkait dengan upaya perlindungan hukum bagi guru di Indonesia. Kesenjangan ini timbul sebagai akibat dari pemberlakuan UU Perlindungan Anak, yang kemudian memberikan ruang bagi orang tua/wali untuk dapat mempidanakan guru. Seyogyanya dalam penanganan kasus seperti ini dan penerapan UU Perlindungan Anak juga memberi batasan yang tegas tentang kategori anak seperti apa yang dapat dilindungi oleh UU Perlindungan Anak.
Poin krusial dari kasus ini yaitu orang tua/wali siswa melaporkan guru atas didikan dalam bentuk sanksi yang diberikan oleh guru kepada siswa tersebut. Padahal jika dilihat, guru memiliki kebebasan untuk memberikan didikan dalam bentuk sanksi kepada anak dengan kategori nakal, dengan tetap memperhatikan batasan-batasan sebagaimana di atur dalam aturan a quo. Hal ini tentunya dilakukan bukan sebagai ajang penindasan, akan tetapi dilakukan untuk dapat membimbing dan membentuk karakter anak yang berakhlak mulia.
Soesilo dalam bukunya "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" juga memberi penjelasan terkait Pasal 50 KUHP terkait dengan pengecualian pidana yaitu dalam penerapan pemidanaan harus diletakan prinsip bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu Undang-Undang, tidak mungkin untuk diancam dengan undang-undang yang lain.
Yang dimaksud dengan Undang-Undang disini ialah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang, termasuk juga misalnya peraturan pemerintah dan peraturan pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kotamadya. Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi dalam arti luas juga meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang.
Dari permasalahan ini, terdapat suatu pertanyaan sederhana yang telah lama timbul dalam benak penulis yaitu, "Apakah penerapan didikan dalam bentuk sanksi yang diberikan guru kepada anak nakal juga menjadi salah satu urgensi yang melatar-belakangi pembentukan UU Perlindungan Anak dan dapat dipidana berdasarkan aturan a quo?". Kalau benar demikian, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakjelasan penerapan hukum yang pastinya akan menimbulkan keragu-raguan dalam proses persidangan.
Dalam hal ketidakjelasan penerapan hukum yang menimbulkan keragu-raguan, maka seyogyanya putusan yang dikeluarkan oleh hakim harus berpihak pada terdakwa sesuai dengan asa hukum "In dubio pro reo". Asas ini juga memiliki korelasi dengan Pasal 183 & 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan :
Pasal 183 :
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa dalam suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya"
Pasal 191 ayat (2) :
"Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum."
Kesimpulan dari legal opinion yang dituliskan penulis ini yaitu sebagai upaya preventif dalam mencegah ketidakjelasan hukum ini terjadi lagi maka harus ada langkah konkrit dari pemerintah dalam mengkaji ulang aturan a quo guna memberikan keadilan, kepastian dan kebermanfaatan hukum bagi profesi Guru di Indonesia. Kemudian juga dalam penanganan kasus serupa, aparat penegak hukum harus lebih teliti dalam menerapkan Pasal dalam upaya represif penegakan hukum. Karena jika hal ini dibiarkan tanpa ada penanganan yang semestinya, maka akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap pengembangan sektor pendidikan di Indonesia. Hal ini juga akan menjadi penghalang bagi pemerintah dalam mencapai visi dan misi Indonesia Emas 2045.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI