Setelah mendapat "pembekalan" pembentukan karakter luhur dari keluarga, hal tersebut juga akan di pegang oleh anak dimanapun ia berada baik dalam lingkungan formal maupun imformal yang kemudian akan terefleksi dalam tutur kata dan perilaku kepada sesama, dan hal ini juga yang menjadi harapan semua orang. Akan tetapi sekarang masyarakat sedang diperhadapkan dengan fakta miris dalam upaya penegakan hukum yang berimplikasi pada pen-degradasian sektor pendidikan formal di Indonesia.
   Siswa yang seharusnya menjadi Agent Of Change dengan mengedepankan budi pekerti luhur, kini seakan telah berevolusi menjadi "meriam  tak terkendali" yang siap untuk menembakan peluru regulasi Perlindungan Anak terhadap siapa saja yang dianggap telah melakukan sebuah "kesalahan". Kondisi seperti ini terkesan memberikan ruang bagi anak untuk dapat melakukan apapun sesuai dengan kemauannya tanpa menghiraukan nilai dan aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
   Dari serangkaian kasus yang telah dijabarkan di atas, dapat ditemukan kesenjangan antara dan sollen (aturan hukum yang berlaku) dan das sein (peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat) terkait dengan upaya perlindungan hukum bagi guru di Indonesia. Kesenjangan ini timbul sebagai akibat dari pemberlakuan UU Perlindungan Anak, yang kemudian memberikan ruang bagi orang tua/wali untuk dapat mempidanakan guru. Seyogyanya dalam penanganan kasus seperti ini dan penerapan UU Perlindungan Anak juga memberi batasan yang tegas tentang kategori anak seperti apa yang dapat dilindungi oleh UU Perlindungan Anak.Â
   Poin krusial dari kasus ini yaitu orang tua/wali siswa melaporkan guru atas didikan dalam bentuk sanksi yang diberikan oleh guru kepada siswa tersebut. Padahal jika dilihat, guru memiliki kebebasan untuk memberikan didikan dalam bentuk sanksi kepada anak dengan kategori nakal, dengan tetap memperhatikan batasan-batasan sebagaimana di atur dalam aturan a quo. Hal ini tentunya dilakukan bukan sebagai ajang penindasan, akan tetapi dilakukan untuk dapat membimbing dan membentuk karakter anak yang berakhlak mulia.
   Soesilo dalam bukunya "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" juga  memberi penjelasan terkait Pasal 50 KUHP terkait dengan pengecualian pidana yaitu dalam penerapan pemidanaan harus diletakan prinsip bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu Undang-Undang, tidak mungkin untuk diancam dengan undang-undang yang lain.Â
   Yang dimaksud dengan Undang-Undang disini ialah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberikan kekuasaan untuk membuat undang-undang, termasuk juga misalnya peraturan pemerintah dan peraturan pemerintah daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kotamadya. Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi dalam arti luas juga meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang.
   Dari permasalahan ini, terdapat suatu pertanyaan sederhana yang telah lama timbul dalam benak penulis yaitu, "Apakah penerapan didikan dalam bentuk sanksi yang diberikan guru kepada anak nakal juga menjadi salah satu urgensi yang melatar-belakangi pembentukan UU Perlindungan Anak dan dapat dipidana berdasarkan aturan a quo?". Kalau benar demikian, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakjelasan penerapan hukum yang pastinya akan menimbulkan keragu-raguan dalam proses persidangan.
Dalam hal ketidakjelasan penerapan hukum yang menimbulkan keragu-raguan, maka seyogyanya putusan yang dikeluarkan oleh hakim harus berpihak pada terdakwa sesuai dengan asa hukum "In dubio pro reo". Asas ini juga memiliki korelasi dengan Pasal 183 & 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan :
Pasal 183 :
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa dalam suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan  bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya"
Pasal 191 ayat (2) :