Pasal 76C :
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”
Pasal 80 :
“(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).”
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Dari penjabaran di atas, sekiranya dapat disimpulkan bahwa pemerintah menaruh perhatian khusus terkait perlindungan terhadap hak Anak. Akan tetapi dalam penerapanya seringkali ditemukan ambiguitas yang seakan-akan menjadi "gap" dalam upaya penegakan hukum terkait Perlindungan Anak di Indonesia.
Contoh Kasus
Maya, seorang guru di SMPN 1 Bantaeng yang dijebloskan ke penjara akibat menertibkan seorang murid yang "baku siram" dengan temannya menggunakan air bekas pel, kemudian mengenai sang guru sehingga siswa tersebut dibawa ke ruang BK dan dicubit. Orang tua wali murid yang juga merupakan anggota kepolisian, melaporkan guru tersebut hingga kasusnya pun bergulir ke meja hijau.
Adapula Mubazir, seorang guru honorer di SMAN 2 Sinjai Selatan yang dipenjara akibat laporan dari orang tua. Beliau memotong paksa rambut seorang muridnya yang gondrong mengingat telah diberi peringatan sebelumnya selama satu minggu, akan tetapi tidak diindahkan oleh siswa tersebut.